Rabu, 18 Mei 2022

(Ngaji of the Day) Membatalkan Pernikahan Usai Lamaran? Ini Ketentuannya

Sebagai langkah awal sebelum terjadinya pernikahan, syariat Islam menganjurkan adanya khitbah (lamaran). Tujuannya, untuk menambah pengetahuan dan pengenalan antara calon suami dan istri. Dengan khitbah, calon suami boleh mengenal dan mencari tahu lebih jauh tentang watak, perilaku, sifat, dan kecenderungan calon istrinya, begitupun sebaliknya. Harapannya, kedua pasangan bisa melanjutkan pada jenjang pernikahan dengan hati dan perasaan yang lebih yakin dan sempurna. Bahasa bekennya, “agar tidak ada dusta di antara kita.”

 

Khitbah merupakan tahapan pertama sebelum membentuk ikatan suami dan istri dalam sebuah rumah tangga. Umumnya, praktik ini dilakukan oleh pihak mempelai pria untuk menyampaikan keinginan dan kesungguhannya dalam menikahi mempelai wanita, meski pada dasarnya boleh-boleh saja khitbah dilakukan oleh pihak mempelai wanita.

 

Hanya saja, dalam prosesnya terkadang tidak selalu berjalan sesuai harapan. Betapa pun kesepakatan khitbah sudah terlaksana, adanya kendala terkadang mempengaruhi keberlangsungan khitbah pada jenjang selanjutnya. Bahkan, kadang ada peristiwa yang mengharuskan salah satu atau kedua belah pihak membatalkan rencana pernikahan yang disepakati pascalamaran.

 

Membahas tentang hukum membatalkan rencana pernikahan dalam Islam menjadi pembahasan yang menarik dan penting untuk dipahami. Sebab, khitbah merupakan sebuah proses yang biasanya dijadikan jalan paling baik untuk menuju ikatan rumah tangga, sebagaimana yang dijelaskan dalam fiqih pernikahan (munakahah).

 

Hukum Membatalkan Nikah Usai Lamaran

 

Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, menjelaskan bahwa khitbah tidak bisa dianggap sama dengan nikah. Keduanya merupakan dua komponen yang berbeda, sehingga mempunyai ketentuan yang juga berbeda. Dalam kitabnya disebutkan:

 

بما أن الخطبة ليست زواجاً، وإنما هي وعد بالزواج، فيجوز في رأي أكثر الفقهاء للخاطب أو المخطوبة العدول عن الخطبة

 

Artinya, “Melihat bahwasanya khitbah tidak bisa dikatakan akad nikah, dan khitbah hanyalah sebatas janji untuk menikah, maka menurut mayoritas ulama, bagi mempelai pria yang melamar dan wanita yang dilamar boleh untuk berubah pikiran dari lamarannya (janji nikahnya, red)” (Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut: Dar al-Fikr 2010], juz 9, h. 19).

 

Khitbah dengan segala ketentuannya memang belum bisa dianggap sebagai akad nikah. Sebelum akad (nikah) terjadi antara keduanya, masing-masing belum mempunyai tanggungan apa pun, dan tidak mempunyai beban antara keduanya. Hanya saja, dalam kelanjutan pernyataannya, Syekh Wahbah az-Zuhaili menganjurkan untuk tidak membatalkan.

 

Dalam kitabnya dijelaskan:

 

ولكن يطلب أدبياً ألا ينقض أحدهما وعده إلا لضرورة أو حاجة شديدة، مراعاة لحرمة البيوت وكرامة الفتاة

 

Artinya, “Akan tetapi, dianjurkan sebagai bentuk etika bagi salah satunya, untuk tidak merusak janjinya, kecuali dalam keadaan yang mendesak, atau kebutuhan yang sangat. (Hal itu) demi menjaga kehormatan keluarga dan kemuliaan wanita” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2010: juz 9, h. 19).

 

Imam Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar menjelaskan tentang janji, bahwa ulama kalangan Syafi’iyah sepakat, sunnah hukumnya menepati janji, selagi tidak berupa janji yang dilarang, tentu jika tidak ditepati akan berkonsekuensi pada hukum makruh dan menghilangkan keutamaannya (Imam Nawawi, al-Adzkar lin Nawawi, [Beirut: Dar al-Fikr, 1994], h. 317).

 

Menggunakan Alasan yang Tepat

 

Jika ikatan yang sudah disepakati sudah tidak bisa dirajut kembali, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka sebaiknya bagi pria yang melamar menggunakan alasan yang tepat ketika ingin membatalkannya. Syekh Wahbah az-Zuhaili memberikan cara yang benar, yaitu:

 

وينبغي الحكم على المخطوبة بالموضوعية المجردة، لا بالهوى أو بدون مسوغ معقول، فلا يعدل الخاطب عن عزمه الذي شاءه؛ لأن عدوله هو نقض للعهد أو الوعد

 

Artinya, “Sebaiknya, memutuskan (pembatalan rencana nikah) atas wanita yang telah dilamarnya itu dengan menggunakan alasan-alasan nyata yang tidak dibuat-buat, tidak disebabkan mengikuti hawa nafsu, atau tanpa sebab yang bisa diterima oleh akal. Sehingga, pria yang melamar tidak berpaling dari tujuan melamar yang ia kehendaki, sebab dengan berpaling dari janjinya, ia dianggap telah merusak janji-janjinya” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2010: juz 9, h. 19).

 

Kesimpulannya, jika sudah jelas ditemukan alasan yang bisa diterima oleh akal dan dibenarkan dalam Islam, segera membatalkan khitbahnya justru lebih baik, agar pihak wanita tidak terlalu mengharapkannya. Namun, jika alasannya tidak bisa dibenarkan, sekadar mengikuti hawa nafsu, atau bahkan hanya alasan yang dibuat-buat, membatalkan khitbah justru tidak baik. Karena membatalkannya menunjukkan ia bukan laki-laki yang bisa dipercaya, sehingga orang lain tidak mudah untuk percaya kepadanya. Tidak hanya itu, janji yang sudah disepakati, seperti janji khitbah, namun tidak dipenuhi akan dipertanyakan oleh Allah kelak di akhirat. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

 

وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً

 

Artinya, “Dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra’: 34)

 

Oleh karenanya, seperti apa pun alasannya, jika masih bisa dilanjutkan, lebih baik tidak membatalkan janji dalam khitbahnya, menimbang efek yang akan terjadi pada dirinya, berupa tidak akan dipercaya oleh orang lain, juga tidak kalah penting mengingat firman Allah di atas.

 

Meminta Kembali Barang yang Diberikan

 

Di banyak tradisi masyarakat di Indonesia ada kebiasaan ketika melamar, keluarga pelamar mendatangi pihak keluarga orang yang ingin dilamar dengan membawa berbagai bentuk barang, seperti uang, pakaian, dan bahkan ada juga yang memberikan barang-barang pokok.

 

Dari kebiasaan ini akan muncul permasalahan, yaitu tentang meminta kembali barang yang telah diberikan kepada pihak yang dilamar, seiring dengan pembatalan rencana pernikahan. Saat percekcokan terjadi, misalnya, dan berujung salah satu dari kedua pihak memilih untuk tidak melanjutkan janji, maka diperbolehkan bagi pihak pria menarik kembali barang yang telah diberikan, baik barang itu masih ada, hilang, atau sudah rusak. Hanya saja, jika sudah rusak, maka ia boleh meminta nominalnya. Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan:

 

وفي حال الهلاك أو الاستهلاك يرجع بقيمته إن كان قيمياً، وبمثله إن كان مثلياً

 

Artinya, “Jika (barang yang diberikan) sudah hilang atau rusak, maka ia boleh meminta nominal harganya, bila barang yang diberikan berupa mutaqawam (barang yang hitungannya menggunakan nominal harga), dan meminta dengan ganti barang serupa bila yang diberikan adalah mitsli (barang yang hitungannya dengan ditimbang atau ditakar, seperti beras, dan lainnya).” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2010: juz 9, h. 19). []

 

Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar