Sebelum mendalami agama secara fokus, hanya dari para ustadz di kelas diniyah atau dari guru-guru agama di SMP atau SMA, saya mendapat keterangan bahwa solusi menikah yang ditawarkan agama bertujuan untuk sebagai tempat atau wadah penyaluran hasrat seksual. Tidak jauh dari itu. Bagi saya, keterangan yang disampaikan waktu itu memang benar-benar terpotong. Padahal, bila dilanjutkan lebih dalam, bukan demikian. Kita akan menemukan apa maksud teks-teks syariat sebenarnya, dan tafsir-tafsir para ulama terkait solusi yang diberikan agama.
Pasalnya, semua itu mungkin berawal dari pemahaman kita yang tidak selesai atas teks-teks hadits tentang ini. Misalnya, hadits riwayat sahabat ‘Alqamah dalam Shahih al-Bukhari (pada Kitabu an-Nikah dalam pembahasan Man lam yastathi’ al-ba‘ah falyashum, hadits ke 5066 (hal. 955)). Rasulullah ﷺ bersabda:
يا معشر الشباب، من إستطاع الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
Artinya, “Barang siapa yang sudah mampu menikah, maka menikahlah, karena lebih menjaga pandangan dan lebih mampu menjaga kelamin. Dan, jika tidak mampu, maka ia harus berpuasa, sebab itu bisa menjadi tali kekang baginya.”
Melalui hadits ini, kita memang akan sampai pada kesimpulan bahwa menikah merupakan media terbaik untuk menyaluran hasrat seksual, dan itu benar. Sedikit pun tidak ada yang salah dengan kesimpulan ini. Namun, seiring tersibaknya masa, pemahaman masyarakat awam prihal ini—termasuk saya sendiri—akan terkontaminasi dengan budaya yang semakin keruh, prinsip hidup yang terus melemah, ilmu yang dangkal dan daya nalar yang tak tajam lagi.
Akhirnya, kita sampai pada pemahaman yang mengkristal menjadi prinsip bahwa siapa pun yang memendam gejolak hasrat seksual, maka harus menikah. Kapan pun dan dengan kondisi apa pun. Perbandingannya, daripada ia akan terjerumus dalam liang perzinaan. Secara logika, ini juga tidak salah, namun dimuntahkan oleh etika. Di dunia pesantren kita mengenalnya dengan istilah kalimatu haqq(in) urida bihal bathil, “Statemen benar yang disalahgunakan”. Dampaknya, tak sedikit dari masyarakat kita yang menikah berkali-kali dan di mana-mana. Mereka hanya mampu menikahi perempuannya namun tak mampu menanggungjawabinya.
Parahnya, mereka menggunakan teks-teks agama untuk membujuk rayu dan berdalih demi membenarkan hasrat-hasrat rendah dan laku tak terpuji itu. Artinya, solusi menikah yang disuguhkan agama bagi yang hasrat seksualnya bergejolak tinggi adalah benar, bahkan sangat baik. Tetapi, bahwa tanggung jawab setelah menikah adalah hal yang wajib ditunaikan secara serius, juga tak boleh diabaikan. Bahkan, berani kita katakan, agama jauh lebih serius mengurusi ihwal tanggung jawab daripada sekadar solusi penyaluran hasrat seksual.
Karena itu, penting rasanya kita memahami lebih dalam apa tujuan agama memberi solusi menikah bagi yang bergejolak hasrat seksualnya. Apakah hanya sebagai wadah penyaluran hasrat seksual semata? Atau untuk hal-hal lain yang jauh lebih luhur dari itu? Saya rasa, kita sudah dapat menangkap apa jawabannya. Mari kita bahas pelan-pelan.
Kiai Faqih Abdul Qadir dalam Manba’ussa’âdah (hal. 16) mengutip Imam al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Atsqallani (773-852 H) dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari (juz 9, hal. 125). Di sana, dipaparkan pendapat Imam Nawawi yang mengurai tentang dua kaul yang berbeda dalam menafsirkan term al-ba‘ah pada hadits di atas. Kendati berselisih tafsir, kedua kaul ini berada pada kesimpulan yang sama. Pendapat pertama mengatakan, kata al-ba‘ah secara etimologi bermakna jimak, tetapi tak sekonyong-konyong demikian dalam memaknai hadits di atas. Melainkan, harus dimaknai jimak dengan segenap biaya-biayanya.
Berikut redaksi lengkapnya:
أن المراد معناها اللغوي وهو الجماع فتقديره من استطاع منكم الجماع لقدرته على مؤنه وهي مؤن النكاح فليتزوج ومن لم يستطع الجماع لعجزه عن مؤنه فعليه بالصوم ليدفع شهوته ويقطع شر منيه كما يقطعه الوجاء
Artinya, “Kata al-ba‘ah secara etimologi bermakna jimak, sehingga hadits di atas secara lengkap mengandung makna, ‘Barang siapa yang sudah mampu ‘menikah’ (jimak) dilihat dari kemampuannya menunaikan biaya-biaya nikah, maka menikahlah. Dan, bagi yang belum mampu karena ketidakmampuannya atas biaya-biaya nikah, maka sebaiknya berpuasa, agar dapat mengekang hasrat-hasrat rendahnya dan meretas laku ejakulasi dan orgasme dengan cara yang tak baik, sebagaimana tali kekang mengendalikan keliaran’.”
Adapun kaul kedua, langsung memaknai al-ba‘ah dengan biaya-biaya nikah (mu’an an-nikah). Sehingga, hanya bagi mereka yang mampu memenuhi biaya-biaya nikahlah yang berhak mengambil solusi yang ditawarkan hadits tersebut.
Berikut redaksinya:
أن المراد هنا بالباءة مؤن النكاح سميت باسم ما يلازمها وتقديره من استطاع منكم مؤن النكاح فليتزوج ومن لم يستطع فليصم لدفع شهوته
Artinya, “Makna kata al-ba‘ah di sini adalah biaya-biaya nikah. Ia dinamai dengan konsekuensi logis dari nikah itu sendiri (artinya, bila siap menikah, berarti siap dengan biaya-biayanya), sehingga, makna tersirat hadits tersebut adalah ‘Barang siapa yang mampu memenuhi biaya-biaya nikah, maka menikahlah. Dan, bagi yang tak mampu, maka berpuasalah untuk mengekang hasrat-hasrat rendahnya’.”
Singkatnya, dua kaul di atas, walaupun dengan pendekatan yang berbeda, keduanya menghasilkan kesimpulan yang sama. Yaitu, bahwa mereka yang boleh mengambil solusi untuk menikah ini adalah mereka yang siap dan sanggup dengan biaya-biayanya. Perlu ditegaskan, biaya nikah (mu’natun nikah) yang dimaksud bukan semata biaya saat prosesi akad nikah ataupun resepsinya saja. Tetapi biaya untuk menghidupi keluarga (istri dan anak-anaknya) sepanjang ia masih disebut suami secara agama. Seperti memenuhi makanan pokok, lauk pauk, pakaian, serta tempat tinggal yang layak dan sesuai dengan kondisi ekonomi sang suami.
Untuk menjawab apa sebenarnya tujuan syariat memberi solusi menikah bagi yang sudah dipenuhi gejolak seksual dan mampu secara finansial, mari kita menyimak hemat Kiai Faqih dalam kitab Manba’ussa’âdah (hal. 17) berikut:
وعلى ذلك فالسنية في أمر النكاح لا ترجع إلى ذات النكاح ولكن إلى سلوك المرء تجاه النكاح والنكاح في حد ذاته ليس إلا لقاء الرجل والمرأة في إشباع حاجتهما وهو مثل تلبية بقية الحاجات والشهوات الإنسانية كالأكل والشراب وأم سلوك الإنسان تجاه النكاح فهو موضع الحكم يكون مندوبا أو واجبا إذا كان على أساس الصلاح والخير وغير ذلك إذا كان على أساس الفساد والظلم
Artinya, “Karena itu, meneladani Rasulullah dalam mengimplementasikan perintah menikah, tidak bermuara pada makna nikah secara khusus, tetapi bermakna sebuah proses perjalanan spiritual seseorang yang terukir dalam bingkai pernikahan. Nikah dalam maknanya yang khusus, tiada lain kecuali ihwal pertemuan sepasang kekasih dalam menyalurkan kebutuhan seksualnya, dan itu laiknya makan dan minum. Adapun nikah dengan makna yang kedua (proses perjalanan spiritual dalam bingkai pernikahan) adalah objek kajian hukum, entah sunnah atau wajib bila dalam asas kemaslahatan, atau makruh, khilaf al-aula, bahkan haram bila akan berpotensi pada kerusakan dan kezaliman.”
Dari paparan Kiai Faqih ini, kita memperoleh jawaban dari rumusan di atas bahwa tujuan syariat dengan solusi pernikahan yang diberikan adalah menyediakan fasilitas untuk meningkatkan kualitas spiritual melalui penyaluran hasrat seksual secara halal dan layak. Bukan semata mengenyangkan syahwat seperti yang dipahami orang kebanyakan.
Hal ini sebagaimana dalam sebuah riwayat disebutkan, Idza tazawwaja al-‘abdu faqad istakmala nishfu dinihi falyattaqillaha fima baqiya, “Apabila seseorang telah menikah, maka sungguh telah sempurna separuh agamanya, maka bertakwalah kepada Allah pada separuhnya.”
Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawâb. []
Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar