Rabu, 25 April 2012

(Ngaji of the Day) Membincang Ide Satu Mathla’ Sedunia


Membincang Ide Satu Mathla’ Sedunia

Oleh : Ali Wafa Yasin



Sebagaimana dimaklumi, bahwa perbedaan menentukan awal Syawal telah jamak terjadi. Pada prinsipnya, perbedaan semacamnya ini bukanlah persoalan serius. Akan tetapi ekses negatif yang kemudian ditimbulkannya cukup merisaukan, sebab persatuan umat Islam adalah hal yang harus diprioritaskan dari apapun. Karena itu, para pakar berupaya sebisa mungkin untuk menyatukan hari raya umat Islam di seluruh dunia. Dan, salah satu teori yang ditawarkan adalah penyeragaman mathla’.



Namun, dalam hal ini, justru teori para pakar terpilah pada arah yang berlawanan. Sehingga sampai di sini, ide penyeragaman masih baru sekadar wacana, dan tampaknya sulit diharapkan. Kelompok pertama memandang bahwa di dunia Islam ini hanya ada satu mathla’. Maksudnya, jika ada salah satu negara yang berpenduduk muslim sudah melihat hilal, maka wajib hukumnya negara-negara Islam lain yang belum melihat bulan mengikuti hasil ru’yah negara tersebut. Mereka yang menyuarakan ide ini adalah mayoritas ulama.



Kelompok kedua memandang bahwa setiap negara yang berpenduduk muslim mempunyai mathla’ sendiri. Sehingga mereka boleh bersandar pada hasil ru’yah masing-masing dan tidak harus mengikuti hasil ru’yah negara muslim yang lain. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini adalah sebagian besar ulama mazhab Hanafi dan sebagian besar ulama mazhab Syafii.



Dalil Masing-Masing Kelompok



Dalil kelompok pertama adalah Hadis Abu Hurairah dan yang lain, “Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihat bulan. Jika kamu terhalang mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan Syaban itu menjadi 30 hari.”



Hadis tersebut menunjukkan bahwa kewajiban puasa bagi umat Islam bergantung pada mutla’ ru’yah, sedangkan mutla’ itu berlaku sesuai kemutlakannya. Karena itu dalam masalah ini ru’yah cukup dilakukan oleh kelompok atau perorangan.



Mengenai jarak dan perbedaan tempat, kelompok ini mengiaskan negara-negara yang jauh dengan kota-kota yang dekat dari negara tempat ru’yah. Pemikiran ini dikenal dengan istilah ru’yah internasional yang menjadi pegangan komisi penyatuan kalender hijriyah internasional.



Dalil kelompok kedua adalah Hadis Kuraib, bahwa Ummul-Fadhl mengutus Kuraib kepada Muawiyah di Syam, lalu Kuraib berkata: “Aku telah datang ke Syam dan telah melaksanakan keperluan Ummul-Fadhl, sedangkan ru’yah untuk awal Ramadhan datang kepadaku, sementara aku berada di Syam. Aku melihat bulan pada malam Jumat, kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan. Lalu Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku menyangkut masalah hilal, ‘Kapan Anda melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jumat’. Ibnu Abbas bertanya, ‘Betulkah Anda yang melihatnya sendiri?’ Aku menjawab, ‘Ya, saya melihatnya sendiri, dan orang-orang juga berpuasa, begitu juga Muawiyah’. Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, sehingga kami berpuasa setelah menyempurnakan bilangan 30 hari, atau kami melihatnya sendiri’. Kuraib bertanya, ‘Bukankah Anda cukup dengan ru’yah dan puasa yang dilakukan Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Tidak, seperti inilah Rasulullah memerintahkan kepada kami’.”



Maksud perintah itu adalah sabda Nabi yang terdapat dalam Hadis Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda: “Bulan itu tidak lain adalah 29 hari, maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihat bulan. Apabila kalian terhalang melihat bulan, maka perkirakanlah bulan itu.”



Teori kedua ini dipersepsikan menjadi pemicu terjadinya perbedaan dalam memulai maupun mengakhiri Ramadhan di berbagai kawasan umat Islam. Itulah sebabnya mengapa beberapa tahun yang lalu munculah gerakan memasyarakatkan teori “ittihâdul-mathâli’” (kesatuan mathla’ internasional) yang diharapkan mampu menyatukan awal dan akhir Ramadhan secara internasional.



* * *



Untuk mengukuhkan persepsi bahwa konsep ittihâdul-mathâli’ itu sangat mungkin untuk diterapkan, kelompok yang pro terhadap konsep ini tidak hanya memperkukuh ide ini dengan beragam argument. Akan tetapi mereka juga berupaya menggulingkan argument kelompok pro ikhtilâful-mathâli’ dengan sejumlah dalih.



Dali dari al-Qur’an adalah ayat yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS al-Baqarah [2]: 189).



Yang di maksud dengan “al-ahillah” dalam ayat di atas adalah bulan sabit, yang dalam setiap tahunnya berjumlah dua belas. Di manapun hilal (bulan sabit) itu dilihat, maka sejak itulah bulan itu dimulai. Di antara tujuan Allah I menciptakan bulan-bulan itu adalah untuk membatasi kebutuhan, janji-janji, dan hal-halm penting yang tak terelakkan. Oleh karena itu, jika seandainya setiap wilayah atau bahkan setiap orang memilki hilal masing-masing, maka hal itu telah melenceng dari tujuan diciptakannya bulan, dan tidak ada batasan waktu yang dapat dijadikan tendensi dan patokan apapun, namun hanya akan menyebabkan terjadinya perbedaan waktu, yang menyebabkan tatanan waktu menjadi campur aduk.



Firman Allah yang artinya “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan-Nya tempat-tempat bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)”. (QS Yunus: 05). Dalam ayat yang lain, “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”. (QS Ar-Rahman: 05).



Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan dan sebuah sistem pada porosnya, agar manusia tahu terhadap waktu, dan dapat memperhitungkan berjalannya tahun-tahun. Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa al-ahillah itu berbilangan–dengan mengajukan pendapat ikhtilâful-mathâli‘–bertentangan dengan ayat-ayat ini.



Sedangkan dalil dari Hadis, adalah Hadis mutawatir dengan sanad-sanad yang sahih dari Hadis Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Umar bin al-Khattab dll, bahwa Rasulullah bersabda, “Berpuasalah karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat bulan. Jika kamu terhalang mendung dalam melihat bulan, maka sempurnakanlah menjadi 30 hari.” Hadis ini merupakan dalil terkuat yang dijadikan argumen bagi wajibnya penyeragaman mathla’ dan haramnya berbeda dalam mathla’.



Kritik Hadis Ikhtilâful-Mathâli‘



Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai, atau dari riwayat yang lain melalui Kuraib, yang dijadikan dasar terhadap teori ikhtilâful-mathâli‘, memiliki bebrapa kelemahan yang akan kami jelaskan di bawah ini.



Pertama, bahwa sebenarnya Hadis itu tidak ada dasarnya dan sama sekali tidak menyebutkan terjadinya perbedaan matla’ pada setiap wilayah tertentu. Namun sebenarnya Ibnu Abbas tidak mau menerima atau menolak berita ru’yah yang dibawa Kuraib, dan tidak mau mengamalkan ru’yah hasil Muawiyah ataupun penduduk Syam yang kurang pasti itu.



Kedua, bisa jadi penyaksian Kuraib seorang diri tidak dapat diterima, sebab jika kita melihat pada pendapat mayoritas ulama yang mensyaratkan harus dua orang dalam penyaksian melihat hilal, maka penyaksian yang hanya dilakukan oleh Kuraib seorang diri jelas tidak dapat diterima.



Ketiga, bahwa Hadis Kuraib bertentangan dengan nash dari qaul sahabat lain yang memiliki otoritas lebih tinggi, yaitu Umar bin al-Khaththab.



Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar yang dimiliki oleh teori ittihâdul-mathâli‘ lebih kuat. Sebagai upaya dalam memasyarakatkan teori kesatuan mathla’ internasional, agar seluruh wilayah Islam di santreo dunia bisa kompak dan terlihat kuat, sehinga bagaimanapun upaya ini perlu untuk didukung. []



Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar