ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Dzālikal kitābu lā rayba fīhi hudal lil muttaqīna.
Artinya, “Itu kitab tiada terdapat keraguan di dalamnya sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa.”
Kandungan Surat Al-Baqarah Ayat 2
Imam Al-Baidhawi dalam Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil mengatakan, “Dzālikal kitāb” atau “itu kitab” merupakan kata untuk menunjuk sesuatu yang jauh. Ia dapat ditafsirkan sebagai Surat Al-Baqarah, Al-Qur’an itu sendiri, kitab, atau kitab suci terdahulu. Sedangkan makna asal “kitāb” adalah “kumpulan, himpunan, gabungan.” Sementara Al-Qurthubi mengutip Al-Jundi, kitab itu gabungan dari huruf-huruf.
Adapun pengertian “tiada terdapat keraguan” adalah bahwa kitab itu demikian jelas dan gamblangnya di mana orang yang memiliki akal sehat tidak meragukannya sebagai wahyu yang mengandung mukjizat setelah menganalisanya. Tiada seorang pun meragukan kemukjizatan Al-Qur’an. (Al-Baidhawi).
Bahkan jika diperhatikan ayat “Jika kalian meragukan sebagian dari wahyu yang kami turunkan kepada hamba Kami…(dan seterusnya),” Al-Qur’an tidak menjauhkan mereka dari keraguan itu, tetapi memberikan jalan alternatif yang menyenangkan mereka, yaitu mempersilakan mereka untuk berupaya sungguhan untuk menentang kejelasan Al-Qur’an. Ketika mereka tidak berdaya, maka jelas bagi mereka bahwa di dalam Al-Qur’an tiada ruang kesamaran dan pintu masuk keraguan.
Ada juga ulama menafsirkan, tiada keraguan di dalamnya bagi orang yang bertakwa. “Raybu” atau keraguan adalah bentuk mashdar dari “sesuatu membuatku ragu” kemudian timbul keraguan dalam dirimu. Keraguan merupakan kegelisahan jiwa dan keguncangan batin. Ia disebut juga syak karena membuat jiwa resah dan menghilangkan ketenangan batin.
“Sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa” bermakna sebagai petunjuk yang mengarahkan mereka pada kebenaran. Kata “hudan” berarti petunjuk. Ada ulama yang memahaminya sebagai petunjuk yang mengantarkan pada tujuan karena itu ia diperhadapkan dengan dhalālah sebagaimana firman “la‘alā hudan aw fī dhalālim mubīn.” Oleh karena itu, kata “mahdi” berlaku hanya untuk orang yang menerima petunjuk sampai tujuan.
Kata “petunjuk” secara khusus dilekatkan pada orang yang bertakwa karena mereka menerima petunjuk dan mengambil manfaat pada nash. Meskipun “petunjuk atau hidayah” itu bersifat umum untuk orang muslim dan nonmuslim dengan pertimbangan “hudan lin nās” atau sebagai petunjuk bagi manusia, tidak ada yang mengambil manfaat melalui perenungan kecuali orang membersihkan akalnya dari karat, menggunakannya untuk merenungkan ayat, mencermati mukjizat, dan mengerti kenabian. Pasalnya, ia seperti asupan gizi yang layak untuk menjaga kesehatan. Selagi tidak sehat, maka ia takkan dapat mendatangkan manfaat.
Kata “al-muttaqi” sebagai bentuk tunggal dari al-muttaqīn berasal dari kata al-wiqāyah atau sangat menjaga. Dalam definisi syariat, al-muttaqī sebutan bagi orang yang menjaga dirinya dari hal yang kelak membahayakannya di akhirat. Takwa memiliki tiga tingkatan. Pertama, orang yang menjaga diri dari azab yang kekal dengan berlepas diri dari kemusyrikan seperti firman Allah, “wa alzamahum kalimatat takwa.”
Kedua, orang yang menjauhi diri dari tindakan atau pengabaian yang dianggap sebagai dosa menurut syariat, termasuk dari dosa kecil menurut kaum tertentu. Al-muttaqi seperti ini disebut al-muta’arif. Jenis ini sesuai dengan firman Allah, “wa law anna ahlal qurā āmanū wat taqaw…”
Ketiga, orang yang menjauhkan diri dari segala hal yang memalingkan hatinya dari Allah serta menekan hasrat dan nafsunya demi ibadah kepada Allah. Ini jenis takwa hakiki seperti firman allah, “yā ayyuhalladzīna āmanūt taqullāha haqqa tuqātih.” Jadi, kata “hudan lil muttaqīn” pada Al-Baqarah ayat 2 dapat ditafsirkan dengan tiga jenis takwa tersebut. (Al-Baidhawi).
Imam Al-Baghowi menjelaskan penggunaan isyarat jauh “dzālika” pada ayat ini. ia mengutip pendapat Ibnu Kaisan, sebelum Surat Al-Baqarah Allah menurunkan sejumlah surat yang didustakan kaum musyrik Makkah. Lalu Allah berfirman pada ayat ini, “Itu kitab,” maksudnya surat-surat sebelum Al-Baqarah diturunkan.
Al-Baghowi dalam Tafsir Ma’alimu Tanzil mengutip sebagian ulama tafsir yang mengatakan, meski bersifat informatif (khabariyah) Surat Al-Baqarah ayat 2 ini bermakna imperatif (amar atau perintah), “Jangan kalian ragu,” seperti makna Surat Al-Baqarah ayat 197, “lā rafatsa wa lā fusūqa…” sedangkan al-muttaqīn, mengutip Ibnu Abbas, adalah orang yang menjaga diri dari kemusyrikan, dosa besar, dan dosa keji. Secara bahasa, takwa atau ittiqa bermakna pemisah antara dua benda.
Sayidina Umar, dalam Tafsir Ma’alimut Tanzil karya Imam Al-Baghowi, pernah bertanya kepada Ka’ab bin Ahbar tentang takwa. Ia mengatakan, “Pernahkah kau melewati jalan berduri?” “Pernah.” “Apa yang kaulakukan?” “Aku berhati-hati dan waspada.” “Itulah takwa,” jawab Ka’ab.
Abdullah bin Umar mengatakan, “Takwa itu kau tidak melihat dirimu lebih baik dari orang lain.” Umar bin Abdul Aziz mengatakan, “Takwa itu pengabaian atas larangan Allah dan pelaksanaan atas perintah-Nya. Sedangkan anugerah-Nya setelah takwa itu merupakan sebuah kebaikan yang belipat ganda.
Ada ulama yang memaknai takwa sebagai peniruan atas perilaku Nabi Muhammad SAW. Menurut Syahr bin Hausyab, orang yang bertakwa itu meninggalkan apa yang sebenarnya boleh karena khawatir terjatuh pada larangan Allah. Al-muttaqīn secara khusus disebut pada ayat ini sebagai bentuk penghormatan bagi mereka karena mereka yang jelas mengambil manfaat atas petunjuk atau hidayah Allah. (Al-Baghowi).
Imam At-Thabari mengutip As-Sya’bi, “hudan” adalah petunjuk dari kesesatan. Sementara sebagian para sahabat nabi mengartikan hudan lil muttaqīn sebagai cahaya bagi orang yang bertakwa. Al-Hasan Al-Bashari berpendapat terkait “lil muttaqīn” dengan, penjauhan orang bertakwa dari larangan yang diharamkan dan pelaksanaan kewajiban yang diberikan kepada mereka.
Menurut Ibnu Abbas, orang yang bertakwa adalah orang yang mewaspadai siksa Allah untuk tidak menjauhi petunjuk yang mereka pahami; dan mengharapkan rahmat-Nya dengan mengimani semua yang dikabarkan agama kepada mereka. Ibnu Mas’ud dan sejumlah sahabat lainnya mengartikan “lil muttaqīn” sebagai mukminin atau orang yang beriman. Al-Kalbi ketika ditanya perihal “al-muttaqīn” menjawab, “mereka yang menjauhi dosa besar.” Sementara Qatadah mengatakan “al-muttaqīn” tidak lain adalah orang yang disifatkan dan digambarkan oleh Allah pada ayat berikutnya, alladzīna yu’minūna bil ghaibi, wa yuqīmūnas shalāta, wa min mā razaqnāhum yunfiqūn. Ad-Dhahak meriwayatkan Ibnu Abbas yang mengartikan orang bertakwa sebagai “orang beriman yang menjaga diri dari penyekutuan terhadap-Ku; dan mereka yang berbuat taat kepada-Ku.” (At-Thabari)
Syekh Jamaluddin Al-Qasimi dalam Tafsir Mahasinut Ta’wil mengatakan, keraguan dinafikan dari Al-Qur’an. Padahal kedudukan Al-Qur’an begitu tinggi. Kandungan mukjizatnya begitu nyata dan kuat di mana tidak ada titik dugaan untuk diragukan secara hakiki bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah.
Adapun bangsa Arab yang dikenal dengan puncak kapasitas kebahasaaan dan kesusastraan yang sangat baik di zaman itu tidak berdaya sama sekali hanya untuk menandingi surat terpendek dalam Al-Qur’an dari sisi bentuk dan isinya. Ini memberikan kesaksian bahwa hujjah kebenaran Al-Qur’an sudah begitu jelas sehingga orang yang berakal sehat tidak mungkin meragukannya. Hal ini tentu saja tidak boleh dipahami secara sempit bahwa di muka bumi ini tidak ada orang yang meragukannya sama sekali. Tentu ada saja orang yang meragukan Al-Qur’an. (Al-Qasimi)
Adapun “hudan lil muttaqīn” berarti memberi petunjuk dan dalil pada agama yang lurus, yang mengantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat. An-Nashir dalam Kitab Al-Intishaf mengatakan, “hudan” dalam Al-Qur’an memiliki dua pengertian. Pertama, petunjuk dan penjelasan atas jalan kebenaran seperti Surat Fushshilat ayat 7, “Ammā tsamūdu fa hadaynāhum, fastahabbul ‘amā alal hudā.” Dari sini, kata huda diartikan petunjuk bagi orang tersesat dalam arti petunjuk pada kebenaran baik diterima atau ditolak.
Kedua, petunjuk dalam arti hidayah di mana Allah menciptakan penerimaan atas petunjuk di hati hamba-Nya seperti keterangan pada Surat Al-An‘am ayat 90, “ulā’ikal ladzīna hadāhumullāhu, fa bi hudāhumuqtadih”. (Al-Qasimi).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, makna Surat Al-Baqarah ayat 2 adalah “Ini kitab–Al-Qur’an maksudnya–tidak perlu diragukan bahwa ia diturunkan dari sisi Allah,” seperti keterangan pada Surat As-Sajdah ayat 1 dan 2. “Hudan” atau hidayah dikhususkan bagi orang bertakwa sesuai dengan keterangan Surat Fushshilat ayat 44, Al-Isra ayat 82, dan Yunus ayat 57.
As-Sya’bi mengatakan, “hudan” itu petunjuk dari kesesatan. Sementara Said bin Jubair mengatakan, “hudan” merupakan penjelasan bagi orang bertakwa. Semua tafsir ini benar, menurut Ibnu Katsir. Ibnu Katsir mengutip hadits riwayat Ibnu Majah dari sahabat Abu Umamah Al-Bahili berikut ini:
وفي سنن ابن ماجه عن أبي أمامة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "ما استفاد المرء بعد تقوى الله خيرًا من زوجة صالحة، إن نظر إليها سرته، وإن أمرها أطاعته، وإن أقسم عليها أبرته، وإن غاب عنها حفظته في نفسها وماله"
Artinya, “Rasulullah bersabda, ‘Tiada kebaikan yang didapat seseorang setelah ketakwaan kepada Allah selain istri salehah yang bila dipandang, ia menyenangkan suaminya; bila diminta bersumpah, ia menepatinya; dan ketika suaminya tidak di rumah, ia menjaga kehormatan dirinya dan harta suaminya,’” (HR Ibnu Majah).
Abu Sa’ud Al-Hanafi dalam Tafsir Irsyadul Aqlis Salim ila Mazayal Kitabil Karim mengatakan, “Itu kitab” maksudnya adalah itu kitab (Al-Qur’an) yang dulu pernah dijanjikan turun melalui lisan Nabi Musa, Nabi Isa. Pengertian lainnya, “Ini kitab” adalah kitab sempurna yang diturunkan, seakan kitab suci lainnya kurang sempurna. (Abus Sa’ud). Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar