Jika pada kesempatan tulisan terdahulu, peneliti telah menyampaikan sejumlah pendapat para fuqaha dan sekaligus illat hukumnya tentang keharaman melakukan syirkah ta’awuniyah (kerja sama tolong-menolong) dengan objek rumah ibadah, maka pada kesempatan tulisan kali ini, peneliti akan menyajikan sejumlah pandangan para ulama yang menyatakan hukum kebolehan dalam syirkah ta’awuniyah tersebut.
Tentu saja, maksud utama dari penyajian tulisan ini adalah semata atas dasar objektivitas kajian, sebab hukum secara fiqih, tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melingkupi zamannya. Menurut pandangan sarjanawan kontemporer, hukum adalah bagian dari produk politik (siyasah). Kaidah yang menyatakan al-umur bimaqashidiha (tiap perkara berkait dengan maksudnya), secara tidak langsung menyiratkan akan kebenaran adanya konteks dan kondisi melingkupi suatu produk hukum.
Selanjutnya, kita sajikan beberapa fakta tentang produk hukum yang pernah dituliskan oleh para ulama terkait dengan pembolehan melakukan syirkah ta’awuniyah dengan objek rumah ibadah tersebut.
Ibnu Nujaim (w. 970 H) dari Kalangan Hanafiyah
Imam Abu Hanifah, sebagaimana dikutip oleh Syekh Yusuf Qaradhawi, menyatakan hukumnya boleh melakukan syirkah ta’awuniyah dengan objek rumah ibadah bersama dengan umat agama lain. Meskipun pendapat ini juga mendapat tentangan dari jumhur (mayoritas) ulama, dengan hujjah bahwa yang diamanatkan oleh Imam Abu Hanifah adalah wasiatnya seorang Kafir Dzimmy untuk melakukan renovasi terhadap gereja. Alhasil wasiat kebolehan itu bukan dari seorang muslim untuk kanisah.
Untuk menyanggah terhadap argumen ulama yang mengatakan demikian, maka dihadirkan pandangan dari Ibnu Nujaim (w. 970 H), pengarang kitab Al-Bahr al-Raiq Syarah Kanz Al-Daqaiq wa Minhati al-Khaliq, juz 8, h. 23, yang mana beliau menyampaikan hal sebagai berikut:
وفِي فَتاوى أهْلِ سَمَرْقَنْدَ اسْتَأْجَرَ رَجُلًا لِيَنْحِتَ لَهُ مِزْمارًا أوْ طُنْبُورًا أوْ بَرْبَطًا فَفَعَلَ يَطِيبُ لَهُ الأجْرُ إلّا أنَّهُ يَأْثَمُ فِي الإعانَةِ عَلى المَعْصِيَةِ، ولَوْ اسْتَأْجَرَ المُسْلِمَ لِيَبْنِيَ لَهُ بِيعَةً أوْ كَنِيسَةً جازَ ويَطِيبُ لَهُ الأجْرُ، ولَوْ اسْتَأْجَرَتْهُ امْرَأةٌ لِيَكْتُبَ لَها قُرْآنًا أوْ غَيْرَهُ جازَ ويَطِيبُ لَهُ الأجْرُ إذا بَيَّنَ الشَّرْطَ وهُوَ إعْدادُ الخَطِّ وقَدْرُهُ، ولَوْ اسْتَأْجَرَ مُسْلِمًا لِيَحْمِلَ لَهُ خَمْرًا ولَمْ يَقُلْ لِأشْرَبَهُ جازَتْ الإجارَةُ عَلى قَوْلِ الإمامِ خِلافًا لَهُما وفِي المُحِيطِ السّارِقُ أوْ الغاصِبُ لَوْ اسْتَأْجَرَ رَجُلًا يَحْمِلُ المَغْصُوبَ أوْ المَسْرُوقَ لَمْ يَجُزْ؛ لِأنَّ نَقْلَ مالِ الغَيْرِ مَعْصِيَةٌ اهـ
"Di dalam Kitab Fatawi Ahli Samarqaand disampaikan bahwa seseorang disewa untuk membuat seruling, tambur atau barbathan, kemudiaan dikerjakannya, maka baginya hak menerima ujrah yang baik, namun disertai dengan berdosa karena telah melakukan pekerjaan menolong kemaksiatan. Demikian pula, seandainya ada seorang muslim yang bekerja untuk membangun biara dan gereja, maka hukumnya adalah boleh, dan berhak mendapat ujrah. Jikalau ada seorang perempuan (muslim / non muslim) dipekerjakan untuk menulis sebuah al-Qur’an atau selainnya Al-Qur’an, maka hukumnya adalah boleh, dan dia berhak mendapat kebaikan upah, (dengan ketentuan) jelasnya syarat yaitu penyiapan alat tulis (i’dad al-khath) dan kemampuannya dalam menulis. Jikalau ada seorang muslim bekerja untuk memikul khamr, tidak ada yang bilang bahwa khamr tersebut untuk diminum, maka hukumnya adalah boleh melakukannya berdasar pendapat Imam Abu Hanifah namun berbeda pendapat dengan kedua muridnya. Di dalam kitab al-Muhith disebutkan bahwa jikalau ada seorang penggashab dan seorang pencuri menyewa seseorang untuk membawakan barang ghasaban dan barang curian, maka hukumnya tidak boleh, sebab memindah barang milik orang lain adalah kemakiatan.” (Al-Bahr al-Raiq Syarah Kanz Al-Daqaiq wa Minhati al-Khaliq li Ibn Nujaim, juz 8, h. 23).
Ibnu Marah (w. 616 H) dari Kalangan Hanafiyah
Dalam kesempatan ini, peneliti selanjutnya menelusuri Kitab al-Muhith al-Burhany fi al-Fiqh al-Nu’many yang dinukil oleh Ibnu Nujaim (w. 970 H). Di dalam kitab tersebut, tepatnya juz 2, h. 362, Ibnu Marah menukil dari al-Qudury, bahwasanya:
وإذا آجر المسلم نفسه من ذمي ليعصر له فيتخذ خمرًا فهو مكروه، ولو آجر نفسه ليعمل في الكنيسة ويعمرها فلا بأس به؛ إذ ليس في نفس العمل معصية، ولا بأس أن يصل المسلم المشرك قريبًا كان أو بعيدًا، محاربًا كان أو ذميًا، وأراد بالمحارب المستأمن، فأما إذا كان غير مستأمن فلا ينبغي بأن يصله
"Ketika seorang muslim bekerja untuk seorang dzimmi untuk memeras anggur baginya guna dijadikan khamr, maka hukum pekerjaan ini adalah makruh. Jikalau ia bekerja untuk membangun sebuah gereja, maka hukum bekerja itu tidak apa-apa dengan alasan karena dilihat dari sisi dhahir pekerjaan adalah bukan sebuah kemaksiatan. Tidak apa-apa seorang muslim untuk menjalin komunikasi dengan seorang musyrik, baik tetangga dekat atau tetangga jauh, baik yang sedang berperang atau dzimmi. Namun ada catatan, bahwa untuk kafir yang sedang berperang, ada keinginannya untuk mencari suaka (musta’man). Adapun untuk kafir yang bukan dari kalangan pencari suaka (baca: kafir harby), maka tidak sepatutnya bagi seorang muslim untuk menjalin relasi/komunikasi.” (al-Muhith al-Burhany fi al-Fiqh al-Nu’many li Ibn Marrah, juz 2, h. 362).
Ibn Abidin (w. 1252 H) dari Kalangan Hanafiyah
Pendapat-pendapat lain yang senada dengan kedua pandangan ulama di atas, adalah ada Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam Kitab Al-Durr al-Mukhtar dan Khasyiyah Ibn Abidin (6/291). Di dalam Hasyiyahnya, Ibnu Abidin (w. 1252 H) menyatakan:
ولو آجر نفسه ليعمل في الكنيسة ويعمرها لا بأس به لأنه لا معصية في عين العمل
"Jikalau ada seorang muslim bekerja di sebuah gereja untuk mendirikannya, maka hukumnya adalah tidak apa-apa, dengan alasan karena sesungguhnya secara materiil, bekerja itu bukan kemaksiatan.” (Al-Durr al-Mukhtar dan Khasyiyah Ibn Abidin, juz 6, h. 291).
Al-Qadli Abu Ya’la dari Kalangan Malikiyah
Pendapat al-Qadli Abu Ya’la ini setidaknya dinukil oleh 2 mushannif sekaligus, yaitu Syekh Abdurrahman al-Maqdisy (w. 682 H) di dalam Kitabnya Al-Syarh al-Kabir ‘ala Matn al-Muqanni’, juz 6, h. 495, dan Syekh Muwaffiq al-Din Ibn Qudamah al-Maqdisy (w. 620 H) di dalam Al-Mughny li Ibn Qudamah, juz 6, h. 219. Pendapat yang dinukil tersebut adalah sebagai berikut:
وذكر القاضي أنه لو أوصى لحصر البيع وقناديلها وما شاكل ذلك ولم يقصد إعظامها بذلك صحت الوصية لأن الوصية لأهل الذمة فإن النفع يعود إليهم والوصية لهم صحيحة
“Al-Qadli Abu Ya’la telah menuturkan bahwasanya jikalau ada seorang muslim berwasiat untuk merenovasi biara Yahudi dan memberi penerangan kepadanya, atau yang sejenis dengan pengertian keduanya, namun disertai niat tidak untuk mengagungkan biara tersebut, maka hukum wasiat tersebut adalah sah karena alasan: (1) wasiat tersebut disampaikan ke (individu) ahli dzimmah, (2) manfaat dari wasiat itu kembali ke diri individu tersebut, (3) berwasiat untuk manfaat yang kembali ke person dzimmy adalah sah.” (Al-Syarh al-Kabir ‘ala Matn al-Muqanni’, juz 6, h. 495 dan Al-Mughni li Ibn Qudamah, juz 6, h. 219).
Pendapat al-Qadli Abu Ya’la ini mendapatkan dukungan dari Imam Ahmad bin Hanbal serta merupakan pendapat yang sahih-berlaku sebagai pembanding (muqabil) dari pendapat yang menentangnya - dan beliau juga menyatakan sah. Adapun pendapat yang menentang keduanya adalah disampaikan sebagai berikut:
والصحيح أن الوصية لا تصح بهذا لأن ذلك إنما هو إعانة لهم على معصيتهم وتعظيم لكنائسهم ونقل عن أحمد ما يدل على صحة الوصية من الذمي بخدمة الكنيسة والأول أولى وأصح وإن وصى ببناء بيت ليسكنه المجتازون من أهل الذمة وأهل الحرب صح لأن بناء مساكنهم ليس بمعصية
"Pendapat yang shahih, adalah wasiat sebagaimana disebutkan di atas adalah tidak sah, karena hal demikian itu adalah sama dengan menolong merek untuk kemaksiatan, dan mengagungkan gereja mereka. [Pendapat yang senada dengan Abu Ya’la] Dinukil dari pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal dengan penegasan sahnya wasiat dari seorang kafir dzimmi untuk melayani gereja mereka. Namun, pendapat awal yang menyatakan tidak sah, adalah yang lebih utama (aula) serta merupakan qaul yang paling sahih (ashah). Walhasil, jika ada seorang muslim berwasiat untuk membangun suatu rumah agar ditempati oleh orang-orang yang lewat dari kalangan ahli dzimmah dan ahli harby, maka wasiat tersebut adalah sah karena membangun tempat tinggal buat mereka adalah bukan kemaksiatan.” (Al-Syarh al-Kabir ‘ala Matn al-Muqanni’, juz 6, h. 495 dan Al-Mughni li Ibn Qudamah, juz 6, h. 219).
Pendapat Kalangan Syafiiyah
Pendapat dari kalangan Syafi’iyah ini diwakili oleh Syekh Khatib Al-Syirbiny (w. 977 H) dalam Kitab Mughny al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’any Alfadhy al-Minhaj, juz 4, h. 68, sebagai berikut:
أمّا إذا قَصَدَ انْتِفاعَ المُقِيمِينَ والمُجاوِرِينَ بِضَوْئِها، فالوَصِيَّةُ جائِزَةٌ وإنْ خالَفَ فِي ذَلِكَ الأذْرَعِيُّ، وسَواءٌ أوْصى بِما ذُكِرَ مُسْلِمٌ أمْ كافِرٌ
“Adapun apabila berniat agar ada bangunan yang bisa dimanfatkan oleh pemukim atau orang yang lewat, maka wasiat semacam adalah boleh meskipun pendapat ini ditentang oleh Imam al-Adzra’iy. Hukum kebolehan ini berlaku, baik pihak yang berwasiat itu orang muslim maupun orang kafir.” (Mughny al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’any Alfadhy al-Minhaj li al-Syirbiny, juz 4, h. 68).
Sebenarnya, pendapat ini merupakan yang selaras dengan pendapat Abu Ya’la dari kalangan Malikiyah dan Imam Ahmad bin Hanbal di atas. Benang merah dari pendapat ini adalah kebolehan wasiat dengan objek tempat ibadah, akan tetapi tempat ibadah ini harus memiliki fungsi lain yaitu sebagai al-sukna (tempat istirahat atau tempat tinggal) orang-orang yang lewat. Lebih jelasnya, pendapat ini disampaikan sebagai berikut:
تَنْبِيهٌ: أطْلَقَ المُصَنِّفُ مَنعَ الوَصِيَّةِ بِعِمارَةِ الكَنِيسَةِ، ومَحَلُّهُ فِي كَنِيسَةٍ لِلتَّعَبُّدِ كَما قَيَّدْتُ بِهِ كَلامَهُ. أمّا كَنِيسَةٌ تَنْزِلُها المارَّةُ أوْ مَوْقُوفَةٌ عَلى قَوْمٍ يَسْكُنُونَها أوْ تُحْمَلُ أُجْرَتُها لِلنَّصارى فَيَجُوزُ، نَصَّ عَلَيْهِ فِي كِتابِ الجِزْيَةِ، وحَكى الماوَرْدِيُّ وجْهًا: أنَّهُ إنْ خَصَّ نُزُولَها بِأهْلِ الذِّمَّةِ حَرُمَ، واخْتارَهُ السُّبْكِيُّ، ولَوْ أوْصى بِبِنائِها لِنُزُولِ المارَّةِ والتَّعَبُّدِ لَمْ يَصِحَّ فِي أحَدِ وجْهَيْنِ، يَظْهَرُ تَرْجِيحُهُ تَغْلِيبًا لِلْحُرْمَةِ.
“Tanbih: Mushannif kitab menyatakan sifat kemutlakan dilarangnya wasiat untuk mendirikan sebuah gereja. Alasan dilarangnya ini adalah karena fungsi gereja sebagai tempat beribadah. Kemutlakan larangan ini berlaku dengan batasan sebagaimana yang telah diuraikan mushannif. Adapun gereja yang juga berfungsi sebagai tempat singgah orang-orang yang lewat, atau diwakafkan kepada pihak tertentu agar bisa juga ditinggali, atau sifat ongkos biayanya dibebankan kepada pihak Nasrani, maka hukumnya boleh berwasiat untuk gereja tersebut. Pendapat ini dinyatakan juga oleh mushannif dalam kitab jizyah. Imam al-Mardawy menambahkan: “jika pemanfaatan tinggal itu hanya dikhususkan untuk ahli dzimmah saja, maka hukumnya haram berwasiat untuknya. Dan bila wasiat pembangunan gereja itu adalah ditentukan untuk fungsi ganda yaitu sebagai tempat singgah orang yang lewat, dan sekaligus sebagai tempat ibadah, maka hukumnya adalah tidak sah menurut salah satu dari 2 pandangan yang ada, yaitu jelasnya aspek memenangkan unsur penghormatan terhadap fungsi ibadah tersebut.” (Mughny al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’any Alfadhy al-Minhaj li al-Syirbiny, juz 4, h. 68).
Pendapat yang senada dengan Syekh Khathib Al-Syirbiny, juga disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Kitab Raudlatu al-Thalibin juz 6, h. 99, mushannif Hasyiyah al-Jamal juz 4, h. 43, dan Syekh Zakaria al-Anshari dalam Asna al-Mathalib, juz 3, h. 30.
وقَيَّدَ الشّافِعِيَّةُ عَدَمَ جَوازِ الوَصِيَّةِ بِما إِذا كانَتِ الكَنِيسَةُ لِلتَّعَبُّدِ فِيها، بِخِلاَفِ الكَنِيسَةِ الَّتِي تَنْزِلُها المارَّةُ أوْ مَوْقُوفَةً عَلى قَوْمٍ يَسْكُنُونَها، أوْ جَعْل كِراءِها لِلنَّصارى أوْ لِلْمُسْلِمِينَ جازَتِ الوَصِيَّةُ، لأِنَّهُ لَيْسَ فِي بُنْيانِ الكَنِيسَةِ مَعْصِيَةٌ إِلاَّ أنْ تُتَّخَذَ لِمُصَلّى النَّصارى الَّذِينَ اجْتِماعُهُمْ فِيها عَلى الشِّرْكِ
“Ulama mazhab Syafii menyampaikan batasan bahwa ketidakbolehan berwasiat ke gereja adalah karena alasan fungsi ta’abbud (penyembahan) di dalamnya. Adapun bila gereja itu bisa dimanfaatkan untuk singgah bagi orang yang lewat, atau diwakafkan atas suatu kaum agar ditinggalinya, atau disewakan untuk Nasrani, atau disewakan untuk muslim, maka hukumnya adalah boleh berwasiat untuk gereja tersebut. Alasannya sebab illat larangan kemaksiatan membangun gereja sebagai tempat ibadahnya dan berkumpulnya kaum Nasrani dalam kesirikan menjadi hilang.” (Raudlatu al-Thalibin juz 6, h. 99, Hasyiyah al-Jamal juz 4, h. 43, Asna al-Mathalib, juz 3, h. 30)
Analisis Hukum
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita garis bawahi mengenai alasan kebolehan dari para fuqaha di atas dalam rangka melakukan syirkah ta’awuniyah bersama pemeluk agama lain dengan objek rumah ibadah, antara lain sebagai berikut:
Pertama, jika ada sebuah gereja yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat singgah bagi orang lewat, tanpa pandang bulu, tanpa melihat apakah pihak yang singgah itu adalah orang Muslim atau kafir, padahal jelas bahwa di tempat tersebut biasa juga biasa dijadikan tempat untuk ibadah agama Nasrani, maka hukumnya adalah boleh juga untuk melakukan syirkah ta’awuniyah dalam rangka memperbaiki dan membangun tempat tersebut.
Kedua, adapun kaitannya dengan seseorang yang bekerja memperbaiki rumah ibadah agama lain, maka hak dari seorang yang bekerja adalah menerima upah dari pekerjaannya. Bekerja merupakan perintah wajib. Oleh karenanya, dari sisi dhahir pekerjaan itu sendiri, pekerjaan mendirikan bangunan adalah bukan sebuah kemaksiatan. Oleh karenanya, dengan melihat dhahir pekerjaan ini, maka upah yang ia terima adalah halal. Hal ini sesuai dengan kaidah:
لا معصية في عين العمل
"Tidak ada kemaksiatan menurut dhahir pekerjaan itu sendiri.”
Kaidah yang hampir sama juga disampaikan, bahwa al-amal bi i’tibari al-ma’mur (suatu pekerjaan adalah bergantung pada dikaitkan pada sisi perintah yang mana yang diikuti).
Pendapat ini senada dengan pernyataan Syekh Yusuf Qaradhawi yang menyatakan bahwa:
أن الإجارة على الحمل ليس بمعصية ولا سبب لها، والشرب ليس من ضرورات الحمل؛ لأن حملها قد يكون للإراقة أو للتخليل.
"Sesungguhnya pekerjaan jasa kuli panggul itu sendiri bukan kemaksiatan dan tidak bisa dibilang sebagai sebab dari kemaksiatan. Adanya pihak yang meminum-minuman keras adalah bukan alasan bagi dlaruratnya kuli panggul, sebab khamr yang dipanggul itu kadang dimanfaatkan untuk maksud bermabuk-mabukan (haram), namun kadang bisa juga dimanfaatkan untuk keperluan membuat cuka.” (Al-Musahamah fi Binai al-Kanisah)
Ketiga, secara dhahir, melakukan syirkah ta’awun dengan objek rumah ibadah menurut pandangan para fuqaha yang membolehkan, adalah tidak apa-apa dari sisi dhahir kerja kemanusiaannya (nafs al-amal)/ ‘ain al-amal), sebab tolong-menolong atas dasar sisi kemanusiaan adalah bukan kemaksiatan. Yang tidak dibolehkan adalah jika niatan pendirian syirkah ta’awun tersebut dimaksudkan untuk ta’awun li al-ta’abbudy. Di sinilah letak dosa bagi pihak muslim yang tergabung dalam syirkah tersebut karena termasuk bagian dari i’anah ‘ala al-kufri.
Keempat, kiranya pendapat yang menjadi faktor pembolehan adalah bila wasiat tersebut dikaitkan dengan wasiat umum (al-washiyat al-’ammah), sebagaimana kasus wasiat membangun rumah tinggal yang bisa ditempati oleh orang beragama lain. Dalam konteks semacam ini, maka kebolehan syirkah ta’awuniyah tersebut adalah karena alasan kemaslahatan umum, sehingga ada hubungannya dengan faktor ri’ayah (hak penjagaan). Al-Mardawy (w. 885 H) dari kalangan Hanabilah menyatakan:
واقْتَصَرَ عَلَيْهِ فِي الرِّعايَةِ، وقالَ: فِيهِ نَظَرٌ
"Dalam konteks ini, ada catatan untuk maksud ri'ayah, sehingga perlu penelitian lebih lanjut." (Al-Inshaf fi Ma'rifat al-Rajih min al-Khilaf li al Mardawy, juz 2, H. 245)
Wallahu a’lam bi al-shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar