Pada pembahasan mengenai pola bisnis jasa tour dan travel umrah dan haji oleh First Travel, kita sudah bisa mengenali illat keharaman bisnis tersebut. First Travel terbukti melakukan money game (arisan berantai) untuk memberangkatkan jamaahnya. First Travel juga disinyalir memakai baju MLM (Multi Level Marketing) untuk menutupi operasi money game yang dijalankannya. Sungguh ini adalah sebuah tindakan pengumpulan dana secara tidak sah secara syariat.
Nah, pada kesempatan kali ini kita akan mengaji mengenai jasa tour dan travel umrah yang lain, yaitu PT Arminareka Perdana. Mengapa kita pilih jasa ini, tidak lain dan tidak bukan adalah bahwa lembaga jasa ini disinyalir oleh banyak pihak sebagai yang menerapkan skema arisan berantai. Kita sebut arisan berantai, karena keberangkatan jamaah yang pertama, adalah menggunakan jamaah yang kedua. Jamaah yang kedua diberangkatkan oleh dana dari jamaah yang ketiga. Demikian seterusnya. Pola seperti ini juga dikenal sebagai skema ponzi. Karena Arminareka juga menerapkan jasa pemasaran langsung berbasis jaringan, maka ia banyak dituduh telah melakukan skema pemasaran tersebut secara tidak sah. Jamaah diberangkatkan dengan jalan mendapatkan passive income karena merekrut anggota lain. Nah, benarkah demikian? Mari kita telusuri jejaknya dengan maksud untuk murni kajian.
Ada beberapa hal yang harus dijadikan pegangan untuk mengulas hal ini, yaitu:
1. Patokan biaya umrah dengan jasa Arminareka adalah sebesar 22 juta rupiah per orang. Dengan demikian, sudah melebihi standar yang ditetapkan oleh Kementerian Agama bahwa patokan dana umrah minimal adalah sebesar 21.5 juta rupiah.
2. Down Payment (DP/uang muka) yang harus dibayarkan oleh anggota saat mendaftar umrah adalah sebesar 3.5 juta rupiah.
3. Setelah menjadi anggota, pihak Arminareka memberi izin kepada calon jamaah umrah ini untuk melunasi sisa kekurangannya sebesar 19.5 juta rupiah dengan jalan mengangsur atau cash.
4. Arminareka juga menawarkan sistem bagi hasil kepada calon jamaah yang sudah terdaftar untuk mengajak orang lain guna ikut jamaah umrah bareng bersama PT Arminareka. Sifat dari tawaran ini tidak mengikat. Namun, bagi setiap calon jamaah yang berhasil mengajak 1 orang untuk mendaftar, ia dijanjikan fee sebesar 1.5 juta rupiah. Bisa mengajak 2 orang, langsung mendapat fee sebesar 3 juta rupiah. Dapat mengajak 10 orang, ia mendapatkan fee sebesar 15 juta rupiah. Dapat mengajak 13 orang, ia mendapatkan fee sebesar 19.5 juta rupiah. Fee ini bisa masuk langsung ke rekening jamaah secara langsung dan dapat juga dijadikan sebagai bentuk pelunasan dana umrahnya. Walhasil, bila jamaah itu mampu mengajak 13 orang, maka ia bisa berangkat umrah dengan hanya uang sebesar 3.5 juta rupiah ditambah fee yang berhasil dikumpulkannya dari hasil mengajak tersebut.
5. Jamaah yang berhasil direkrut oleh calon jamaah umrah sebelumnya, secara otomatis juga bisa mendapatkan fee yang sama dengan calon jamaah sebelumnya yang memberinya referensi. Yang perlu dicatat adalah bahwa jamaah yang memberi referensi ini tidak mendapatkan income apapun dari hasil perekrutan anggotanya. Nah, di sinilah letak perbedaannya dengan money game yang diterapkan oleh beberapa MLM arisan berantai lainnya.
Nah, yang umum menjadi tema permasalahan fiqihnya adalah sebagai berikut:
1. Termasuk akad apakah ajakan Arminareka kepada anggota agar ia mencari jamaah yang lain dengan imbal 1.5 juta rupiah per anggota yang memdaftar itu?
2. Apa kedudukan fee yang semakin banyak dan diterima oleh jamaah yang berhasil mengajak orang lain tersebut menurut timbangan fiqihnya?
3. Bolehkah fee itu diterima oleh jamaah? Halalkah?
Kita akan jawab dulu dua permasalahan ini. Sebelumnya kita ingat kembali bahwa angka 22 juta, adalah sudah maklum bagi jasa travel dan umrah. Angka itu sudah menyisakan nilai keuntungan yang bisa diterima oleh pihak travel. Jadi, dalam angka itu sudah memenuhi unsur laba yang bisa dijamin. Sampai di sini tidak ada masalah dalam keumuman biayanya.
Berikutnya adalah tawaran yang diajukan oleh pihak Arminareka kepada calon jamaahnya untuk menjalin kemitraan dengan mencarikan calon jamaah yang lain. Bagi calon jamaah tersebut ditawarkan 1.5 juta rupiah sebagai fee untuk dirinya sendiri per anggota yang mendaftar lewat ajakannya. Termasuk akad apakah ini?
Ada beberapa pandangan dalam hal ini. Pertama, akad tersebut adalah akad samsarah (makelar). Kedua, akad tersebut adalah akad wakalah. Ketiga, akad tersebut adalah akad syirkah (kemitraan). Keempat, akad tersebut adalah akad ijarah (jasa). Jika melihat jelasnya ujrah (fee) yang didapat oleh calon jamaah tersebut (1.5 juta rupiah/anggota), maka akad ini bisa masuk sebagai akad samsarah atau akad wakalah. Masing-masing dari kedua akad ini memang mensyaratkan adanya ujrah yang maklum. Namun, jika akad tersebut dimasukkan sebagai akad syirkah (kemitraan), maka syirkah yang berlaku atas calon anggota tersebut adalah syirkah abdan. Syirkah ini dilarang dalam Madzhab Syafii namun diperbolehkan untuk tiga madzhab yang lain. Dengan demikian, kiranya yang lebih pas menurut konteks Madzhab Syafii, akad tersebut adalah akad wakalah atau akad ijarah (jasa).
Jika masuk dalam akad ijarah, maka kedudukan fikih dari calon jamaah yang mengajak orang lain tersebut adalah setara dengan sales marketing atau orang yang disewa jasa pemasarannya (ajiir). Sebagai tenaga pemasaran, sudah pasti ia berhak menerima upah. Jaman gini, mana ada sales marketing yang tidak diupah? Oleh karena itu, maka besaran fee senilai 1.5 juta rupiah merupakan harga sewa jasa pemasaran tersebut. Kita sering menyebutnya sebagai upah. Walhasil, tawaran dari Arminareka kepada calon jamaah tersebut kita masukkan dalam akad ijarah (sewa jasa).
Permasalahan berikutnya adalah termasuk akad apakah fee yang diterima secara meningkat oleh calon jamaah yang berhasil mengajak orang lain tersebut? Jika melihat pola fee yang didapat calon jamaah berdasar prestasi memasarkan jasa umrah ke orang lain, maka tidak syak wasangka lagi bahwa akad ini termasuk akad wan prestasi (ju'âlah). Dalam kaidah ekonomi sering dikenal sebagai akad pendapatan berbanding resiko. Semakin keras usaha ia memasarkan dan semakin banyak calon jamaah yang berhasil diajaknya, maka semakin besar pula pendapatan yang ia peroleh.
Mungkin ada yang menyangkal, lho bukankah jamaah yang berhasil diajak juga punya kesempatan yang sama untuk mencari orang lain? Dalam skema pemasaran yang ditawarkan oleh Arminareka, ajakan jamaah yang sudah mendaftar tidak akan mempengaruhi pendapatan jamaah yang menjadi upline-nya. Upline tidak menerima pendapatan dari hasil perekrutan jamaahnya. Jadi, pendapatan itu murni dimiliki oleh calon jamaah itu sendiri yang menjadi downline-nya secara utuh senilai 1.5 juta rupiah. Dan bila calon jamaah itu sudah bisa mengumpulkan orang sebanyak 13 orang untuk diajak umrah, maka dia berhak untuk umrah duluan mendahului upline-nya. Atau bisa juga jamaah tersebut diakumulasikan dengan rombongan upline, akan tetapi pendapatan yang diperoleh dari hasil perekrutan tetap merupakan milik jamaah yang mengajak.
Dengan memperhatikan skema perekrutan semacam ini, maka pada hakikatnya tidak benar bila skema yang dimiliki adalah murni MLM. Tampak di sini, ada gabungan antara skema pemasaran langsung dan pemasaran tidak langsung. Pemasaran tidak langsungnya datang dari hasil rekrutan calon jamaah yang menjadi anak buah upline. Pemasaran langsungnya adalah upline mencari anggota sendiri sebanyak 13 orang atau kurang darinya.
Karena fee yang diperoleh oleh calon jamaah merupakan buah dari hasil usaha pemasaran yang berarti ada kulfah (beban kerja) yang dilakukannya, maka jelas bahwa fee itu merupakan yang halal baginya. Mungkin ada yang bilang, lho masak hanya berbekal ngomong saja dapat uang? Begini, memasarkan jasa senilai 22 juta itu bukan perkara ringan. Meskipun yang diajak kelihatannya hanya 13 orang, mendapat 1 konsumen saja yang mau ambil jasa senilai itu adalah sudah untung-untungan. Jadi, mencari 13 orang itu bukanlah perkara mudah. Jadi, seandainya ia digaji 1.5 juta untuk tiap orang yang mau mendaftar, itu sudah luar biasa dan bisa jadi terlalu murah karena belum tentu ia bisa mendapatkan anggota sebulan sekali. Mudah dipahami, bukan?
Walhasil, pertanyaan penutup adalah di mana letak perbedaan antara Jasa Travel First Travel dan Arminareka? Mengapa Arminareka tidak ditutup sementara First Travel serta merta dibekukan? Bukankah banyak beredar kabar bahwa agen Arminareka juga ada yang terbukti menggelapkan uang jamaah? Untuk menjawab pertanyaan ini sudah pasti anda harus bisa membedakan antara money game dan bukan. Anda juga harus bisa membedakan antara pendapatan dari hasil memasarkan dan passive income. Tidak ada passive income sejauh ini dalam Arminareka sebagaimana yang diketahui penulis, kecuali pendapatan yang diperoleh karena hasil pairing (pemasangan) dan support system.
Bonus pairing ini diperoleh bila calon jamaah yang direkrut bisa ikut dalam satu rombongan yang sama. Bonus pairing ini hilang manakala calon jamaah tersebut memilih tanggal lain yang diluar tanggal keberangkatan rombongan yang diembannya. Sudah barang tentu, memberangkatkan satu rombongan yang sama tanggalnya jauh lebih mudah pengelolaannya dibanding memberangkatkan jamaah berbeda rombongan bukan?
Pihak Arminareka menghargai keberhasilan memasangkan jamaah ke dalam satu rombongan ini senilai 500 ribu rupiah per pasangan dan bonus support system senilai 1 juta rupiah. Walhasil, bonus ini juga bukan termasuk passive income karena ada kulfah (beban kerja) oleh pihak yang merekrut.
Dengan demikian, sejauh kajian kita kali ini, kita belum menemukan letak illat keharaman metode pemasaran Jasa Tour and Travel PT Arminareka Perdana. Jika ada kasus kejahatan berupa penggelapan uang calon jamaah oleh agen, sejauh ini dalam hemat penulis adalah murni karena faktor kriminal yang dilakukan secara pribadi sehingga tidak bisa disangkutpautkan dengan Arminareka secara kelembagaan. Wallâhu a'lam bish shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar