Memperbarui Nisan di
Kuburan Umum
Islam sebagai agama tidak hanya melulu
mengajarkan berbagai hal yang bersifat ketuhanan (hablum minallah) yang
menggambarkan relasi antara Allah sebagai Khaliq dan Manusia sebagai Makhluq.
Tetapi juga masalah social (hablum minan nas), yang erat hubungannya dengan
haqqul adami. Termasuk di dalamnya adalah tata cara merawat dan menggunakan
tanah kuburan milik umum yang luasnya sangat terbatas sekali.
Hal ini sering kali di salah fahami oleh
sebagian masyarakat. Mereka menganggap bahwa tanah kuburan milik umum yang di
dalamnya terpendam jasad keluarganya, seringkali disalah artikan sebagai tanah
milik keluarga. Entah karena merasa membayar ketika mengkuburkan atau karena
tradisi yang berlaku di lingkungan masyarakat atau karena alasan lain. Oleh
karena itu, seringkali ditemukan usaha untuk merenovasi (memperbaiki) batu
nisan dan kijingnya ketika dianggap telah rusak atau usang. Seolah mereka lupa
bahwa tanah kuburan itu adalah milik umum. Dan renovasi itu sebenarnya dapat
menghalangi orang lain untuk menyemayamkan mayat di kuburan tersebut. Minimal
mengurangi kesempatan orang lain memanfaatkan luas kuburan umum yang terbatas
itu. Dengan kata lain, perwujudan batu nisan dan kijing yang permanen itu
terlalu banyak memanfaatkan fasilitas umum.
Oleh karena itu wajar bila seorang kyai
berwasiat pada anak cucunya, supaya kelak ketika mati dikubur di tempat umum
tanpa menggunakan batu nisan apalagi kijing permanen. Baiknya kuburan itu
ditandai saja dengan kayu supaya cepat rusak dan hilang di makan waktu. Agar
kuburannya itu itu dapat digunakan untuk mengkubur orang lain lain lagi. Dengan
demikian kyai itu tidak merasa mengambil atau menggunakan fasilitas umum dalam
jangka waktu yang cukup lama. Pertanyaan yang muncuk kemudian, babagaimana
hukumnya memperbaharui nisan dan kijingnya dalam tanah kuburan umum?
Mengenai hal ini, Syamsudin ar-Ramli dalam
Nihayatul Muhtaj dan juga Syikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Fathul Wahab
menerangkan bahwa, segala upaya yang dianggap menghalangi pemanfaatan fasilitas
umum di larang oleh agama. Dalam hal ini, haram hukumnya memperbarui ataupun
membuat perangkat kuburan yang permanen, karena dapat menghalangi orang lain
mengkuburkan jenazah. Dengan catatan mayat yang ada dalam kubur itu telah
rusak. Para ahli berpendapat bahwa sebuah mayat dapat bertahan hingga 15 tahun
hingga 25 tahun. Ada pula yang bertahan hingga 70 tahun, perbedaan ini
berdasarkan pada perbedaan iklim suatu daerah tertentu.
Adapun keterangan dalam kitab Nihyatul Muhtaj adalah sebagai berikut:
أَمَّا
بَعْدَ الْبَلاَءِ عِنْدَ مَنْ مَرَّأَي مِنْ أَهْلِ الْخِبْرَةِ فَلاَ يَحْرُمُ
النَّبْشُ بَلْ تَحْرُمُ أَمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ تُرَابٍ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ
فِي مَقْبَرَةٍ مُسَبَّلَةٍ لإِمْتِنَاعِ النَّاسِ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ
لِظَنِّهِم بِهِ عَدَمَ الْبَلِى.
“Adapun jenazah yang sudah hancur sesuai
dengan perkiraan para ahli yang sudah berpengalaman tidak diharamkan untuk
digali kembali, bahkan diharamkan membangun bangunan dan meratakan (mengecor)
tanah di atasnya jika berada di kuburan yang landai, karena itu bisa
menghalangi orang lain untuk menguburkan (jenazah lain), karena mereka
menyangka (jenazah yang pertama) belum hancur”. (Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul
Muhtaj, (Mesir: Matba’ah Musthafa al-Halabi, 1357 H/1938 M), Jilid III, h. 40)
Adapun ibaroh dalam Fathul Wahhab adalah sebagai berikut:
أَمَّا بَعْدَ الْبَلِى فَلاَ يَحْرُمُ نَبْشُهُ أَي الْمَيِّتِ بَلْ تَحْرُمُ عِمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ التُّرَابِ عَلَيْهِ لِئَلاَّ يَمْتَنِعَ النَّاسُ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِمْ عَدَمَ الْبَلِيِّ.
“Sedangkan jenazah yang telah hancur maka tidak haram digali, bahkan yang diharamkan adalah membangun, meratakan (mengecor) tanah di atasnya agar tidak menghalangi orang lain menguburkan (jenazah lain) karena menyangka (jenazah yang semula) belum hancur” (Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, (Beirut: Maktabah Darul Fikr, 1422 H/2002 M), Juz I, h. 118.)
Sumber: Ahkamul Fuqaha, Sekretariat PBNU,
Jakarta, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar