Selasa, 07 Agustus 2012

BamSoet: Tahu-Tempe dan Kapabilitas Pemerintah

Tahu-Tempe dan Kapabilitas Pemerintah


Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR/

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia



BAHKAN, dari persoalan tahu-tempe pun bisa dimunculkan penjelasan bahwa agenda politik ekonomi pemerintahan saat ini benar-benar tidak fokus. Akibatnya,  percepatan pembangunan infrastruktur masih menjadi wacana, sektor agraria sarat konflik, minim kawasan industri, hingga gagal melindungi kebutuhan pangan rakyat.



Sepintas lalu, dan juga bagi kebanyakan orang, tahu-tempe mungkin dianggap persoalan sepele. Namun, begitu tahu-tempe tidak tersedia di pasar menyusul keputusan para produsennya menghentikan produksi selama tiga hari berturut-turut,  diskusi tentang biaya produksi tahu-tempe justru menguak berbagai kelemahan dari politik ekonomi pemerintah saat ini.



Dari kasus mogok produksi tahu-tempe itu pula layak dimunculkan pertanyaan mengenai arah politik ekonomi dan kapabalitas pemerintah mengelola ekonomi negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ini memang bukan pertanyaan baru, tetapi patut dimunculkan lagi karena kinerja ekonomi negara sesungguhnya tak kunjung membaik.  Statitistik memang memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi angka pertumbuhan yang tinggi itu tidak mampu meningkatkan kesejahteraan warga miskin. Pun, tak  mampu menyediakan lapangan kerja dalam jumlah sesuai skala pertumbuhan yang tinggi itu. Itu sebabnya, warga kebanyakan sering bertanya siapa saja yang sesungguhnya yang menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu?



Tim ekonomi Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mencoba unjuk kebolehan dengan menggagas program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). MP3EI merancang enam koridor ekonomi, meliputi Koridor Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Koridor Papua dan Kepulauan Maluku. Dari program ini, akan dikembangkan klaster-klaster industri untuk meningkatkan keterkaitan industri hulu-hilir, serta keterkaitan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah penyangga. Enam koridor itu diharapkan bisa memperkuat konektivitas nasional, yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected).



Per konsep, MP3EI terkesan oke banget. Mampukah pemerintahan ini mewujudkannya? Inilah tantangannya. Soalnya, kalau mengurusi pengadaan bahan baku tahu-tempe (kedelai) saja bisa berantakan seperti sekarang, banyak orang tentu akan mempertanyakan kapabilitas pemerintah mewujudkan MP3EI itu. Keraguan ini bukannya tanpa alasan, melainkan diperkuat oleh sejumlah fakta.



Kedelai kini menjadi masalah serius karena revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan yang dicanangkan sejak tahun 2004 hingga kini masih berwujud konsep. Kalau revitalisasi tanaman pangan diwujudkan secara konsisten, ketergantungan pada kedelai impor mungkin tidak harus sebesar sekarang.



Fakta lainnya tentang infrastruktur. Entah sudah berapa banyak forum diselenggarakan untuk membahas upaya percepatan pembangunan infrastruktur. Nyatanya, Presiden sendiri mengakui bahwa infrastruktur di dalam negeri masih minim. “Saya akui, infrastruktur di dalam negeri masih minim," kata Presiden pada sidang kabinet terbatas di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Jumat (27/7) pekan lalu.



Menurut KADIN (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia, untuk membangun semua kebutuhan infrastruktur, dibutuhkan  dana Rp. 1.786 triliun untuk membangun infrastruktur listrik dan energi, pembangunan jalan baru, serta rel kereta api  dan proyek lainnya. Peran swasta sangat signifikan karena keterbatasan dana pemerintah. Tahun ini, pemerintah hanya bisa mengalokasikan dana Rp 204,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Minat swasta, baik lokal maupun asing, cukup tinggi. Tapi, pemerintah lagi-lagi gagal mewujudkan iklim investasi yang kondusif.



Karena penambahan infrastruktur terus terhambat, upaya mengejar target pertumbuhan investasi menjadi tidak mudah. Klaster-klaster industri yang dirancang dalam program MP3EI tidak mungkin terwujud jika infrastruktur dalam negeri masih minim seperti sekarang.  Soalnya, tidak banyak investor yang mau membangun kawasan industri di luar Jawa. Harga lahan di luar Jawa yang  lebih murah sekali pun gagal membangkitkan minat investor akibat minimnya infrastruktur tadi. 



Akibatnya, pembangunan kawasan industri baru masih saja terpusat di Jawa. Itu pun tidak seluruhnya.  Wilayah yang menjadi favorit investor masih di seputar Jabodetabek,  seperti Karawang, Bekasi, Serang, Tangerang, dan Bogor. Tentu saja karena faktor infrastruktur di Jabodetabek yang sudah mendukung. 



Tidak Fokus



Kesimpulannya, kinerja pemerintahan sekarang masih sangat mengecewakan. Sebab, mulai dari agenda pembangunan infrastruktur, revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan, sampai agenda pengamanan pangan rakyat, semuanya masih diselimuti masalah yang sangat serius.



Rakyat kecewa dan merasa dianiaya karena pemerintah selalu minimalis setiap kali menyikapi lonjakan harga kebutuhan pokok. Juga karena ketidaktegasan aparat pemerintah dalam penegakan hukum di sektor agraria, rakyat di sejumlah wilayah dibiarkan terperangkap dalam konflik agraria, berhadapan dengan penegak hukum atau investor.



Sampai pada kasus mogok produksi tahu-tempe. Kalau alasannya kekeringan di Amerika Serikat (AS), bukankah masalah ini bisa diprediksi? Kalau Kementerian Perdagangan RI fokus mengelola stok kedelai, potensi kekeringan di AS otomatis masuk dalam kalkulasi, sehingga stok kedelai bisa diperbesar sebelum kekeringan di AS terjadi. Namun, karena tidak fokus mengelola stok kedelai dan menyerahkannya kepada kartel, kekeringan di AS tidak dikalkulasi. Dalam konteks ini, tentu saja muncul pertanyaan; apa saja yang dikerjakan Kementerian Perdagangan RI sehingga faktor kekeringan di AS sama sekali tidak diprediksi? Tentu akan konyol kalau menilai Kementerian Perdagangan tidak kapabel.



Dalam konteks kebutuhan pangan masyarakat kita, tahu-tempe itu strategis. Sebab, rutin  dikonsumsi puluhan hingga lebih dari seratus juta warga. Karena itu, dalam mengelola pengadaan dan stok aneka komoditi pangan, negara sejak dulu memberi perhatian ekstra terhadap bahan baku tahu-tempe, kedelai. Kurang lebih sama dengan perhatian negara terhadap pengadaan dan stok beras nasional. Seperti itulah politik ekonomi negara; kebutuhan pangan rakyat harus aman dengan harga terjangkau, at all cost.



Bagaimana memaknai kasus terhentinya produksi tahu-tempe baru-baru ini? Suka tidak suka, itu adalah bukti paling sahih kegagalan politik ekonomi  Pemerintahan Presiden SBY melindungi kebutuhan pangan rakyat.



Pangan rakyat tidak terproteksi karena Pemerintahan SBY tidak militan mengejar target revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan. Gagal karena pemerintahan SBY sudah terperangkap oleh kebijakan instan impor bahan pangan. Akibatnya, ketergantungan pada bahan pangan impor  sudah sampai pada tahap sangat mencemaskan.



Bahkan, sebelum mogok produksi dilancarkan produsen tahu-tempe, pemerintah terlihat sama sekali tak berdaya menyikapi lonjakan harga kedelai. Hingga kini, Produksi kedelai di dalam negeri tidak pernah bisa mencukupi kebutuhan.  Permintaan kedelai di dalam negeri per tahun 1,5 juta ton, sementara produksi dalam negeri maksimal 960.000 ton per tahun. Sisanya harus  diimpor dari AS. Terasa amat tragis, sebab sebagian besar masyarakat Indonesia harus ikut menanggung risiko kekeringan di AS.

   

Seperti halnya beras, pemerintahan SBY semestinya memberikan proteksi maksimal atas stok komoditi kacang kedelai. Pengamanan stok kacang kedelai seharusnya tidak diserahkan ke pasar bebas, melainkan harus berada dalam kendali pemerintah.  Sebab, pemerintah-lah yang mengelola dan mengendalikan kebijakan politik ekonomi.



Konstitusi mewajibkan politik ekonomi pemerintah pro rakyat, dalam arti mengamanklan kebutuhan pangan rakyat. Pasar bebas yang hanya berorientasi pada keuntungan tidak peduli politik ekonomi negara. Maka, negara cq pemerintah-lah yang harus menjadi garda terdepan menghadapi perilaku pasar bebas yang ekstrim. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

1 komentar: