Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
BAHKAN, dari persoalan tahu-tempe pun bisa
dimunculkan penjelasan bahwa agenda politik ekonomi pemerintahan saat ini
benar-benar tidak fokus. Akibatnya, percepatan pembangunan infrastruktur
masih menjadi wacana, sektor agraria sarat konflik, minim kawasan industri,
hingga gagal melindungi kebutuhan pangan rakyat.
Sepintas lalu, dan juga bagi kebanyakan
orang, tahu-tempe mungkin dianggap persoalan sepele. Namun, begitu tahu-tempe
tidak tersedia di pasar menyusul keputusan para produsennya menghentikan
produksi selama tiga hari berturut-turut, diskusi tentang biaya produksi
tahu-tempe justru menguak berbagai kelemahan dari politik ekonomi pemerintah
saat ini.
Dari kasus mogok produksi tahu-tempe itu pula
layak dimunculkan pertanyaan mengenai arah politik ekonomi dan kapabalitas
pemerintah mengelola ekonomi negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ini
memang bukan pertanyaan baru, tetapi patut dimunculkan lagi karena kinerja
ekonomi negara sesungguhnya tak kunjung membaik. Statitistik memang
memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi angka pertumbuhan yang
tinggi itu tidak mampu meningkatkan kesejahteraan warga miskin. Pun, tak
mampu menyediakan lapangan kerja dalam jumlah sesuai skala pertumbuhan yang
tinggi itu. Itu sebabnya, warga kebanyakan sering bertanya siapa saja yang
sesungguhnya yang menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu?
Tim ekonomi Pemerintahan Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono mencoba unjuk kebolehan dengan menggagas program MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). MP3EI
merancang enam koridor ekonomi, meliputi Koridor Sumatera, Kalimantan, Jawa,
Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Koridor Papua dan Kepulauan Maluku.
Dari program ini, akan dikembangkan klaster-klaster industri untuk meningkatkan
keterkaitan industri hulu-hilir, serta keterkaitan pusat-pusat pertumbuhan
dengan wilayah penyangga. Enam koridor itu diharapkan bisa memperkuat
konektivitas nasional, yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara
global (locally integrated, globally connected).
Per konsep, MP3EI terkesan oke banget.
Mampukah pemerintahan ini mewujudkannya? Inilah tantangannya. Soalnya, kalau
mengurusi pengadaan bahan baku tahu-tempe (kedelai) saja bisa berantakan
seperti sekarang, banyak orang tentu akan mempertanyakan kapabilitas pemerintah
mewujudkan MP3EI itu. Keraguan ini bukannya tanpa alasan, melainkan diperkuat
oleh sejumlah fakta.
Kedelai kini menjadi masalah serius karena
revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan yang dicanangkan sejak tahun
2004 hingga kini masih berwujud konsep. Kalau revitalisasi tanaman pangan
diwujudkan secara konsisten, ketergantungan pada kedelai impor mungkin tidak
harus sebesar sekarang.
Fakta lainnya tentang infrastruktur. Entah
sudah berapa banyak forum diselenggarakan untuk membahas upaya percepatan
pembangunan infrastruktur. Nyatanya, Presiden sendiri mengakui bahwa
infrastruktur di dalam negeri masih minim. “Saya akui, infrastruktur di dalam
negeri masih minim," kata Presiden pada sidang kabinet terbatas di
Kementerian Perindustrian, Jakarta, Jumat (27/7) pekan lalu.
Menurut KADIN (Kamar Dagang dan Industri)
Indonesia, untuk membangun semua kebutuhan infrastruktur, dibutuhkan dana
Rp. 1.786 triliun untuk membangun infrastruktur listrik dan energi, pembangunan
jalan baru, serta rel kereta api dan proyek lainnya. Peran swasta sangat
signifikan karena keterbatasan dana pemerintah. Tahun ini, pemerintah hanya
bisa mengalokasikan dana Rp 204,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur.
Minat swasta, baik lokal maupun asing, cukup tinggi. Tapi, pemerintah lagi-lagi
gagal mewujudkan iklim investasi yang kondusif.
Karena penambahan infrastruktur terus
terhambat, upaya mengejar target pertumbuhan investasi menjadi tidak mudah.
Klaster-klaster industri yang dirancang dalam program MP3EI tidak mungkin
terwujud jika infrastruktur dalam negeri masih minim seperti sekarang.
Soalnya, tidak banyak investor yang mau membangun kawasan industri di luar Jawa.
Harga lahan di luar Jawa yang lebih murah sekali pun gagal membangkitkan
minat investor akibat minimnya infrastruktur tadi.
Akibatnya, pembangunan kawasan industri baru
masih saja terpusat di Jawa. Itu pun tidak seluruhnya. Wilayah yang
menjadi favorit investor masih di seputar Jabodetabek, seperti Karawang,
Bekasi, Serang, Tangerang, dan Bogor. Tentu saja karena faktor infrastruktur di
Jabodetabek yang sudah mendukung.
Tidak Fokus
Kesimpulannya, kinerja pemerintahan sekarang
masih sangat mengecewakan. Sebab, mulai dari agenda pembangunan infrastruktur,
revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan, sampai agenda pengamanan
pangan rakyat, semuanya masih diselimuti masalah yang sangat serius.
Rakyat kecewa dan merasa dianiaya karena
pemerintah selalu minimalis setiap kali menyikapi lonjakan harga kebutuhan
pokok. Juga karena ketidaktegasan aparat pemerintah dalam penegakan hukum di
sektor agraria, rakyat di sejumlah wilayah dibiarkan terperangkap dalam konflik
agraria, berhadapan dengan penegak hukum atau investor.
Sampai pada kasus mogok produksi tahu-tempe.
Kalau alasannya kekeringan di Amerika Serikat (AS), bukankah masalah ini bisa
diprediksi? Kalau Kementerian Perdagangan RI fokus mengelola stok kedelai,
potensi kekeringan di AS otomatis masuk dalam kalkulasi, sehingga stok kedelai
bisa diperbesar sebelum kekeringan di AS terjadi. Namun, karena tidak fokus
mengelola stok kedelai dan menyerahkannya kepada kartel, kekeringan di AS tidak
dikalkulasi. Dalam konteks ini, tentu saja muncul pertanyaan; apa saja yang
dikerjakan Kementerian Perdagangan RI sehingga faktor kekeringan di AS sama
sekali tidak diprediksi? Tentu akan konyol kalau menilai Kementerian
Perdagangan tidak kapabel.
Dalam konteks kebutuhan pangan masyarakat
kita, tahu-tempe itu strategis. Sebab, rutin dikonsumsi puluhan hingga
lebih dari seratus juta warga. Karena itu, dalam mengelola pengadaan dan stok
aneka komoditi pangan, negara sejak dulu memberi perhatian ekstra terhadap
bahan baku tahu-tempe, kedelai. Kurang lebih sama dengan perhatian negara
terhadap pengadaan dan stok beras nasional. Seperti itulah politik ekonomi
negara; kebutuhan pangan rakyat harus aman dengan harga terjangkau, at all
cost.
Bagaimana memaknai kasus terhentinya produksi
tahu-tempe baru-baru ini? Suka tidak suka, itu adalah bukti paling sahih
kegagalan politik ekonomi Pemerintahan Presiden SBY melindungi kebutuhan
pangan rakyat.
Pangan rakyat tidak terproteksi karena
Pemerintahan SBY tidak militan mengejar target revitalisasi sektor pertanian
dan tanaman pangan. Gagal karena pemerintahan SBY sudah terperangkap oleh
kebijakan instan impor bahan pangan. Akibatnya, ketergantungan pada bahan
pangan impor sudah sampai pada tahap sangat mencemaskan.
Bahkan, sebelum mogok produksi dilancarkan
produsen tahu-tempe, pemerintah terlihat sama sekali tak berdaya menyikapi
lonjakan harga kedelai. Hingga kini, Produksi kedelai di dalam negeri tidak
pernah bisa mencukupi kebutuhan. Permintaan kedelai di dalam negeri per
tahun 1,5 juta ton, sementara produksi dalam negeri maksimal 960.000 ton per
tahun. Sisanya harus diimpor dari AS. Terasa amat tragis, sebab sebagian
besar masyarakat Indonesia harus ikut menanggung risiko kekeringan di AS.
Seperti halnya beras, pemerintahan SBY
semestinya memberikan proteksi maksimal atas stok komoditi kacang kedelai.
Pengamanan stok kacang kedelai seharusnya tidak diserahkan ke pasar bebas,
melainkan harus berada dalam kendali pemerintah. Sebab, pemerintah-lah
yang mengelola dan mengendalikan kebijakan politik ekonomi.
Konstitusi mewajibkan politik ekonomi
pemerintah pro rakyat, dalam arti mengamanklan kebutuhan pangan rakyat. Pasar
bebas yang hanya berorientasi pada keuntungan tidak peduli politik ekonomi
negara. Maka, negara cq pemerintah-lah yang harus menjadi garda terdepan menghadapi
perilaku pasar bebas yang ekstrim. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
sama-sama, pak. salam kenal.
BalasHapus