Janur Kian Langka,
Bagaimana Eksistensi Ketupat?
Momen Idul Fitri
identik dengan makanan khas Nusantara bernama Ketupat. Makanan tradisional
berbahan baku beras ini bahkan menjadi ikon setiap lebaran tiba. Bentuknya yang
unik membuat ketupat tidak mudah untuk membuatnya karena terdiri dari anyaman
janur atau daun kelapa muda berwarna putih kekuningan yang cukup rumit sebab membutuhkan
keterampilan tangan dalam membuatnya.
Di daerah Kecamatan
Losari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah rata-rata masyarakat ramai-ramai membuat
makanan yang hanya membutuhkan dua helai janur ini. Namun demikian, selama lima
tahun belakangan, janur di daerah ini susah didapatkan.
“Seperti tahun-tahun
kemarin, masyarakat beralih membuat lontong karena mendapatkan janur susah
sekarang,” ujar Ibu Munarti, warga Desa Prapag Kidul, Kecamatan Losari yang
biasa menyediakan ketupat sebagai sajian Hari Lebaran, Rabu (6/7).
Selain sebagai
hidangan Hari Raya, masyarakat juga membuat ketupat untuk dijual. Mereka
menjual karya tangannya itu di sepanjang jalan kecamatan yang banyak dilintasi
warga. Namun, dengan kondisi janur yang kian langka, potensi mereka untuk meraup
rezeki dari penjualan ketupat ini juga ikut meredup. Biasanya satu ikat berisi
10 ketupat dengan Rp7000-Rp9000 tergantung jenis dan ukuran ketupat.
Ada beberapa faktor
yang menyebabkan janur yang menjadi bahan anyaman ketupat makin susah
didapatkan. Losari bagian utara, khususnya di Desa Prapag Kidul, Limbangan,
Kramat, dan Karang Dempel dahulu mempunyai lahan dan kebon kelapa yang luas.
Namun, ribuan pohon kelapa ini tidak lagi mampu memproduksi janur. Karena
setiap tahun dipetik.
Pohon-pohon kelapa
ini juga makin lama tidak lagi memproduksi buah sehingga akhirnya mati. Pilihan
akhirnya terpaksa pohon-pohon tersebut ditebang atau dibiarkan tanpa berbuah.
Kini, banyak lahan yang tadinya perkebunan kelapa tergantikan dengan pohon jati.
Sebagai pohon
penghasil bahan-bahan berguna dari ujung janur hingga akar, pohon kelapa
termasuk tumbuhan yang harus diperbarui dengan bibit pohon baru setidaknya
selama 5-10 tahun. Jika langkah ini tidak dilakukan, maka pohon tidak akan
berbuah dan akhirnya mati.
Faktor pemetikan
janur dengan intensitas sering juga menjadi salah satu faktor mendasar
kelangkaan bahkan bisa menyebabkan proses pembuahaan terganggu. Sebab janur
yang menjadi embrio pertumbuhan pohon kelapa dari sisi batang, buah maupun manggar
(penyangga buah) menjadi tersendat.
Dengan kondisi
memprihatinkan tersebut, menanam bibit pohon kelapa di dekat pohon kelapa yang
sudah menua menjadi langkah penting guna melestarikan pohon yang sebagian besar
hidup di dataran rendah itu. Langkah ini diyakini bisa melanggengkan pohon
kelapa sebagai pohon penghasil janur sehingga eksistensi ketupat sebagai
makanan khas lebaran tetap lestari.
Filosofi ketupat
Kupat atau ketupat
merupakan simbol perayaan hari raya Islam di Jawa sejak masa pemerintahan Kerajaan
Demak pada awal abad ke-15. Konon, ketupat merupakan demitologisasi dan
desakralisasi pemujaan Dewi Sri yang dimuliakan sejak masa kerajaan kuno
Majapahit dan Padjajaran.
Menurut keterangan
Sejarawan Agus Sunyoto, ketupat memang asli Indonesia. Di luar negeri tidak
ada. Ketupat sebetulnya diambil dari satu hadits. Man shoma ramadhana tsumma
atba‘ahu sita minsyawwalin fakaana shama kasiyaamidahron. (Barangsiapa yang
berpuasa Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan berpuasa enam hari di bulan
Syawal, maka seperti telah berpuasa selama setahun penuh).
Menurut Pakar Islam
Nusantara itu, orang yang berpuasa seperti itu disebut kafah atau kafatan,
artinya sempurna. Nah, orang Indonesia menyebutnya kupat (ketupat). Itu
sebabnya orang Indonesia setelah berpuasa Syawal, ada hari raya ketupat,
artinya hari raya sempurna.
Lebih jauh, ketupat
atau kupat bisa dijelaskan sebagai berikut: pertama, istilah kupat mempunyai
kepanjangan ngaku lepat (mengaku bersalah). Kedua, janur sebagai bahan pembuat
kupat mempunyai makna jatining nur (hati nurani). Ketiga, anyaman janur
menggambarkan kompleksitas masyarakat Jawa yang harus dilekatkan dengan tali
silaturrahim.
Keempat, beras yang
menggambarkan nafsu duniawi, dan terkahir kelima yaitu bentuk ketupat yakni
kiblat papat (mata angin), limo pancer (kiblat) yang menggambarkan arah kiblat.
Hal ini memberi makna bahwa nafsu duniawi harus diimbangi dengan beribadah
kepada Allah SWT dengan menghadap kiblat melalui shalat. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar