Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
(Opini Media Indonesia 12/4/12)
JIKA ribuan hakim meradang karena gaji mereka
tidak mencukupi, keluh kesah itu menjadi bukti yang menjelaskan kelemahan
strategi dalam agenda penegakan hukum. Rencana mogok massal korps hakim daerah
merupakan peringatan kepada negara bahwa jika kesejahteraan komunitas pengadil
tidak segera diperbaiki, pengadilan justru bisa menjadi titik lemah penegakan
hukum.
Karena itu, jangan melarang, dan jangan juga
mengaggap remeh jika para hakim di daerah menyuarakan uneg-uneg mereka. Kalau
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono boleh Curhat karena tujuh tahun tak pernah
menikmati kenaikan gaji, mengapa juga para hakim di daerah tidak boleh
mengeluhkan gaji mereka yang kecil? Hormati saja karena itu memang hak mereka.
Saat bekerja di ruang pengadilan, semua menyapa mereka dengan ‘Yang Mulia’.
Tetapi, ketika kembali pada realitas kehidupan, mereka pasti mengalami
kesulitan merefleksikan makna ‘Yang Mulia’ itu. Sebab, seperti orang kebanyakan
lainnya, mereka juga harus bergulat dengan tantangan hidup. Dalam situasi
tertentu, bisa saja mereka memilih meninggalkan tugas demi kepentingan anak
istri.
Maka, kalau masih konsisten dengan agenda
penegakan hukum, keluh kesah para hakim itu justru harus diapresiasi, karena
mereka mengungkap sekaligus menunjukan adanya sebuah kelemahan mendasar dalam
agenda penegakan hukum di negara ini. Secara tidak langsung, para hakim di
daerah ingin mengatakan bahwa kalau pemerintah terus lalai atau tidak peduli
pada kesejahteraan para hakim di daerah, eksistensi, peran dan tanggung jawab
mereka justru bisa menjadi titik lemah sekaligus perusak agenda penegakan hukum
di negara ini. Sekarang ini, agenda penegakan hukum memang sudah mengalami
sedikit kerusakan di sana sini. Sekadar contoh kasus, sebut saja kasus vonis
bebas pengadilan Tipikor terhadap puluhan terdakwa koruptor yang mengundang
kemarahan publik. Atau, kasus oknum hakim yang tertangkap tangan karena diduga
menerima uang suap.
Memang, setinggi apa pun jabatan atau profesi
yang disandang seseorang, jika kesejahteraan hidupnya dibawah standar
rata-rata, selalu saja akan muncul dorongan untuk memperbaiki kesejahteraan
dengan cara lain. Misalnya mencari dan menekuni kerja sampingan. Bisa juga
melakukan kerja haram dengan cara melanggar kode etik jabatan atau profesi
alias mengomersilkan jabatan. Dalam sejumlah kasus Tipikor yang melibatkan
oknum penegak hukum, modus yang dipilih umumnya adalah komersialisasi jabatan.
Dari tawar menawar pasal- pasal dakwaan sampai jual beli rencana tuntutan
(Rentut).
Berdasarkan kecenderungan itu, sudah barang
tentu komunitas hakim daerah bisa menjadi sangat rentan. Sebab, mereka menjadi
sasaran empuk mafia peradilan. Sebagaimana lazimnya mafia bekerja, mereka
akhirnya akan sampai pada ranah tugas hakim setelah sebelumnya memasuki dulu
hidup keseharian para oknum hakim yang serba pas-pasan. Kalau hal yang demikian
sampai terjadi, hukum sulit ditegakan karena akan menjadi komoditi yang
diperdagangkan dibalik pintu oknum hakim.
Maka, sebelum kerusakan agenda penegakan
hukum bertambah parah, inisiatif korps hakim daerah patut ditanggapi dengan
sikap dan pemikiran positif. Jika jernih menyikapinya, akan terbaca
bahwa dalam keluh kesah para hakim itu, terkandung maksud dan tujuan besar yang
jauh lebih strategis, yakni sebuah dorongan baru bagi terwujudnya sinergi penegakan
hukum, antara Polri-Kejaksaan di satu sisi dengan dengan para hakim dan
institusi peradilan di sisi lain.
Samakan Perlakuan
Baru-baru ini, Kejaksaan Agung, Polri dan KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) memperbarui kesepakatan kerja sama demi
optimalisasi pemberantasan korupsi. Pembaruan kerjasama itu tidak melibatkan
institusi yang membawahi pengadilan tindak pidana korupsi. Apakah kerjasama
yang diperbarui itu bisa efektif memberantas korupsi? Mudah-mudahan. Tetapi,
belum lama ini, rakyat disuguhi fakta tentang keputusan beberapa pengadilan
Tipikor daerah yang menjatuhkan vonis bebas puluhan terdakwa koruptor. Kalau
pemerintah dan institusi penegak hukum mau belajar dari kasus vonis bebas
terdakwa koruptor itu, korps hakim dan institusi peradilan mestinya tidak
dijadikan bagian terpisah. Polri, Kejaksaan, KPK bersama korps hakim dan
institusi peradilan merupakan komponen-komponen utama dalam upaya menegakan
hukum. Agar agenda penegakan hukum mencapai tujuan besarnya, tidak ada pilihan
lain kecuali mewujudkan sinergi semua komponen utama itu.
Karena itu, inisiatif serupa perlu diperluas
oleh Polri dan kejaksaan untuk mewujudkan penegakan hukum dalam skala lebih
luas, yang tidak hanya fokus pada kejahatan Tipikor. Artinya, Polri dan Kejaksaan
perlu juga mengambil inisiatif bagi optimalisasi penegakan hukum. Agar
optimalisasi itu efektif mencapai tujuannya, komponen korps hakim dan institusi
pengadilan harus dilibatkan dalam tahap optimalisasi itu. Dan, salah satu
prasyarat untuk kebersamaan melakukan optimalisasi itu adalah persamaan
perlakuan dari negara cq pemerintah terhadap semua komponen utama penegakan
hukum di negara ini. Maka, kalau pemerintah selama ini sudah memberi perhatian
cukup terhadap Polri dan Kejaksaan berikut jajaran masing-masing, kini waktunya
bagi pemerintahn merespons dengan tepat dan bijaksana keluh kesah para hakim,
khususnya hakim-hakim yang bertugas di daerah.
Efektivitas penegakan hukum memang bergantung
pada faktor kemauan politik pemerintah. Mogok massal para hakim daerah bisa
dicegah jika pemerintah menyikapi keluhan para hakim dengan hati jernih. Sebab,
dalam praktiknya, optimalisasi penegakan hukum tidak bisa
dipisahkan dari fungsi dan peran pengadilan, serta komitmen para hakim.
Artinya, tanpa bermaksud mengintervensi kewenangan pengadilan dan korps hakim,
langkah-langkah penyeragaman persepsi antara Polri-Kejagung dengan institusi
pengadilan masih sangat diperlukan. Untuk kepentingan penyeragaman
persepsi tentang optimalisasidal penegakan hukum itu, tidak ada salahnya
jika Kejagung dan Polri bersama-sama melakukan pendekatan kepada Mahkamah
Agung (MA). Agar mendapatkan dukungan politik, agenda optimalisasi penegakan
hukum itu harus pula dilaporkan kepada presiden dan DPR.
Sebagai isu, rencana mogok ribuan hakim di
daerah memang kalah seksi dibanding aksi massa turun ke jalan menentang rencana
pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Namun, karena pihak
yang berencana melakukan mogok massal itu para korps pengadil, isu ini tetap
saja tak luput dari perhatian publik. Bahkan kelompok masyarakat tertentu baru
tahu bahwa para hakim itu bukan pegawai negeri sipil (PNS).
Kalau alasan dibalik rencana mogok itu tidak
dikemukakan, sebagian besar publik tidak pernah tahu, bahkan sulit untuk
percaya, bahwa para hakim di daerah menerima gaji kecil. Bahkan sebaliknya,
sudah terbentuk persepsi bahwa kesejahteraan para hakim berada di atas standar
rata-rata warga kebanyakan karena semua kebutuhan mereka disediakan negara.
Karena anggapan bahwa para hakim merupakan bagian tak terpisah dari aparatur
negara, banyak orang tidak percaya bahwa gaji hakim di daerah kecil. Sebab,
bukankah hampir setiap tahun pemerintah selalu mengumumkan kenaikan gaji
aparatur negara saat membacakan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) di DPR?
Maka, menjadi menarik ketika seorang hakim di
daerah mengajukan pertanyaan ini; apakah status hakim
pegawai negeri sipil (PNS) atau pejabat negara? Jika status hakim pejabat
negara, mengapa gaji hakim lebih kecil dari PNS? Dari pertanyaan ini, boleh
diterjemahkan bahwa para hakim pun tidak tahu dengan jelas posisi dan status
mereka dalam struktur birokrasi negara.
Persoalan berikutnya, mengapa hanya hakim di
daerah yang berkeluhkesah sementara hakim di wilayah perkotaan tidak
ikut-ikutan mengeluhkan gaji kecil? Wajar jika muncul asumsi ada perbedaan
perlakuan dari pemerintah terhadap hakim wilayah perkotaan dan hakim di daerah.
Mengapa harus ada perbedaan perlakuan jika tugas dan tanggungjawabnya sama?
Betapa malangnya nasib seorang hakim yang semula bertugas di Jakarta – dengan
gaji yang lumayan besar-- lalu dipindahkan ke daerah karena alasan-alasan
tertentu, dengan konsekuensi harus menerima gaji kecil.
Kalau seperti itu fakta persoalannya, bisa
ditafsirkan bahwa pemerintah meremehkan peran dan tanggung jawab para hakim di
daerah dalam agenda penegakan hukum. Argumentasi ini mengacu pada upaya
pemerintah yang sudah dan terus memperkuat peran dan fungsi Polri, Kejaksaan
dan juga KPK. Seluruh jajaran Polri bahkan sudah menikmati remunerasi.
Pemerintah pun mengalokasikan anggaran yang tidak kecil untuk membiayai gaji
pegawai dan operasional KPK. Peran hakim pun sangat strategis. Mengapa gaji
para hakim tidak segera dinaikan? []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar