Merawat Harmoni Indonesia dan Islam
Oleh: Salahuddin Wahid
Dalam dua bulan terakhir terdapat beberapa pernyataan/tulisan yang
perlu mendapat perhatian atau tanggapan, berupa penegasan, penjelasan atau
sedikit koreksi.
Pertama, pernyataan sejumlah tokoh-termasuk tokoh luar
negeri-bahwa beberapa negara di Timur Tengah mengalami perang saudara karena
belum bisa mempertemukan Islamisme dan nasionalisme. Kedua, tulisan KH
Hasyim Muzadi bahwa kita sejak awal tidak pernah menginginkan negara berdasar
Islam. Ketiga, pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di media daring
bahwa kita adalah bangsa Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang
kebetulan tinggal di Indonesia.
Pada dasawarsa kedua abad ke-20, perjuangan kemerdekaan Indonesia
mulai menemukan embrionya. Saat itu ada tiga "isme" yang hidup di
kalangan pejuang: nasionalisme, Islamisme, dan komunisme.
Pada 1926 kelompok komunis mulai mengawali tradisi pemberontakan
di bumi Nusantara ini, melawan negara penjajah. Akibatnya kelompok komunis diawasi
ketat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Para tokohnya banyak yang lari ke luar
negeri.
Pada masa penyusunan rancangan UUD di dalam BPUPKI dan
pengesahannya di PPKI serta pembentukan penyelenggara negara, tokoh-tokoh
komunis tidak terlibat. Pertentangan tajam terjadi antara kelompok
nasionalis dan kelompok Islam. Kita sudah hafal betul proses yang kemudian
terjadi: pada 18 Agustus 1945 diresmikan UUD 1945, yang mengambil dasar negara
Pancasila dengan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara dilanjutkan oleh
partai-partai Islam pada saat menyusun UUD di dalam Konstituante (1956-1959).
Banyak yang tidak ingat kejadian ini, terutama generasi muda. Fakta
menunjukkan: dalam pemungutan suara, 56,4 persen anggota Konstituante memilih
dasar negara Pancasila dan 43,6 persen memilih Islam. Keduanya di bawah
persyaratan 2/3 jumlah suara. Karena menemui jalan buntu, lalu Bung Karno (BK)
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kembali memberlakukan UUD 1945
untuk menggantikan UUDS 1950 yang saat itu berlaku.
Setelah 25 tahun berlalu, baru kalangan Islam secara resmi
menerima Pancasila sebagai dasar negara. Pada Desember 1984, Muktamar Nahdlatul
Ulama (NU) menerima secara resmi Pancasila berdasar Dokumen Hubungan Islam dan
Pancasila. Langkah ini lalu diikuti oleh hampir semua ormas Islam lain, kecuali
sejumlah kecil.
Mengapa ditolak?
Mengapa pada 1945 kalangan Islam menolak Pancasila dan pada 1984
menerimanya? Mulai akhir 1920-an, BK banyak mengemukakan pikiran tentang Islam.
Generasi tua masih ingat pada "Surat-surat Islam dari Ende", yaitu
korespondensi BK dengan TA Hassan, pimpinan Persis di Bandung. Di situ bisa
kita ketahui pandangan kritis BK terhadap Islam. Dalam tulisannya, BK sering
memuji Kemal Ataturk yang oleh para tokoh Islam tidak disukai karena menghambat
dakwah Islam dan anti Islam. BK juga menganggap bahwa ulama Indonesia seperti
ulama Turki yang disebut oleh BK sebagai ulama yang mengambil abunya Islam,
bukan apinya Islam.
Karena itu, para tokoh Islam Indonesia menganggap BK ingin membuat
Indonesia menjadi negara sekuler, seperti Turki. Dan, otomatis mereka
menganggap Pancasila yang digagas BK juga bersifat sekuler dalam arti anti
agama (Islam). Apalagi Pancasila yang diajukan BK dalam "Pidato 1 Juni
1945" menempatkan ketuhanan pada sila kelima.
Berdirinya Kementerian Agama pada Januari 1946 jauh dari cukup
untuk meyakinkan tokoh- tokoh Islam bahwa Pancasila tidak sekuler dan sesuai
dengan Islam. Dalam penilaian saya, UU Perkawinan (1974) yang memberi jalan
masuknya ketentuan syariat Islam ke dalam sistem hukum nasional Indonesia
berhasil membuka pikiran dan hati ulama dan tokoh Islam di Indonesia bahwa
Pancasila ternyata memberi jalan untuk memadukan keindonesiaan dan keislaman.
Perpaduan Indonesia dan Islam berlanjut dengan diundangkannya UU
Peradilan Agama pada 1989. Selanjutnya lahir UU Perbankan Syariah, UU Zakat,
dan UU Sistem Pendidikan Nasional yang memberi tempat bagi pesantren. Kebijakan
pemerintah dan DPR sejak 1950 telah memberi peluang dan ruang gerak yang cukup
besar sehingga pendidikan Islam, termasuk pendidikan tingginya, telah berhasil
mencapai kemajuan yang mengesankan, walaupun masih banyak yang harus
diperbaiki.
Harus dirawat
Pertentangan antara nilai-nilai keindonesiaan dan HAM universal
diselesaikan dengan menyusun Pasal 28 huruf J, UUD 1945, yang menegaskan:
dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal
ini masih jadi masalah bagi aktivis HAM.
Kondisi damai di Indonesia yang kontras dengan kondisi penuh
konflik di Timur Tengah itu perlu dijaga dan dirawat. Kondisi damai itu
tercapai berkat adanya kesamaan pandangan terhadap Pancasila, yaitu sebagai
nilai-nilai kebersamaan sebagai bangsa tanpa melihat latar belakang suku,
etnis, agama, sikap politik, dan status sosial-ekonomi. Islam di Indonesia
menjadi acuan bagi Muslim di banyak negara dalam menyelesaikan masalah yang
timbul akibat berbagai perbedaan dalam memahami Islam.
Kondisi yang baik itu juga tak terlepas dari keberhasilan kita
memadukan kebangsaan (Indonesia) dengan keagamaan (Islam) yang telah diuraikan
secara singkat di atas. Jadi, kita sebaiknya tidak lagi mempertentangkan
keindonesiaan dan keislaman, sebagai dua sisi dari satu mata uang yang
sama.
Dalam konteks itu, pernyataan Menteri Agama di atas bahwa kita
adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang tinggal di
Indonesia, sebaiknya kita hindari. Bagi saya, kita adalah orang Islam yang berbangsa
Indonesia, sekaligus orang Indonesia yang beragama Islam. Saya tidak pernah
merasa harus memilih antara Islam dengan Indonesia, tidak pernah merasa harus
mendahulukan salah satu di atas yang lain.
Upaya merawat juga perlu dilakukan dengan memberi pemahaman
terhadap kelompok Islam yang masih menganggap bahwa negara Pancasila itu
bertentangan dengan Islam atau kelompok yang memperjuangkan khilafah Islamiyah.
Perlu disampaikan bahwa perjuangan mereka itu paling jauh hanya akan membawa
Indonesia menuju kondisi konflik fisik, seperti yang terjadi di beberapa negara
Timur Tengah, kalau mereka mendapat dukungan dari kekuatan besar di luar
negeri (termasuk militer).
Kepada pihak yang menganggap bahwa negara Pancasila telah gagal
membawa RI menuju cita- cita proklamasi, perlu dijelaskan bahwa tidak ada yang
salah dengan negara Pancasila, tetapi kitalah yang belum berhasil mewujudkan
negara Pancasila menjadi kenyataan. Masalahnya lebih pada penegakan hukum,
reformasi birokrasi pemerintah, kebijakan ekonomi dan pemenuhan hak-hak rakyat
daripada masalah dasar negara. []
KOMPAS, 13 Juli 2016
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar