Siapa yang tidak kenal ulama ahli Falak asal Jakarta. Dia tidak lain Guru Muhammad Mansur Jembatan Lima, Jakarta Barat. Guru Mansur adalah salah satu paku Jakarta di awal abad 20. Ia dilahirkan di Kampung Sawah, Jembatan Lima pada 1878 M. Ia tidak lain adalah keturunan Tumenggung Mataram Pangeran Cakra Jaya.
Bapak Guru Mansur ialah Guru H Abdul Hamid bin Imam Damiri bin Imam Habib bin
Abdul Muhit bin Pangeran Cakra Jaya. Mansur kecil belajar agama di bawah
bimbingan bapaknya. Guru Mansur juga mengaji kepada kakaknya Guru H Mahbub bin
H Abdul Hamid dan sepupunya Guru H Thabrani bin Abdul Mughni. Di samping itu,
ia juga berguru kepada Guru H Mujtaba bin Ahmad, Jatinegara.
Setelah puas mengaji d Jakarta, Guru Mansur berangkat haji menuju Mekkah.
Sampai di sana, ia bermukim selama empat tahun. Di Mekkah ini, ia juga berjumpa
dengan santri dari pelbagai pelosok Nusantara seperti pendiri NU Hadhratus
Syekh KH M Hasyim Asy‘ari, KHR Asnawi Kudus, dan Syekh Mahfud Tremas, dan
santri lainnya.
Di tanah suci ini, ia mengaji kepada sejumlah ulama besar. Mereka antara lain
adalah Syekh Said Al-Yamani, Syekh Mukhtar Atharid Al-Bogori, Syekh Ali
Al-Maliki, Syekh Umar Sumbawa, dan Syekh Umar Bajunaid Al-Hadhrami.
Sepulang dari Mekkah, Guru Mansur ikut mengajar di kampung halamannya, Kampung
Sawah. Ia mendapat ijazah dari gurunya untuk mengajar Al-Quran dan ilmu
keislaman lainnya. Bahkan ia mengajar Al-Quran dengan qira’ah Hafash, Abu Amr,
dan Warasy.
Selain itu, Guru Mansur tersohor sebagai ahli Falak. Karyanya Sullamun Nayirain
yang berisi tentang ketentuan dan mekanisme dalam penetapan awal bulan
berdasarkan ru’yatul hilal, menjadi karya yang sangat fenomenal. Karyanya itu
hingga kini masih menjadi panduan para muridnya yang tersebar terutama di Jakarta
Timur dan juga Jakarta Barat dalam menetapkan awal Ramadhan dan awal Syawwal.
Karena kebutuhan masyarakat, Guru Mansur juga mengajar di sejumlah titik. Ia
mengajar di kawasan Cikini, Kenari, dan lainnya. Pada 1907 ia dipercaya untuk
mengajar di perguruan Jami’atul Khair Tanah Abang. Di perguruan ini, Guru
Mansur berjumpa dengan pengusung Islam modern seperti pendiri Muhammadiyah KH
Ahmad Dahlan, salah satu tokoh pembaharu dalam bidang pendidikan Syekh Ahmad
Syoorkati.
Guru Mansur istiqamah mengajar. Murid-muridnya datang dari pelbagai daerah di
Nusantara. Mereka datang dari Madura, Tasikmalaya, Lampung, dan juga
sudut-sudut Jakarta. Murid-muridnya di Jakarta yang tumbuh di bawah didikannya
antara lain Guru Muhammad yang kemudian diangkat sebagai menantu, Guru Muhammad
Amin (Kalibata), Muallim H Raji’un, dan ahli Falak terkemuka Guru H Muhajirin
Amsar (Bekasi).
Guru Mansur dikenal gigih melawan terhadap kebijakan pemerintah kolonial
Belanda. Ketika tata kota pemerintah kolonial Belanda yang didukung pengadilan
agama pada 1925 menghendaki penggusuran masjid Cikini di Raden Saleh, Guru
Mansur berdiri terdepan menolak rencana tersebut. Atas perlawanannya, rencana
penggusuran masjid diurungkan.
Pada 1948 ketika Jakarta berada di bawah pendudukan tentara Agresi Belanda
bersama pasukan NICA, Guru Mansur seringkali bermasalah dengan polsek Gambir
ketika itu. Pasalnya, Guru Mansur secara politis mendukung pemerintahan RI dan
aktivis pergerakan republiken yang ketika itu beribu kota di Yogyakarta. Ia
tidak segan-segan mengibarkan bendera merah putih di menara masjid Kampung
Sawah.
Antek Belanda pernah membujuk Guru Mansur dengan setumpuk uang agar mengubah
sikapnya yang konfrontatif terhadap Belanda dan sebaliknya agar menuruti
keinginan Belanda. Bujukan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Guru Mansur dan
berkata dengan lantang, “Islam tidak mau ditindas. Saya enggak mau ngelonin
kebatilan.” 9Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi seperti dikutip Fadhli HS).
Di era pergerakan, Guru Mansur bersinggungan dengan banyak aktivis Islam
seperti Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari, Syekh Ahmad Syoorkati, HOS
Cokroaminoto, H Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, dan KH Mas Mansur.
Untuk mempertahankan kebenaran dan kecintaan pada ilmu, Guru Mansur dikenal
orang yang teguh mempertahankan pendiriannya. “Pada pertemuan-pertemuan NU,
Guru Mansur sering berbicara. Suaranya keras. Sikapnya pun tegas dalam suatu
persoalan.” (Wawancara dengan KH Hasbullah [1928-2016] Pondok Pinang).
Di tengah aktivitasnya mengajar, Guru Mansur juga terlibat dalam gerakan NU. Ia
pernah diamanahkan sebagai Rais Syuriyah Konsul DKI Jakarta. Pada 1928 ia
pernah mengikuti Muktamar NU di Jawa Timur. ia kemudian mendirikan madrasah
bernama Nahdlatul Ulama pada 1930. Sekolah ini kemudian berganti nama pada 1951
menjadi Chairiyah Mansuriyah.
Guru Mansur meninggalkan banyak karya yang mencakup pelbagai disiplin ilmu
selain Sullamun Nayirain. Ia wafat pada Jumat, 19 Mei 1967. Ia dikebumikan di
kompleks masjid Al-Mansur jalan Sawah Lio Jembatan Lima, Tambora, Jakarta
Barat. Ilmu Falak Guru Mansur hingga kini dimanfaatkan oleh muridnya di Jakarta
Timur, Jakarta Utara. []
(Alhafiz Kurniawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar