Setelah Hidup
Diperpanjang Lima Tahun
Senin 6 Agustus 2012
Hari ini, Senin 6
Agustus 2012, genap lima tahun saya “hidup baru”. Allahu Akbar! Kalau teringat
begitu parahnya kondisi badan saya lima tahun yang lalu, rasanya tidak terbayangkan saya masih
bisa hidup hari ini. Allahu Akbar! Apalagi dengan kualitas hidup yang nyaris
sempurna seperti sekarang ini. Allahu Akbar!
Sejak saya muntah
darah tujuh tahun lalu, dan kemudian diketahui sepanjang saluran
pencernaan saya sudah penuh dengan gelembung darah yang siap pecah (akan
diikuti dengan muntah darah atau buang air darah), harapan hidup waktu itu
hampir hilang.Harapan hidup itu lebih tipis lagi setelah diketahui bahwa limpa
saya sudah membesar. Sudah tiga kali lipat lebih besar daripada limpa normal.
Itu berarti limpa tersebut sudah siap meledak yang menjadi penyebab kematian
kapan saja. Apalagi status hati saya yang terkena virus hepatitis B pun sudah
meningkat menjadi sirosis, mengeras dan tidak berbentuk hati lagi.
Vonis bahwa umur saya
maksimal tinggal enam bulan lagi harus saya terima setelah dipastikan bahwa
hati saya sudah penuh dengan kanker. Ukuran kankernya pun sudah besar-besar.
Sudah ada yang 2 cm, 4 cm, dan 6 cm. Bibit-bibit kanker lain masih puluhan
jumlahnya.
Saya tidak akan lupa
ucapan seorang dokter ahli di Singapura, yang sudah begitu pasrahnya. Terutama
ketika saya mengeluh kesakitan setiap kali mengenakan sepatu. Kaki saya sudah
bengkak begitu besarnya. Sepatu saya tidak muat lagi.
“Ya ganti sepatu
saja!” ujar dokter yang pasiennya 80 persen orang dari Indonesia itu. Padahal,
waktu itu saya mengharapkan jalan keluar bagaimana agar bengkak kaki saya itu
bisa diatasi. “Tidak ada jalan lain. Ganti sepatu. Kalau bengkaknya sudah lebih
besar lagi, ganti sepatu lagi!”
Saya tidak jengkel
dengan ucapannya itu. Bahkan, saya tersenyum karena terasa ada lucunya. Itulah
cara dokter memaksa saya untuk menjalani transplantasi. Tidak ada jalan lain
lagi.
Hanya transplant yang
bisa menyelamatkan. Itu pun tidak bisa transplant separo hati (diambilkan dari
hati istri atau anak atau pendonor) karena seluruh hati saya sudah hancur.
Harus hati sepenuh
hati yang berarti hanya bisa didapat dari orang yang meninggal. “Kalaupun itu
bisa didapat dan kalaupun itu nanti sukses,” kata dokter tersebut, “paling
hanya bisa menambah umur lima tahun.” Saya juga tidak akan lupa ucapan dokter
itu berikutnya: “Tapi, tambah umur lima tahun kan lumayan. Waktu itu nanti umur
Anda kan sudah 61 tahun. Sudah lebih pantas meninggal.”
Saya memang akrab
dengan dokter itu sehingga sekeras apa pun ucapannya tidak membuat saya kecewa.
Sang dokter juga tahu bahwa saya cukup intelek untuk menerima kata-kata yang
meskipun bernada keras, tapi sangat ilmiah.
Mengapa hasil
transplant itu hanya bisa memperpanjang umur lima tahun? Secara ilmiah, bisa
diterangkan begini: virus hepatitis B dan sel-sel kanker hati saya itu,
logikanya, sudah ikut beredar di darah.
Artinya, virus
hepatitis B dan sel-sel kanker hati saya itu sudah berada di mana-mana. Ketika
saya mendapatkan hati baru dan hati baru tersebut dilewati darah yang sudah
membawa virus hepatitis B dan sel-sel kanker, virus dan sel-sel tersebut
otomatis hinggap lagi di hati yang baru.
Lalu, virus
hepatitisnya berkembang lagi, hati menjadi sirosis lagi, muntah darah lagi,
bengkak lagi, dan kanker merajalela lagi.
Teori seperti itulah
yang membuat tekad untuk melakukan transplant kadang mengendur. Untuk apa
transplant. Mahal sekali dan belum tentu berhasil. Berhasil pun hanya untuk
lima tahun. Pun, tambahan hidup lima tahun itu belum tentu bisa dinikmati. Bisa
jadi, kualitas hidup pasca transplant tersebut adalah kualitas hidup yang
sangat rendah: harus minum banyak obat, sering masuk rumah sakit, menyusahkan
keluarga, dan menghabiskan banyak uang.
Tapi, orang hidup itu
tidak boleh pesimistis. Tidak boleh putus asa.
La taiasu!
La tahzan!
Ingat ajaran agama:
Berikhtiar itu bukan mubah, bukan sunnah, tetapi wajib!
Jadilah saya memutuskan transplantasi hati.
Tapi, saya juga tidak
terlalu berharap banyak. Takut kecewa. Orang yang tidak berharap banyak bisa
lebih bahagia.
Termasuk, saya tidak
membayangkan bahwa setelah transplant nanti saya bisa jalan-jalan jauh. Saya
pikir, saya nanti bisa hidup, tapi dengan aktivitas yang terbatas. Kalau
sebelum transplant saya putuskan membeli helikopter, antara lain untuk
persiapan siapa tahu bisa membantu mobilitas saya.
Allahu Akbar!
Transplantasi hati
saya berhasil. Kualitas hidup saya setelah transplant ternyata tidak selemah
seperti yang saya bayangkan. Ternyata, saya bisa bekerja, bisa ke mana-mana dan
bisa di mana-mana. Saya bisa berolahraga setiap hari selama 1,5 jam!
Bahkan, kalau Monas
lagi hujan, saya bisa berolahraga dengan cara menaiki tangga darurat
gedung-gedung pencakar langit milik BUMN di Jakarta: gedung Kementerian BUMN di
dekat Monas, gedung Pertamina di dekat Masjid Istiqlal, gedung BTN di Harmoni,
gedung Bank Mandiri di Jalan Gatot Subroto, gedung Bank Rakyat Indonesia di
dekat Jembatan Semanggi, dan terakhir gedung Bank BNI di dekat patung Jenderal
Sudirman. Tidak ada lagi gedung tinggi milik BUMN yang belum saya naik-turuni.
Rekor amatir saya: 16
menit naik, 12 menit turun!
Pada ulang tahun
kelima Senin hari ini, tidak ada acara khusus karena ada dua kali sidang
kabinet. Tapi, kemarin, sehari penuh, 1.000 penghafal Alquran (hufadz)
berkumpul di Jakarta untuk khataman. Nanti sore istri saya yang pertama, kedua,
ketiga, dan keempat yang, hehe…, semuanya bernama Nafsiah Sabri, mengundang
kelompok pengajian ibu-ibu untuk berbuka bersama.
Selama empat tahun
hidup baru, saya selalu berada di lokasi yang berbeda. Ketika baru setahun “hidup baru”, saya berada di Kashmir yang saat itu
lagi amat tegang oleh perang saudara. Tahun kedua saya sudah diajak Bapak
Presiden SBY ke USA, Meksiko, Peru, dan Brasil.
Saya agak waswas
menempuh perjalanan begitu jauh dan berat saat itu. Tapi, ternyata tidak ada
masalah yang besar.
Tahun ketiga saya ke
Tiongkok untuk check-up total. Tahun keempat, tanpa disangka-sangka, saya
menjadi CEO PLN dan mengundang 1.000 hufadz untuk khataman Alquran.
Allahu Akbar!
Hari ini, lima tahun
terlewati dengan penuh berkah. Allah memberikan nikmat jauh melebihi dari yang
saya gambarkan. Jauh sekali.
Semula, tidak lama
setelah saya siuman dari pengaruh anestesi selama 13 jam, setelah saya
menyadari bahwa operasi saya berhasil (meski masih untuk sementara), setelah
saya mengucapkan rasa syukur, saya pun bertekad untuk tidak lagi mau mengurus
perusahaan. Terutama karena selama dua tahun saya sakit toh perusahaan tetap
berkembang.
Lalu, saya hanya
ingin mau mengerjakan tiga hal saja: menjadi guru jurnalistik, menulis buku,
dan kembali mengurus pesantren keluarga. Kebetulan, keluarga kami memiliki
lebih dari 100 buah madrasah yang tergabung dalam Pesantren Sabilil Muttaqien,
yang didirikan oleh seorang mursyid tarekat Syathariyah. Saya merasa bersalah
karena selama itu saya terlalu sibuk “mencari duit” sehingga kurang ikut
mengurus pesantren ini.
Sama sekali tidak
membayangkan kalau suatu saat saya diminta oleh Bapak Presiden SBY untuk menjadi
CEO PLN. Saya sudah merasa sangat bahagia kalau bisa menjadi guru jurnalistik,
menulis buku, dan mengurus pesantren. Tidak ada bayangan sama sekali menjadi
pejabat.
Saya pun sudah
mencoba menolak mati-matian jabatan CEO PLN itu, tapi pada akhirnya ini: dengan
memperpanjang umur saya, mungkin Allah punya kehendak lain yang harus saya
kerjakan. Saya pun menerima takdir itu. Pun ketika kemudian harus menjadi menteri negara BUMN.
Toh saya masih tetap
bisa mengajar jurnalistik, menulis buku, dan mengurus pesantren keluarga.
Pekerjaan penting menjelang lima tahun “hidup baru” ini tentu harus saya
lakukan: memeriksa apakah ada sel-sel kanker di badan saya, sisa-sisa kanker
yang dulu.
Allahu Akbar!
Tidak ada. (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar