Dalam kitab al-Jâmi’ li Syu’ab al-Îmân, Imam al-Hafidz Abu Bakr Ahmad bin al-Husein al-Baihaqi (384-458 H) memasukkan sebuah riwayat tentang Imam Basyir ath-Thabari dan kerbau-kerbaunya yang disergap pasukan Romawi. Berikut riwayatnya:
أخبرنا
أبو زكريا بن أبي إسحاق، قال: سمعت أبا الفتح البغدادي، يقول: سمعت عبد الوهاب بن
علي المصري يقول: أغارت الروم علي جواميس لبشير الطبري فأتاه عبيده الرعاة،
فأخبروه، فقال: أنتم أحرار أيضا، كانت قيمتهم ألف دينار، فقال له ابنه: أفقرتنا،
فقال: يا بني، الله عزّ وجلّ أراد أن يختبرني، فأردت أن أشكره وأزيده.
Menceritakan kepada kami Abu Zakariya bin Abu Ishaq, ia berkata: Aku mendengar
Abu al-Fath al-Baghdadi berkata: Aku mendengar Abdul Wahhab bin Ali al-Mishri
berkata:
“(Pasukan) Romawi menyergap kerbau-kerbau milik Basyir ath-Thabari. Kemudian
budak-budaknya (yang bertugas) menggembala (kerbau-kerbau tersebut) menghadap
Basyir untuk memberitahunya.”
Basyir berkata (setelah mendengar cerita budak-budaknya itu): “Kalian juga
dibebaskan (dimerdekakan).” Nilai mereka (jika diuangkan) sekitar seribu dinar.
Lalu anaknya berkata kepada Basyir: “(Ayah), kau telah (membuat) kami miskin.”
Basyir menjawab: “Wahai anakku, Allah ‘Azza wa Jalla ingin mengujiku, maka aku
ingin mensyukuri ujian (tersebut) dan menambahkannya.” (Imam al-Hafidz Abu Bakr
Ahmad bin al-Husein al-Baihaqi, al-Jâmi’ li Syu’ab al-Îmân, Riyadh: Maktabah
al-Rusyd, 2003, juz 12, h. 407)
****
Kisah di atas adalah kisah yang menarik. Sebuah kisah yang seakan-akan hendak mengatakan, bahwa kedermawanan bisa terlahir dari kesusahan dan musibah. Bahwa, kedermawanan dan kesabaran bisa berjalan berdampingan di waktu yang sama. Biasanya, ketika seseorang mengalami musibah atau sedang diuji, apalagi jika ujian tersebut berkaitan dengan harta benda, orang tersebut akan semakin hati-hati dalam mengatur hartanya.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi Imam Basyir ath-Thabari. Ia menghadirkan
kedermawanan dalam ujian, dan menampakkannya dalam musibah. Ia beryukur bahwa
Tuhan telah mempercayainya untuk diuji. Baginya, ujian adalah amanah, sebuah
kepercayaan Tuhan yang harus dijaga dan dijalaninya. Ia berujar kepada anaknya,
“Wahai anakku, Allah ‘Azza wa Jalla ingin mengujiku, maka aku ingin mensyukuri
ujian (tersebut) dan menambahkannya.”
Imam Basyir ath-Thabari tidak berhenti pada sabar atas ujian, tapi
mensyukurinya, bahkan menambah atau memperbesar ujian tersebut. Sebelumnya, ia
telah kehilangan banyak kerbaunya, kemudian ia bersyukur dengan cara
menambahkan ujian tersebut dengan memerdekakan budak-budaknya, yang nilainya
ketika itu mencapai seribu dinar. Hal ini membuat anaknya khawatir, karena
hampir semua hartanya habis tidak tersisa. Tapi, Imam Basyir ath-Thabari
menjawabnya dengan penuh penekanan. Dalam riwayat lain dikatakan:
أسكت
يا بني، إنّ ربّي اختبرني فأحببت أن أزيده
“Diamlah, wahai anakku. Sesungguhnya Tuhanku telah mengujiku. Maka, aku (lebih)
senang untuk menambah ujian itu.” (Imam al-Hafidz Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah
al-Isfahani, Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1988, juz 10, h. 130).
Apa yang dilakukan Imam Basyir ath-Thabari menunjukkan kejernihan pikiran dan
hatinya. Seakan-akan ia sedang mengajari kita makna dari firman Allah di akhir
Surah Al-Baqarah (ayat 286): “lâ yukallifullâha nafsan illâ wus’ahâ” (Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya).
Jika kita memahami makna ayat tersebut untuk laku kehidupan kita, cara berpikir
kita akan berbeda. Kita tidak lagi memandang musibah hanya sebagai musibah, atau
memandang ujian hanya sebagai ujian, tapi memandangnya sebagai amanah atau
kepercayaan Tuhan kepada kita, bahwa kita pasti bisa melaluinya, karena Tuhan
tidak akan membebani sesuatu melebihi kemampuan hamba-Nya. Dengan kata lain,
kita harus bangga karena mendapatkan amanah dan kepercayaan Tuhan. Karenanya,
kita harus bersyukur kepada-Nya.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat tersebut dengan mengatakan:
لا
يكلف أحدا فوق طاقته، وهذا من لطفه تعالى بخلقه ورأفته بهم وإحسانه إليهم
“Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya. Hal ini adalah bagian
dari kelemah-lembutan-Nya terhadap makhluk-Nya, belas kasih-Nya atas mereka,
dan kebaikan-Nya kepada mereka.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm,
Beirut: Dar Ibnu Hajm, 2000, h. 348)
Imam Basyir ath-Thabari sangat memahami hal ini, karena itu ia bersyukur atas
ujian yang Allah berikan kepadanya, bahkan berkeinginan untuk memperbesar ujian
tersebut. Baginya, ujian adalah madrasah, semacam fase pendidikan yang harus
dilaluinya untuk menambah kecerdasan ruhaninya. Untuk orang-orang awam seperti
kita, seringkali apa yang mereka (para wali) lakukan dan pikiran, sama sekali
tidak terlintas di benak kita. Seperti gagasan untuk “menambah” atau
“memperbesar” ujian Allah, hampir tidak mungkin gagasan semacam itu melintas di
benak kita.
Tentu saja, gagasan tersebut tidak hanya mampir dan berlalu, tapi benar-benar
dipraktikkan seketika itu juga. Ketika Imam Basyir ath-Thabari mengetahui
kerbau-kerbaunya hilang disergap tentara Romawi, ia tidak meratapinya dalam
sesal. Dari kejadian itu, ia seakan-akan mendapat pencerahan baru, bahwa Allah
telah mengujinya, dan ujian adalah amanah-Nya yang harus dijaga dan dijalani.
Artinya, ujian adalah karunia dari-Nya, dan karunia harus disyukuri. Semakin
banyak seseorang bersyukur, semakin banyak Allah menambahkan karunia-Nya.
Di samping itu, dengan memerdekakan budak-budaknya, Imam Basyir ath-Thabari
telah menghilangkan kekhawatiran dan ketakutan mereka. Sebagai penggembala,
atau orang yang ditugasi menjaga kerbau-kerbau Imam Basyir, tentu mereka sangat
ketakutan dan khawatir. Tapi, mereka malah mendapatkan sesuatu yang tidak
mereka sangka sama sekali. Alih-alih mendapat marah, mereka dimerdekakan oleh
Imam Basyir ath-Thabari. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad. Semoga Allah
merahmatinya, dan semoga kita bisa mengambil teladan darinya.
Wallahu a’lam bish-shawwab.... []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar