Jumat, 27 Mei 2022

(Ngaji of the Day) Hukum Investasi Koin Kripto melalui 'Staking' dan 'Farming' di Dompet Digital

Pertanyaan:

 

Assalamualaikum Wr. Wb.

Selamat malam tim website NU, Saya mau menanyakan tentang hukum dari crypto staking. Crypto staking sendiri adalah sebagai berikut:

 

“Crypto staking adalah sebuah aktivitas di mana seorang pengguna aset kripto dapat mendulang cuan hanya dengan memvalidasi transaksi atau segala aktivitas yang terjadi di atas sistem blockchain. Hanya saja, pengguna harus menyimpan atau mengunci dulu aset kriptonya di dalam dompet digital agar dianggap “layak” dan “sah” mendapatkan cuan yang dimaksud.

 

Kegiatan ini hanya bisa dijalankan di atas sistem blockchain yang memanfaatkan algoritma konsensus Proof-of-Stake. Apa pengertian dari algoritma tersebut?

 

Di dalam algoritma Proof-of-Stake, seseorang dapat menambang atau memvalidasi transaksi aset kripto di blockchain sesuai dengan jumlah koin yang ia “kunci”. Artinya, semakin banyak koin yang dimiliki, maka mereka punya daya tawar (stake) yang tinggi dalam melakukan hal tersebut. Salah satu penggunaan umum algoritma ini adalah aktivitas yang berjalan di atas sistem blockchain Ethereum.

 

Dengan kata lain, semakin banyak koin yang “dikunci” di dalam dompet tersebut, maka pengaruhnya di dalam sistem blockchain akan semakin signifikan. Kemudian, ia berkesempatan tinggi untuk mendulang cuan hanya dengan memanfaatkan posisinya tersebut.” (Sumber: blog.pluang.com, diakses pada 4 Juni 2021, pukul 18:44).

 

Apakah bisa dibilang "menanam uang digital", karena mengunci uang digital untuk waktu tertentu dan dari mengunci itu kita mendapat persenan uang digital yang sama seperti yang dikunci? Misalnya menanam mata uang x, maka kita nantinya mendapat 3% mata uang x dari yang kita tanam. Terima kasih. Wassalamualaikum Wr.Wb.

 

Ahmad Fitra D. Hamdani

 

Jawaban:

 

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

 

Penanya yang budiman, mata uang kripto merupakan mata uang yang diperselisihkan statusnya oleh para fuqaha kontemporer dewasa ini.

 

Pertama, karena faktor ketiadaan underlying asset yang mendasarinya sehingga keberadaannya diperinci menjadi 2, yaitu:

 

1.     Sebagai harta fiktif sehingga haram mentransaksikannya, dan

2.     Sebagai native coin, yang berarti merupakan koin murni dan baru serta sah untuk alat transaksi digital dengan derajat harta sebagai maal ma’nawi (harta ma’nawi).

 

Pertanyaan saudara bisa ditempatkan pada konteks kedua, yaitu sebagai koin murni dan berlaku sebagai maal ma’nawi. Contoh dari kripto jenis ini adalah BTC dengan platform Bitcoinnya.

 

Kedua, aset kripto juga ada yang berperan selaku token digital, dengan menempati derajat harta mal duyun (harta berjjamin utang). Jenis aset kripto ini kedudukannya adalah sama dengan mata uang fiat yang berlaku ketika masih berjamin emas. Contohnya misalnya adalah USDT, yaitu Tether berjamin mata uang dolar. Tether merupakan platform dengan rantai blockchain tersendiri.

 

Baik aset kripto yang memiliki peran sebagai native coin maupun sebagai token (mal duyun), karena dalam realitas keduanya diterima sebagai instrumen transaksi keuangan, maka bagi keduanya secara tidak langsung juga berlaku segala ketentuan berkaitan dengan fungsi alat tukar/mata uang yang yaruju rawwaja al-dzahab (menempati derajatnya emas), antara lain ketika bersangkutan dengan hal-hal sebagai berikut:

 

1.     Pertukaran aset kripto dalam satu blockchain yang sama, maka wajib memenuhi kaidah saling menyerahkan, sama besarannya dan tunai.

2.     Pertukaran antar aset kripto beda blockchain, maka wajib memenuhi ketentuan saling serah terima dan tunai saja.

3.     Apabila diinvestasikan, maka perkembangan aset kripto hanya bisa diterima apabila dalam investasi itu ada kerja atau unit tamwil (pengembangan harta).

4.     Penyerahan aset kripto kepada pihak lain tanpa adanya ruang kerja dan usaha pengembangan harta, maka wajib kembali sebagaimana besaran aset kripto tersebut diserahkan. Menyerahkan 1 BTC, maka wajib kembali 1 BTC.

5.     Penyerahan aset kripto kepada pihak lain dengan harapan kembali, yang disertai dengan adanya janji pendapatan (baik dengan persentase tetap atau tidak tetap), tanpa adanya ruang kerja dan usaha, maka termasuk transaksi riba qardly yang haram.

6.     Blockchain bagi aset kripto adalah menempati kedudukan sebagai bank digital

 

Kedudukan Proof of Stake terhadap Aset Kripto secara Fiqih

 

Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya bahwa ketika aset kripto sudah masuk ke dalam rantai Blockchain, maka secara tidak langsung sudah terjadi penyerahan aset kepada pihak platform untuk divalidasi melalui langkah proof of stake. Selanjutnya, aset kripto sudah berstatus sah sebagai alat tukar karena langkah validasi tersebut.

 

Mencermati akan hal ini, maka kedudukan proof of stake (PoS) dalam bingkai fiqih transaksi masuk kategori hukm al-salathin (pengesahan aset kriptografi kepada pihak yang berwenang untuk disahkan sebagai koin kripto sebagai mata uang dalam blockchain itu sendiri). Yang menempati kedudukan sebagai salathin adalah platform (blockchain yang menerbitkan).

 

Selanjutnya, akad penyerahan aset kripto ke blockchain ini juga disebut akad investasi (intaj) dengan instrumen investasinya berupa koin kripto yang sudah divalidasi oleh platform yang menerbitkan (rantai block/blockchain).

 

Staking dan Farming Aset Kripto

 

Berbekal penjelasan di atas, koin kripto diciptakan secara tidak langsung menempati dua peran, yaitu pertama, sebagai alat tukar, dan kedua, sebagai instrumen investasi.

 

Sebagai alat tukar, maka koin kripto boleh untuk dipergunakan sebagai transaksi melakukan jual beli. Namun, yang jadi masalah adalah ketika koin kripto berfaedah sebagai instrumen investasi.

 

Sebagai instrumen investasi, koin kripto yang sudah validatif memiliki daya tawar sehingga bisa meroket harganya melalui langkah memanipulasi peredarannya.

 

Dengan upaya mengurangi jumlah peredaran di pasar, maka koin kripto dapat berharga mahal sebab stoknya menjadi terbatas dan langka. Di sisi lain, koin itu sedang dicari oleh para penggunanya sebab keterikatan dengan platform di dalam rantai block yang sudah terbentuk. Itu sebabnya, untuk memanipulasai kondisi tersebut, pihak platform berani memberikan tawaran penguncian koin kripto di e-wallet (dompet digital).

 

Penguncian ini kemudian diistilahkan sebagai staking (mendongkrak daya tawar) atau farming (menanam). Sebagai kompensasinya, pihak platform memberi imbalan berupa penghasilan tetap (fixed return).

 

Dalam fiqih, tentu return seperti ini dipertanyakan statusnya. Dalam rangka apa pihak platform memberikan return? Jika ditelaah lebih lanjut, sebenarnya tujuan utama dari langkah penguncian koin kripto itu pada dasarnya adalah sama dengan menahan peredaran (distribusi) mata uang.

 

Oleh karena itu, dengan meminjam pandangan Imam Al-Ghazali dalam masterpiece-nya Ihya’ Ulumiddin, penahanan semacam ini adalah sama dengan perbuatan menghambat fungsi diciptakannya mata uang.

 

Langkah ini yang menjadikan harga-harga menjadi mengalami inflasi. Oleh karenanya, beliau melabeli langkah seperti ini sebagai perbuatan zalim.

 

Status Hukum Staking dan Farming Aset Kripto

 

Dengan mencermati alur dan tujuan utama dari diadakannya staking dan farming di atas, yang mana keduanya memiliki maksud utama adalah terciptanya inflasi harga, serta status fixed return yang diberikan oleh platform sebagai kompensasi penguncian, maka hukum melakukan masing-masing hal di atas serta return yang didapat, dapat diperinci sebagai berikut:

 

1.     Mengunci koin kripto melalui langkah staking dan farming merupakan perilaku zalim karena tujuan utamanya adalah terciptanya inflasi harga sehingga berakibat idlrar (merugikan) pihak lain, yaitu masyarakat.

2.     Kompensasi pendapatan yang diperoleh dari platform karena langkah penguncian tersebut adalah bagian dari tindakan suap (risywah), karena alasan tidak ada kinerja produktif menggunakan koin tersebut, serta alasan tempat penahanannya adalah di dompet digital sendiri. Tujuan utama dari penyuapan adalah menahan peredaran/distribusi koin itu di pasaran, sehingga produk platform tersebut menjadi memiliki daya tawar yang tinggi di pasaran.

3.     Investasi melalui langkah staking dan farming semacam di atas, hukumnya adalah haram karena illat sengaja berlaku idlrar tersebut.

 

Wallahu a’lam bish-shawab. []

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar