Pinjaman (mudâyanah) merupakan akad yang umum diterapkan dalam perbankan konvensional. Adapun pembiayaan (qardh) merupakan akad yang umum diterapkan dalam perbankan syariah. Sesuai dengan dasar akadnya, maka kedua praktik pinjaman dan pembiayaan ini memiliki model praktik yang berbeda. Namun, kali ini kita tidak sedang membahas keduanya.
Dalam tulisan ini, kita fokus pada kajian seputar problem biaya administrasi dalam fiqih di lembaga pegadaian. Sebagai instrumen kajian, kita ambil fokus kajian pada salah satu produk pegadaian yaitu produk KCA (Kredit Cepat dan Aman). Mengapa produk ini yang kita ambil? Karena banyak dari kalangan kita yang ketika ragu mengajukan kredit ke perbankan, mereka kemudian lari ke pegadaian. Nah, inilah pentingnya hal ini dibahas mengingat tidak sedikit masyarakat kita memanfaatkan produk tersebut.
Sebelum masuk pada kajian, perlu diketahui terlebih dahulu makna dari biaya administrasi. Biaya administrasi merupakan biaya yang dipungut sebagai risiko pembiayaan atau pinjaman. Ada dua mekanisme penarikan biaya administrasi ini, yaitu:
1. Biaya administrasi yang dibayarkan saat pencairan
2. Biaya administrasi saat terjadi risiko penundaan pembayaran kewajiban nasabah terhadap lembaga keuangan. Untuk yang kedua ini biasa dikenal dengan istilah kompensasi sewa modal.
Mengenal Produk KCA (Kredit Cepat dan Aman)
KCA (Kredit Cepat dan Aman) adalah sebuah produk resmi yang dirilis pegadaian. Produk KCA ini menawarkan skim pergadaian (rahn) ke semua nasabahnya. Skim gadai dirilis untuk menjembatani pemenuhan kebutuhan konsumtif dan produktif nasabah.
Untuk mengajukan pembiayaan dengan skim KCA ini, oleh pegadaian, nasabah disarankan membawa agunan berupa barang-barang berharga atau surat penting kendaraan ke outlet pegadaian terdekat, misalnya emas batangan, perhiasan emas, mobil, motor, laptop dan sejenisnya. Agunan pada lembaga ini berperan sebagai barang yang digadaikan. Terkait dengan saat pencairan, KCA mematok bea administrasi dalam rentang 2.000 rupiah sampai dengan 125.000 rupiah.
Uniknya dari KCA ini adalah jangka waktu pembiayaan yang ditawarkan paling lama adalah 4 bulan (120 hari) dan bisa diperpanjang dengan cukup membayar sewa modal (ijarah/bunga pinjaman). Sewa modal ditetapkan sebesar 0.75% per 15 hari.
Kita fokus pada konsep 'sewa modal' (ijarah) dan biaya administrasi. Kita balik terlebih dahulu pembahasannya sebab ada keterkaitan pemaknaan dari kedua istilah tersebut.
Biaya Sewa Modal
Sewa modal adalah sebuah konsep bea yang ditetapkan sebagai kompensasi peminjaman suatu modal ke nasabah. Biasanya besarannya bersifat tetap sesuai dengan lama pinjaman yang dimaksud. Sewa modal pada produk KCA dipatok sebesar 0.75% per 15 hari. Nah di sinilah letak problem fiqihnya itu.
Ingat bahwa KCA adalah merupakan salah satu skim produk pegadaian. Jika benar bahwa KCA menerapkan sistem gadai, maka seharusnya berlaku hal hal sebagai berikut:
1. Seharusnya biaya sewa modal ini tidak ada. Mengapa? Karena sewa modal ini sama dengan telah menempatkan nasabah selaku pihak yang membeli agunan secara patungan dengan pegadaian. Dengan demikian status kepemilikan barang adalah milik dua pihak nasabah dan pegadaian. Pegadaian berperan selaku pembeli dan menjual barang tersebut ke nasabah secara kredit. Dan karena barang masih dibawa oleh nasabah dan dimanfaatkannya, maka nasabah bisa dipungut ijarah (sewa). Objek yang disewa pihak nasabah adalah porsi bagian yang dimiliki oleh pegadaian. Akad menyewa porsi pegadaian oleh nasabah ini selanjutnya disebut ijarah muntahiyah bi al-tamlik (sewa dengan akhir kepemilikan barang sepenuhnya oleh nasabah).
2. Jika skim pembiayaan itu berupa gadai, maka pihak pegadaian tidak memungut ongkos ijarah (sewa), karena status barang yang digadaikan (marhûn) adalah masih milik nasabah sendiri. Bagaimana mungkin nasabah menyewa barang milik sendiri? Susah diterima dengan akal bukan? Ibarat anda punya mobil, lantas anda menyewa mobil anda sendiri dengan ongkos sewa diberikan ke orang lain.
Jadi, kedudukan agunan itu sebenarnya hendak dijadikan barang gadai (jaminan) atau dibeli oleh pihak pegadaian lalu dijual lagi ke nasabah? Jika dibeli oleh pegadaian, maka konsep sewa modal ini benar secara syariat. Mahu dipungut berapa persen ongkos sewanya dari modal yang dicairkan, hukumnya sah secara fiqih. Lain halnya bila barang tersebut dijadikan barang gadai, mengingat dalam gadai tidak ada perpindahan status kepemilikan barang. Jadi barang sepenuhnya masih milik penggadai.
Dengan memperhatikan status dan kedudukan masing-masing pihak yang bertransaksi di atas pada produk KCA, maka tidak bisa dipungkiri bahwa:
1. Konsepsi sewa modal yang merupakan biaya administrasi sewa modal di lembaga ini tidak lain hanyalah merupakan biaya jasa pinjaman modal saja, yang identik dengan konsep bunga pinjaman.
2. Untuk itu status hukum sewa modal ini adalah sama dengan riba qardli. Rincian pembahasan menukiknya berikut perdebatan fiqih yang terjadi di dalam sewa modal ini bisa merujuk kembali ke pembahasan mengenai bunga perbankan.
Biaya Administrasi saat Pencairan
Konsep asal biaya administrasi dalam syariat sebenarnya adalah boleh. Apalagi dalam situasi modern ini barang yang digadaikan umumnya berupa barang-barang yang mahal. Untuk itu dibenarkan bila dilakukan pemungutan biaya administrasi sebagai wujud pelaksanaan perintah nash agar mencatat setiap transaksi utang-piutang.
Manfaat dari biaya administrasi biasanya berkisar peruntukannya sebagai:
1. Penyediaan buku administrasi pelunasan. Jika dalam perbankan biasanya diwujudkan dalam rupa buku tabungan.
2. Sebagian koperasi ada yang menggunakan biaya administrasi ini untuk menggaji karyawan dan sebagian di antaranya dikumpulkan dalam pembagian deviden (Sisa Hasil Usaha/SHU).
Baik diperuntukkan untuk penyediaan administrasi pencatatan atau dikumpulkan kelak sebagai rupa Sisa Hasil Usaha (SHU), hal itu tidak mempengaruhi hukum keabsahan biaya administrasi.
Yang sering dipermasalahkan biasanya adalah rentang yang disediakan dalam biaya administrasi, sebagaimana dalam Produk KCA ini, pihak pegadaian mematok tarif 2 ribu sampai dengan 125 ribu rupiah. Sahkah rentang seperti ini? Apakah tidak semestinya biaya tersebut dipungut secara tetap saja dan disamakan untuk semua besaran dana yang dicairkan? Katakanlah misalnya 50 ribu untuk semua total dana pembiayaan. Mau pinjam 10 juta atau 100 juta, atau bahkan 1 milyar, tetap 50 ribu.
Untuk menjawab pertanyaan 'apakah tidak semestinya' seperti ini, membutuhkan banyak penalaran dan pertimbangan. Biasanya pertimbangan itu disesuaikan dengan risiko.
Sebagai contoh misalnya untuk pinjaman senilai 100 juta sampai dengan 1 milyar, biasanya pihak perbankan turut menyertakan jasa pengawalan keamanan ke nasabah. Hal itu dirasa penting karena berkaitan langsung dengan jaminan keselamatan nasabah dan sampainya dana pada tempat yang dituju. Jasa pengawalan seperti ini umumnya ditanggung biayanya oleh perbankan. Apakah mungkin pihak perbankan mengongkosi jasa keamanan tersebut dari kas yang berasal dari dirinya sementara ia berjasa dalam memberikan dana ke nasabah? Sudah barang tentu hal ini tidak masuk akal. Sebagai satu-satunya jalan adalah biaya tersebut ditanggungkan ke nasabah. Namun, karena setia nasabah memiliki tipikal yang berbeda dalam menghadapi risiko keamanan maka pihak perbankan bisa mengacu kepada aturan undang-undang yang mewajibkan menyediakan jasa pengawalan kepada nasabah bila membawa uang di atas nilai besaran tertentu dengan biaya ditanggungkan ke nasabah.
Nah, karena uang 100 juta sudah pasti memiliki dasar riil pencairan yang berbeda dengan uang 1 milyar, maka agar tercapai mekanisme keadilan dan maslahat bagi nasabah, maka ditetapkanlah persentase bea, yang dikumpulkan dalam satu istilah biaya administrasi. Inilah wujud pemakaian biaya administrasi itu.
Apakah konsep ini termasuk riba? Mengingat kewajiban memenuhi administrasi itu adalah merupakan kewajiban dari nasabah, sudah barang tentu hal ini menyerupai riba. Apalagi bila biaya tersebut diambil dari riel pinjaman yang hendak dicairkan. Sama dengan ketika anda hendak meminjam barang, lalu disyaratkan bahwa pinjaman itu bisa cair manakala anda harus memberikan jasa tertentu kepada pemberi pinjaman. Jelas sekali bahwa hal ini adalah bagian dari riba.
Namun, jika menilik asal muasal presentase biaya administrasi ini ditetapkan sebagai bea beli buku tabungan dan pengurusan hal yang berkaitan dengan pencatatan nota pinjaman yang hal itu "harus" dimiliki oleh nasabah sebagai bukti pelunasan kelak, maka pada dasarnya bea tersebut adalah kewajiban dasar nasabah dalam memenuhi perintah mencatat transaksi. Karena perintah mencatat transaksi adalah bukan hanya semata kewajiban lembaga keuangan, melainkan juga kewajiban nasabah. Demikian halnya dengan penyediaan jasa pengamanan / pengawalan yang merupakan tanggung jawab kedua pihak. Jadi, dalam hal ini, kewajiban akan biaya administrasi adalah semata tanggungan kedua pihak yang bertransaksi. Untuk itu status fiqih biaya administrasi adalah diperbolehkan dengan jalan istihsan. Wallahu a'lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar