Jangan Musuhi Rakyat
(SINDO, 28/3)
Bambang Soesatyo
Anggota DPR RI
MEMERINTAHKAN pasukan
TNI mengawal unjuk rasa berbagai elemen masyarakat menolak kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) berpotensi mengeskalasi masalah. Inisiatif ini
bisa berakibat fatal jika massa demonstran sampai pada kesimpulan bahwa
pemerintah menunjukan sikap permusuhan terhadap rakyat.
Ekses itu sudah
tentu sangat berbahaya. Berbahaya bagi massa pengunjuk rasa. Berbahaya
juga bagi TNI. Pun, berbahaya pula bagi pemerintahan ini. Kalau sekelompok
massa bertindak melampaui batas kewajaran dan direspons dengan represif,
persoalannya berpotensi tereskalasi mengingat massa yang begitu emosional dan
sensitif. Letupan kecil di satu titik bisa mendorong perlawanan massa yang
lebih luas. Siapa pun tidak menginginkan hal seperti itu terjadi. Dalam
konteks ini, citra TNI benar-benar dipertaruhkan lagi. Hakikatnya, citra TNI
yang terus membaik saat ini tak perlu lagi dipertaruhkan untuk menghadapi massa
pengunjuk rasa.
Massa demonstran di
semua daerah, termasuk elemen mahasiswa, sudah terbiasa berhadap-hadapan dengan
polisi. Massa demonstran dan Polisi selama ini masih mampu berkomunikasi
di lapangan. Kalau mereka akhirnya harus berhadap-hadapan dengan pasukan TNI
dalam demo menentang kenaikan harga BBM 2012, tafsir atau tanggapan masa
demonstran tentu bisa berubah. Bukan tidak mungkin massa pengunjuk rasa
merasa bahwa dengan menurunkan pasukan TNI pemerintah telah menunjukan sikap
permusuhan terhadap mereka. Tanggapan seperti itu berpotensi meningkatkan
emosi massa. Katakanlah situasinya menjadi terkendali. Tetapi, tetap saja
persepsi massa terhadap TNI bisa berubah menjadi negatif. Lagi-lagi, TNI-lah
yang dirugikan.
Rakyat bukanlah musuh
negara saat ini. Musuh negara saat ini adalah para koruptor dan para pencuri
pajak. Unjuk rasa itu sekadar menyuarakan aspirasi. Terlalu berlebihan jika
pasukan TNI diperintahkan merespons aspirasi rakyat dalam unjuk rasa menolak
kenaikan harga BBM. Pemerintah-lah yang seharusnya menyimak dan merespons keluh
kesah rakyat.
Reformasi Indonesia
sudah membagi peran TNI dan Polri dengan sangat jelas.TNI fokus di bidang
pertahanan negara, sedangkan Polri bertanggungjawab untuk mewujudkan keamanan
dan ketertiban umum. Selama lebih dari satu dekade terakhir ini, pembagian
tugas itu dilaksanakan dengan baik. Untuk merespons tanggungjawab tugas
masing-masing, TNI dan Polri telah berusaha keras mengembangkan
profesionalisme. Reformasi internal di tubuh TNI dan Polri pun terus
dilaksanakan secara berkesinambungan. Progres reformasi TNI dan Polri pun
sudah sangat jelas, walaupun masih ada kekurangan di sana sini. Oleh karena
itu, jangan lagi menyeret-nyeret pasukan TNI untuk mengerjakan apa yang bukan
menjadi bidang tugasnya.
Lebih dari itu, dengan
menurunkan pasukan TNI ke jalan untuk menghadapi massa pengunjuk rasa,
pemerintah sama sekali tidak menjawab atau merespons aspirasi rakyat. Jelas
bahwa rakyat atau pengunjuk rasa mendesak pemerintah membatalkan rencana
kebijakan menaikkan harga BBM. Kalau kemudian pemerintah tetap pada
pendiriannya, pemerintah harus berani berkomunikasi dan berdialog dengan semua
elemen masyarakat, menjelaskan alasan-alasan strategis yang melatarbelakangi
rencana kebijakan harga BBM itu. Menurunkan pasukan TNI bukanlah jawaban yang
diinginkan massa pengunjuk rasa. Bukannya mereduksi persoalan, massa bisa
menuduh pemerintah menakut-nakuti mereka dengan menurunkan pasukan TNI.
Dalam konteks ini,
inisiatif pemerintah menurunkan pasukan TNI bukan hanya kontraproduktif, melainkan
juga memperlihatkan perilaku pemerintah yang begitu amatiran. Bahkan sama
sekali tidak bijaksana. Prinsip musyawarah untuk mufakat tidak
diaktualisasikan. Kecenderungan yang terlihat adalah pemerintah memilih
menggunakan otot dalam menghadapi rakyatnya sendiri. Kalau seperti itu cara
menghadapi atau menyelesaikan persoalan, apa bedanya pemerintah dengan
kelompok-kelompok tertentu yang terbiasa mengerahkan massa untuk menakut-nakuti
lawan mereka?
Selain ditentang oleh
berbagai kalangan di dalam negeri, inisiatif pemerintahn menurunkan pasukan TNI
sudah pasti dicibir komunitas internasional. Menurunkan pasukan TNI untuk
sekadar menghadapi massa pengunjuk rasa adalah pesan yang tidak produktif,
karena inisiatif itu secara tidak langsung menjelaskan stabilitas nasional kita
yang rapuh. Inisiatif itu pun bisa menggambarkan kemunduran derajat
demokrasi di Indonesia.
Tangan Kotor
Menteri Koordinator
Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto menegaskan pelibatan
pasukan TNI dalam pengamanan unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM tidak
melanggar aturan. Penjelasan seperti ini dangkal, bahkan cenderung memperkeruh
suasana. Sangat kental semangat untuk mencari cara-cara instan, termasuk
mengggunakan otot. Sama sekali tidak ada kepedulian terhadap nurani publik.
Padahal, persoalannya
bukan sekadar melanggar atau tidak melanggar aturan perundang-undangan.
Persoalan utama dalam konteks ini adalah kualitas kearifan pemerintah merespons
psikologi massa dalam alam demokrasi. Menakut-nakuti publik jelas tidak arif.
Menurunkan pasukan TNI bukanlah solusi. Kalau publik turun ke jalan
berunjukrasa, mereka ingin agar aspirasinya tak sekadar didengar tetapi juga
ditanggapi. Bukan justru ditakut-takuti.
Alasan menurunkan
pasukan TNI adalah membantu Polri jika unjuk rasa berubah menjadi tindakan
anarkis. Pertanyaannya adalah apa benar para pengunjuk akan melancarkan
tindakan anarkis? Kalau mengacu pada pengalaman beberapa unjuk rasa terakhir
yang memang diwarnai dengan tindakan anarkis, pertanyaannya berikutnya adalah
anarkisme itu oleh siapa? Oleh pengunjuk rasa atau oleh pihak lain yang
menunggangi unjuk rasa itu.
Tidak perlu
ditutup-tutupi lagi bahwa pihak penguasa pun berkeinginan dan berkepentingan
agar masyarakat memiliki persepsi yang buruk tentang demonstrasi dan para
pelaku demo. Cara terbaik untuk merusak kesan tentang demonstrasi adalah
menunggangi demontrasi itu dengan tindakan-tindakan anarkis agar masyarakat
tidak bersimpati pada pelaku demonstrasi.
Demonstrasi menolak
rencana kebijakan menaikkan harga BBM belakangan ini banyak melibatkan
mahasiswa dan kaum pekerja. Rasanya, niat mereka untuk melancarkan tindakan
anarkis sama sekali tidak ada. Alasan pertama, mereka butuh simpati masyarakat
luas sehingga mereka tahu tidak perlu bertindak konyol. Alasan kedua, mereka
tahu apa saja risikonya jika bertindak anarkis. Maka, boleh jadi,
tindakan-tindakan anarkis yang mewarnai demonstrasi belakangan ini dilakukan
oleh pihak lain yang ingin merusak citra demonstrasi menentang kenaikan harga
BBM. Inisiatif menurunkan pasukan TNI dengan sendirinya melengkapi upaya
penguasa untuk menggambarkan bahwa demonstrasi anti kenaikan harga BBM sebagai
peristiwa yang patut diwaspadai dan ditakuti.
Bisa dipahami jika
masyarakat keberatan dengan rencana kebijakan menaikkan harga BBM. Karena itu,
demonstrasi ditunjukan dengan sikap marah terhadap rencana pemerintah menaikkan
harga BBM. Bagaimana masyarakat tidak marah? Rencana menaikkan harga BBM itu dikumandangkan
ketika fakta-fakta tentang korupsi dan penggelapan pajak terus bermunculan di
ruang publik. Puluhan milyar rupiah hasil korupsi nilai proyek pembangunan dan
hasil pencurian pajak dinikmati dan dibagi-bagikan untuk membiayai pola hidup
hedonis para pelakunya.
Pemerintah seharusnya
membenahi dulu pengelolaan anggaran pembangunan dan keuangan negara sebelum
membebani rakyat dengan menaikkan harga BBM atau tarif dasar listrik. Sudah
terlalu besar nilai kekayaan negara yang dicuri para koruptor dan mafia pajak.
Itulah kekurangan atau kelemahan pemerintah. Kalau pengelolaan keuangan negara
efisien dan efektif, subsidi BBM mestinya tidak perlu dipersoalkan. Inilah
pesan yang mestinya didengar dan direspons pemerintah. []
Sent from my
BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar