Puasa dan Piwulang Sunan Bonang
Oleh: Arif Gumantia
Ada sebuah joke ringan menjelang puasa
“Sesungguhnya tanda-tanda puasa adalah semakin bertebarannya iklan sirup di
televisi (surat al-iklan)”. Sebuah joke yang bisa menunjukan realitas kekinian
yang ada di kehidupan kita. Ada dimensi humor tapi ada juga sebuah ironi
tentang komersialisasi puasa.
Saya yakin kita semua sudah sangat paham tentang apa syariat puasa yang harus dijalankan di bulan Ramadhan ini. Dan juga tentang hakikat-hakikat yang ada dalam perintah menjalankan puasa tersebut. Di sini saya mencoba mengelaborasi sebuah piwulang yang diajarkan oleh Sunan Bonang.
Piwulang adalah sebuah kosa kata bahasa Jawa, yang secera sederhana bisa diartikan sebuah pelajaran yang diajarkan secara pararel dengan tingkah laku. Seperti pepatah Jawa “ilmu iku kelakone kanti laku”, bahwa kita bisa memahami sebuah ilmu kehidupan apabila tidak berhenti hanya di dalam teori tapi juga dijalankan dalam perilaku keseharian kita.
Banyak kisah tentang Sunan Bonang, ada yang bisa ditelisik dengan ilmu sejarah, tapi ada juga yang berupa dongeng dari mulut ke mulut dan ada juga yang sekedar menjadi mitos. Tapi menurut saya bahwa kisah-kisah Sunan Bonang dan para wali lainnya menarik karena bisa ditelisik baik secara historis maupun histotik. Secara historis dengan pisau analisis ilmu sejarah, filologi, ataupun arkeologi. Dan juga secara historik, yaitu mengambil sebuah hikmah atau moral cerita yang ada dengan mengkomparasikan pada masa sekarang.
Tentang puasa ini ada sebuah piwulang yang diajarkan oleh Sunan Bonang, yang juga merupakan guru dari Sunan Kalijaga. Dimana, dalam berdakwah Sunan Bonang selalu mengedepankan sebuah dakwah yang sejuk dan damai, sesuai dengan semangat dasar filosofi dari Islam yaitu rahmatan lil alamin, rahmat bagi semesta.
Jadi dalam berdakwah pun selalu mengakrabi kebudayaan masyarakat yang ada, tanpa kehilangan esensinya, hingga terjadi dialektika dan bahkan memberikan nuansa makna yang lebih kaya, seperti piwulang dalam berpuasa, melalui simbol budaya Jawa.
Setelah berpuasa dan berlebaran ada tradisi ketupat kalau dalam bahasa Jawa namanya “kupat”. Menurut Sunan Bonang, kita harus berpuasa dengan ikhlas dan hanya mencari ridho Tuhan agar setelah puasa bisa menikmati kupat. “Kupat” adalah makanan khas saat lebaran. Berupa nasi putih yang di masak di dalam janur. “Janur” di sini adalah daun kelapa yang masih muda.
Kupat adalah singkatan dari laku sing papat atau empat keadaan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada orang yang berpuasa dengan keikhlasan dan kesungguhan. Yaitu: lebar, lebur, luber, dan labur.
Lebar berarti telah menyelesaikan puasanya dengan melegakan. Lebur berarti terhapus semua dosa yang dilakukan di masa lalu, Luber berarti melimpah ruah pahala amal-amalnya. Dan Labur berarti bersih dirinya dan cerah-bercahaya wajah dan hatinya.
Manusia akan bisa meraih “laku sing papat” jika bisa bersikap dan berperilaku lembut dan santun terhadap sesama umat tetapi sekaligus tegas dan berani melawan ketidakadilan. Masing-masing hati nurani kitalah yang dapat menentukan apakah kita berpuasa untuk meraih “laku sing papat” ataukah hanya sekedar basa-basi agar tercitrakan sebagai orang yang saleh.
Dan Janur, sebagai bungkus mempunyai makna
atau simbol sebagai sejatinung nur. Cahaya yang sejati. Kita bisa menjadi
labur, bercahaya wajah dan hatinya, karena mendapat limpahan cahaya yang sejati
dari Tuhan. Sebagai perwujudan sifat Maha Pengasih dan Penyayang. Menjadikan
jiwa kita merasakan kebahagiaan yang hakiki. Sebuah kebahagiaan yang akan
tercapai jika kita suka berbagi ke sesama manusia. Menjadi insan yang rahmatan
lil alamin. Rahmat bagi semesta, memuliakan manusia tanpa memandang suku,
agama, dan ras.
Karena dalam perintah ibadah apapun akan selalu ada 2 wajah Islam. Yaitu wajah Islam yang profetik ritual dan juga wajah Islam dengan dimensi kesalehan secara sosial. Ada dimensi mikro kosmos dan makrokosmos, vertikal dan horizontal. Dan ini tak bisa terpisahkan.
Seperti ibadah puasa ini, mereka yang menjalankan dan mencapai “laku sing papat” adalah mereka yang tawadhu’, jauh dari kesombongan, dan tidak mau bersikap sewenang-wenang atau melanggar hak orang lain seperti korupsi misalnya, baik korupsi materi maupun korupsi perilaku. Dan juga berani memperjuangkan keadilan, karena keberanian memperjuangkan keadilan adalah bagian dari iman.
Semoga piwulang dari Sunan Bonang ini selalu menginspirasi kita dan dapat kita implementasikan dalam puasa-puasa kita yang tentunya tidak hanya dijalankan saat bulan Ramadhan saja. Juga cara-cara berdakwah beliau yang mentoleransi bahkan mengakrabi budaya masyarakat, tidak di jalankan dengan cara-cara kekerasan seperti yang dipraktekkan beberapa ormas Islam.
Seperti kata seorang Sufi : “Ramadhankan hatimu setiap waktu”
* Ketua Majelis Sastra Madiun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar