Dari Sakit Hati Ke
Proklamasi Harga Diri
Senin, 13 Agustus
2012
Sakit hati, ada
kalanya sangat penting. Banyak orang sukses bermula karena sakit hati: kepada
saudara, tetangga, teman, mantan pacar, mantan kongsi, atau kepada pesaing yang
pernah mengalahkannya.
Sakit hati kadang
juga menyangkut harga diri. Banyak orang sukses bukan karena ingin kaya, tapi
karena tidak ingin harga dirinya diremehkan. Mereka ini golongan yang, setelah
sukses, tidak kelihatan menikmati kekayaannya untuk kemewahan hidupnya.
Sakit hati juga biasa
datang dari orang pandai yang merasa kepandaiannya tidak dimanfaatkan. Bisa
juga datang dari orang yang merasa terjajah, yang kemudian ingin mengalahkan
bekas penjajahnya.
Bisakah sakit hati
dilakukan secara berjamaah? Oleh satu kelompok? Agar kelompok itu sukses secara
bersama-sama? Bisakah sakit hati dilakukan secara nasional? Sehingga bangsa itu
secara keseluruhan bisa sukses?
Sebagai orang yang
pernah sakit hati, saya mencoba mengumpulkan banyak orang yang sudah lama sakit
hati. Yakni para engineer yang selama ini bekerja di perusahaan-perusahaan
BUMN. Mereka inilah yang merasa sakit hati setiap kali melihat kemampuan mereka
diremehkan.
Salah satu puncaknya
adalah saat mereka melihat proyek pembangkit listrik 10.000 MW. Mereka
mempertanyakan: mengapa untuk pembangkit yang sekecil 2×7 MW pun harus
mentah-mentah didatangkan dari Tiongkok? Apalagi ketika pada akhirnya proyek
itu sama sekali tidak bisa dikatakan murah -oleh berbagai sebab, termasuk
penyebab dari dalam negeri.
Rabu pagi tanggal 8
Agustus 2012 lalu, mereka berkumpul di aula kantor pusat Pertamina. Selama ini
mereka benar-benar sakit hati.
Hanya saja mereka
cuma berani mengeluhkannya secara diam-diam dan sendiri-sendiri. Mereka adalah
kelompok sakit hati yang meskipun tidak destruktif tapi juga tidak aktif.
Mereka pada dasarnya “sakit hati, tapi setengah tidak berdaya”.
Padahal kemampuan
mereka luar biasa. Asal ada yang mempersatukan dan mengkoordinasikan.
Selama ini mereka
kurang diberi kesempatan sehingga kapasitas itu tercerai-berai di berbagai
BUMN. Mereka bukan saja tidak bersinergi, bahkan sering saling jegal!
Lihatlah pabrik di
Pasuruan ini. Siapa yang menyangka bahwa BUMN yang kelihatan setengah sekarat
itu –PT Boma Bisma Indra (BBI)- mampu membuat kondensor. Alat yang menjadi
bagian sangat penting dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Waktu saya berkunjung
ke PT BBI Pasuruan tiga minggu lalu tiga kondensor sudah terlihat jadi. Siap
diekspor ke Eropa. Kondensor itu memang dipesan oleh pabrikan besar di Eropa.
Untuk dipasang di PLTU di seluruh dunia.
Tapi PT BBI sedang
kelimpungan. Ini akibat buruknya manajemen di masa-masa yang lalu. Utangnya ke
Bank Mandiri sudah macet selama 10 tahun! Bunga dan dendanya terus menggunung.
Assetnya banyak tersandera sebagai jaminan bank yang tidak bisa diapa-apakan.
Perusahaan ini di-blacklist oleh bank mana pun.
PT BBI juga masih
punya utang dagang pada PT Krakatau Steel (KS) yang sangat besar. Juga sudah
macet lebih 10 tahun. Sebagian asset PT BBI juga ditahan oleh KS sebagai
jaminan sehingga tidak bisa digerakkan.
Akibatnya, kemampuan
yang tinggi yang dimiliki para ahli dan karyawan PT BBI tersandera oleh keadaan
perusahaan yang ‘termehek-mehek’. Mereka sakit hati dan frustrasi. Ahli tapi
tidak berdaya.
Mereka ahli membuat
kondensor, boiler, pabrik kelapa sawit, dan pekerjaan engineering lainnya, tapi
mereka tidak ahli dalam menyelesaikan problem utang macet yang membelit
perusahaannya.
Maka saya bersyukur
ketika Dirut PT BBI yang sekarang, Dr Ir Lalak Indiyono, punya ide brilian
untuk menguraikan benang kusut itu. Dengan skema yang cerdas, akhir tahun ini
saya targetkan benang kusut tersebut sudah harus selesai. Agar tahun depan
sudah bisa berlari, mengubah sakit hati menjadi ‘balas dendam’ untuk kemajuan
bersama.
Dalam forum rapat
akbar engineering BUMN Rabu lalu itu, Dirut PLN, Ir Nur Pamudji, juga
menawarkan pembangunan 30 unit PLTU di seluruh Indonesia. Terutama yang
ukurannya 20 MW ke bawah. PLTU-PLTU ini harus dibangun sepenuhnya oleh
putra-putra bangsa sendiri. Baik BUMN maupun BUMN dan swasta nasional.
Inilah “Proyek 30
PLTU Merah Putih”, yang kami proklamasikan menjelang perayaan 17 Agustus 2012
untuk segera dikerjakan.
Pembagian tugas pun
diputuskan: turbin dibuat PT NTP Bandung, anak perusahaan PT Dirgantara
Indonesia. Dengan membuat 30 turbin sekaligus, para engineer di PT NTP akan
sibuk dan bisa mencapai skill yang tangguh.
Generatornya dibuat
oleh PT Pindad Bandung. Membuat 30 generator sekaligus bisa sangat efisien.
Boilernya dibuat PT Barata Surabaya. PT BBI membuat kondensornya. Dan PT Wika
membangun sipilnya. Secara teknik, perusahaan-perusahaan BUMN tersebut
benar-benar mampu mengerjakannya.
Selama ini mereka
terserak, tidak terkoordinasi, dan bahkan saling menjatuhkan.
Dalam forum itu para
engineer BUMN juga memproklamasikan “Pabrik Gula Merah Putih”. BUMN memang akan
membangun pabrik gula baru di Glenmore, Banyuwangi. Pabrik baru yang akan
menjadi yang terbesar di Jawa itu, 100 persen akan made in Indonesia!
Kalau proyek ini
sukses (dan harus sukses) maka revitalisasi pabrik-pabrik gula tua di seluruh
Indonesia akan dikerjakan sendiri oleh putra-putra bangsa.
Alangkah akan
sibuknya para engineer kita. Alangkah hidupnya pabrik-pabrik rekayasa
permesinan kita. Alangkah berkembangnya kemampuan insinyur-insinyur kita.
Belum lagi proyek
monorail Jakarta yg mangkrak sejak lebih 10 tahun lalu itu. Kalau Gubernur
Jakarta mengeluarkan izinnya, satu BUMN yang selama ini banyak dosanya, PT Adhi
Karya, akan menebus dosanya itu dengan pengabdian nyata.
Monorail Jakarta itu
akan selesai dalam 26 bulan. Adhi Karya akan didukung dua BUMN lainnya, PT LEN
untuk sistem elektroniknya dan PT INKA untuk keretanya. Maka begitu pilkada
selesai izin akan diajukan.
Yang masih akan
dirumuskan adalah: bagaimana agar putra-putra bangsa juga bisa segera memiliki
kemampuan mengerjakan proyek petrochemical dan oleochemical. Sedang untuk
teknologi hidrogen dan fuel cell yang kelak akan jadi alternatif sumber tenaga
untuk mobil listrik juga sedang dirancang.
Kita sudah punya ahli
fuel cell yang kini bekerja di BPPT dan di LIPI. Mereka sudah setuju untuk
membuat prototipe fuel cell pertama di Indonesia, dengan biaya BUMN PT Batantek
pimpinan Dr Ir Yudiutomo Imardjoko. Dua ilmuwan hebat akan berkolaborasi untuk energi
masa depan Indonesia.
Maka dalam enam
bulan, kita akan bisa melihat apakah Dr Ir Ennya Lestyani Dewi yang sekolah S1
sampai S3-nya di Jepang (atas biaya BJ Habibie) itu bisa melahirkan teknologi
fuel cell Indonesia.
Tentu ilmuwan-ilmuwan
energi masa depan lainnya yang belum saya ketahui dimohon bergabung ke sini.
Seperti yang sudah
dibuktikan minggu lalu, salah satu putra bangsa kita juga sudah berhasil
membuat prototipe permanent magnetic motor pertama di Indonesia. PMM 25 kv itu
sdh terbukti berhasil dipasang di mobil listrik buatan Pindad dan berfungsi
dengan sempurna.
Untuk teknologi fuel
cell pun, saya melihat di balik jilbab Dr Ennya Lestyani Dewi, putri Secang,
Magelang, ini menyinarkan otak encernya.
Saat ini, dari Makkah
saya berdoa untuk Dr Ennya yang lagi merancang teknologi fuel cell-nya.
Sakit hati,
kelihatannya memang perlu sering-sering terjadi. Asal terbuka penyalurannya. []
Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar