Dua Rukun Puasa
Puasa memiliki dua rukun, yaitu Pertama,
menahan, al-Imsak. Yang dimaksud menahan atau imsak di sini adalah menahan diri
dari makanan, minuman, dan hubungan suami-isteri (setubuh, jima') sejak terbit
fajar sampai terbenamnya matahari. Firman Allah: "Maka sekarang campurilah
mereka (istri-istrimu) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu,
makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam" (QS. 2.
al-Baqarah: 187)Maksudnya, setelah matahari terbenam (Maghrib) Allah
membolehkan hamba-Nya untuk makan, minum dan bersatu kembali dengan
istri-istrinya sampai datang fajar menyingkap kegelapan malam. Allah menyamakan
malam dengan benang hitam dan siang dengan benang putih, sehingga jelaslah
bahwa benang yang dimaksud di sini tidak ada hubungannya dengan kain, melainkan
fajar.
Dalam kitab Sahihnya, Imam Bukhari
meriwayatkan sebuah Hadis dari Sahl Ibn Sa'd: "Telah diturunkan ayat,
'makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam'; dan
ketika itu kata min al-fajr, fajar belum diturunkan. Maka orang-orang yang
hendak berpuasa mengikatkan benang putih dan hitam pada kedua kakinya. Mereka
masih asyik makan sampai benar-benar bisa melihat warna kedua benang tersebut.
Kemudian turunlah firman Allah min al-fajr, fajar. Barulah mereka mengerti
bahwa yang dimaksud benang hitam dan putih adalah malam dan siang.
Juga dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dari 'Adda Ibn Hatim, ia berkata: "Ketika turun ayat,
'makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam'; aku
mengira, yang dimaksud adalah dua helai benang, satu berwarna putih dan satunya
lagi berwarna hitam. Kemudian kuletakkan benang-benang itu di bawah bantal.
Benang-benang itu kujadikan patokan. Jika telah tampak benang putih, maka aku
pun mulai menahan diri, puasa. Ketika pagi menjelang, aku pun bergegas menemui
Rasulullah dan menceritakan apa yang telah kuperbuat. Beliau bersabda: 'Wah,
jika begitu bantalmu bertambah tebal, dong! Adapun yang dimaksud dalam ayat
tersebut adalah terangnya siang dan gelapnya malam'." Maksud ungkapan,
"jika begitu bantalmu bertambah tebal" adalah bertambah tebal karena
ditambah dua benang, hitam dan putih yang diletakkan di bawah bantal, yang oleh
ayat sendiri dimaksudkan terangnya siang dan gelapnya malam.
Ketika para ulama memberi definisi puasa
dengan menahan (al-imsak), maka yang dimaksud menahan di sini adalah menahan
dari semua perkara yang membatalkan puasa. Termasuk di dalamnya adalah makan,
minum, dan juga hubungan badan, jima. Selain itu, ada juga hal-hal lain yang
belum disebutkan, di antaranya sesuatu yang dimasukkan melalui rongga tubuh
meskipun rongga itu bukan merupakan rongga yang biasa digunakan untuk makan
atau minum, seperti infus. Maka puasa menjadi batal dengan masuknya hal-hal
semacam itu ke dalam lambung dengan disengaja, baik cara memasukkannya melalui
mulut, hidung, telinga, anal, maupun infus.
Adapun celak dan obat tetes yang digunakan
pada mata, jika ditemukan rasanya di tenggorokan maka puasanya rusak, namun
jika rasa tersebut tak ditemukan maka puasanya tetap sah (sebagian ulama
berpendapat, obat tetes mata dan celak tidak membatalkan puasa meskipun ditemui
rasanya di tenggorokan, karena hal itu bukan merupakan hal yang lazim sebagai
pengisi perut dan tidak mengeyangkan, penyunting).
Imam Abu Hanifah dan Syafi'i berpendapat,
pemakaian celak tidak membatalkan puasa. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Nabi
saw bercelak di bulan Ramadan sedangkan beliau berpuasa. Juga karena mata
bukanlah termasuk lobang yang menerus ke perut, sehingga apa yang masuk
melaluinya tidak merusakkan puasa, sama seperti orang yang meminyaki rambut di
kepalanya.
Adapun sesuatu yang tidak mungkin dihindari
masuknya seperti air liur yang tertelan, debu jalanan, atau tepung yang diayak,
semuanya tidak membatalkan puasa, dan termasuk ke dalam kategori yang di
maafkan, ma'fu 'anh. Seperti juga debu atau lalat yang terbang kemudian masuk
secara tidak sengaja ke mulut atau tenggorokan, mani yang keluar tanpa
disengaja-sebab mimpi atau karena berpikir seputar seks, atau orang yang
tiba-tiba muntah, maka hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa. Apabila terasa
ada makanan yang tersisa di tenggorokan dan sulit untuk mengeluarkannya maka
hukumnya disamakan dengan air liur di atas, tidak membatalkan puasa.
Rukun yang kedua adalah niat, pengikut mazhab
Syafi'i menganggap niat sebagai salah satu rukun puasa, sedangkan pengikut
mazhab-mazhab lainnya menganggap niat sebagai salah satu syaratnya.
Niat secara bahasa diartikan sebagai maksud, bermaksud (al-qashd), sedangkan secara terminologi agama diartikan dengan: "Bermaksud mengerjakan sesuatu yang dibarengi pelaksanaannya. Apabila pelaksanaanya tertunda, tidak berbarengan dengan maksudnya, maka disebut 'azm, azam, keinginan.
Niat secara bahasa diartikan sebagai maksud, bermaksud (al-qashd), sedangkan secara terminologi agama diartikan dengan: "Bermaksud mengerjakan sesuatu yang dibarengi pelaksanaannya. Apabila pelaksanaanya tertunda, tidak berbarengan dengan maksudnya, maka disebut 'azm, azam, keinginan.
Dalil tentang wajibnya niat ini adalah firman Allah: "Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" (QS 98. al-Bayyinah : 5), juga sabda Rasul: "Sesungguhnya amal perbuatan disertai dengan niat-niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang telah mereka niatkan" (HR. Bukhârî).
Diriwayatkan dari Hafshah, Ummul Mukminin ra.
bahwa Nabi saw bersabda: "Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam
hari, sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." Hadis ini menunjukkan
ketidak-absahan puasa tanpa disertai niat pada malam hari. Waktu niat adalah
sepanjang malam. Ia bisa dilaksanakan kapan saja sejak terbenamnya matahari dan
sebelum terbitnya fajar, setiap malam bulan Puasa. Dengan niat inilah dibedakan
antara ibadah dengan adat, kebiasaan. Dan dengan niat ini pula dibedakan antara
ibadah fardhu dengan ibadah sunah.
Niat tidak harus diucapkan dengan lisan,
karena ia merupakan pekerjaan hati. Barangsiapa sahur di malam hari dengan
maksud melaksanakan puasa, maka itu sudah termasuk niat. Niat cukup pula
dihadirkan dalam hati di waktu malam bahwa ia akan berpuasa hari esok. Menurut
Mazhab Mâlikî, niat tidak perlu diucapkan tiap malam, tapi cukup dilakukan
sekali saja jika puasa yang dilakukan adalah puasa yang berkelanjutan dan
berturut-turut, seperti puasa pada bulan Ramadan, puasa kafarat-kafarat
Ramadan, kafarat membunuh, dan kafarat dzihar-, dan lainnya, selama kelanjutan
tersebut tidak terputus. Jika kelanjutan puasa terputus-dikarenakan uzur,
semisal bepergian, sakit, atau lainnya-, maka niat wajib dihadirkan setiap
malam.
Adapun puasa yang tidak harus dilakukan
berturut-turut, seperti puasa kafarat sumpah, dan puasa untuk mengqadha,
mengganti puasa yang ditinggalkan, maka diharuskan berniat setiap malamnya.
Sementara untuk puasa sunah, menurut Mazhab Syafi'i, niat bisa dilakukan-di samping pada malam hari-pada waktu pagi hari, sebelum waktu Dzuhur dan dengan catatan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sebelumnya. Menurut Madzhab Hanafî, niat puasa sunah adalah sejak malam hari hingga pertengahan siang, namun akan lebih baik bila niat dilakukan pada malam hari dan dengan mengucapkannya.
Sementara untuk puasa sunah, menurut Mazhab Syafi'i, niat bisa dilakukan-di samping pada malam hari-pada waktu pagi hari, sebelum waktu Dzuhur dan dengan catatan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sebelumnya. Menurut Madzhab Hanafî, niat puasa sunah adalah sejak malam hari hingga pertengahan siang, namun akan lebih baik bila niat dilakukan pada malam hari dan dengan mengucapkannya.
Sedangkan Mazhab Mâlikî berpendapat, niat
tidak sah dihadirkan pada waktu siang hari, apa pun jenis puasanya, termasuk
puasa sunah. Madzhab Hanbalî berpendapat, niat puasa sunah bisa dilakukan pada
siang hari, meskipun dilakukan setelah matahari tergelincir-sesudah waktu
Dzuhur. Asalkan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan,
minum dan seterusnya.
Dalil sahnya puasa sunah dengan niat di siang
hari ini adalah Hadis yang diriwayatkan dari 'Aisyah ra. yang mengatakan:
"Suatu hari Nabi saw. datang kepadaku dan bertanya, 'Apakah engkau punya
makanan?' Saya menjawab, 'Tidak ada'. Beliau saw. pun lantas berkata, 'Kalau
begitu aku puasa'. Di hari yang lain beliau datang lagi kepadaku. Aku katakan
kepadanya, kita dihadiahi hays. Beliau menjawab, 'Perlihatkanlah kepadaku. Aku
sebenarnya puasa sejak pagi'. Kemudian beliau pun memakan hays tersebut"
(HR. Muslim). Hays adalah kurma kering berserta mentega dan keju.
Sebagian ulama berpendapat, ungkapan Nabi saw
di atas bersifat umum. Ada kemungkinan Nabi saw berniat puasa sejak malam, bisa
juga tidak. Namun berdasarkan hadis sebelumnya, riwayat dari Hafshah di atas,
niat puasa pada dasarnya dilakukan pada malam hari. Puasa ini pun berlaku umum,
bisa berupa puasa fardhu, sunah, qadha maupun nazar.
Dalam masalah ini, kita boleh mengikuti salah
satu pendapat mazhab-mazhab di atas, namun yang lebih afdal melakukan niat pada
malam hari untuk menghindari perbedaan pendapat yang ada. Wa 'l-Lah-u a'lam.
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar