Rabu, 18 April 2012

(Ngaji of the Day) Kitab Kuning, Buku dan Fanatisme


Kitab Kuning, Buku dan Fanatisme

Oleh: Fariz Alniezar



Kitab kuning (turats al-qadim) adalah suatu terminologi unik yang lazim dipakai oleh para santri untuk menyebut kitab yang hampir seluruhnya terbuat dan dicetak di atas kertas yang berwarna kuning, walaupun secara kenyataan pada tataran praksisnya kitab-kitab yang tergolong lama (turats al-qadim) sudah banyak yang dicetak ulang dengan tidak menggunakan kertas berwarna kuning lagi.


Tapi hal itu tidak berdampak sama sekali terhadap kaum santri, toh walaupun kertasnya sudah berwarna putih mereka juga masih menyebutnya dengan kitab kuning. Hal ini sejalan dengan tesis Andre Moeller yang mengatakan bahwa bahasa atau istilah tidak hanya berhenti pada tataran terminologis belaka, tapi lebih jauh dari itu yaitu menyentuh ranah-ranah psikologis (Moeller: 2006).


Konon, istilah kitab kuning pada awalnya adalah merupakan sebuah ejekan-kalau tidak mau dikatakan inkuisisi- oleh mereka-mereka yang tidak suka dengan khazanah intelektual islam, orang barat misalnya. Karena istilah kuning adalah istilah yang sebetulnya tidak begitu mengenakkan didengar oleh telinga selain tidak menarik secara jasadiyah, kuning juga merupakan simbolisasi dari barang yang usang, kurang terawat, lawas atau kuno.


Akan tetapi sekuning dan sekuno apapun, kitab kuning tetaplah kitab kuning, ia secara tersendiri, independen mempunyai tempat yang eksklusif di kalangan santri di pelbagai pondok pesantren. Kitab kuning dalam hal ini-Meminjam istilahnya Andre Moeller-sudah mendaging darah, sudah menjadi denyut nadi kegiatan intelektual santri di pelbagai jenjang pendidikan yang ada di pesantren. Hal itu terbukti dengan adanya misalnya halaqah, kajian atau diskusi semacam bahstul masa'il atas permasalahan yang faktual-aktual dengan kitab kuning dijadikan sebagai rujukan utama. hal semacam ini menurut teori Ivan Paplov (1977) secara tidak langsung memberi rangsangan (stimuli) pada santri untuk berpegang secara teguh pada kitab kuning, yang pada titik kulminasinya nanti sifat fanatisme (ta'assub) yang selama ini diwanti-wanti oleh banyak pengamat tidak mustahil akan terjadi.


Hal di atas lebih diperparah oleh keputusan NU yang mengeluarkan standarisasi kitab kuning, yaitu kitab-kitab yang mu'tabar (diakui keabsahannya dikarenakan telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah di tetapkan) dalam hal ini sebagai catatan kitab-kitab Ibnu Taymiyah dianggap tidak mu'tabar dikarekan kenyelenahan-kenylenehan pendapatnya, hal tersebut terbukti sebagaimana diungkapkan KH Sahal Mahfudz dalam pengantar buku kumpulan hasil bahstul masa'il yang berjudul Ahkamul Fuqoha' beliau megatakan bahwa beliau dalam sebuah munas ditolak pendapatnya hanya karena berpijak pada pandangan Ibnu Taymiyyah, bukankah pepatah Arab secara retoris mengatakan hud ma shafaa watruk ma qadzara?, ambillah yang baik serta campakkan sisi buruknya. Artinya kita diajak untuk lebih bersifat objektif walupun subyektifitas yang menyangkut kredibilitas seseorang suatu waktu juga dianggap penting. Di sampng itu bukankah Sayyidina Ali R.A juga pernah berkata undzur ila ma qaala wala tandzur ila man qaala. Lihatlah apa yang dikatakan bukan siapanya yang berkata.


Famatisme berkitab kuning setidaknya telah menaungi hampir setiap alur pikiran santri. Bukankah as-Syafi'i sendiri sebagimana diceritakan oleh al-Muzani dalam mukaddimah Mukhtasarnya mengatakan bahwa beliau menulis bukan untuk diikuti pendapat-pendapatnya? Akan tetapi hanya sebagai sebatas bandingan pemahaman? (al-Muzani :1977) Selain itu bukankah Abu Hanifah mengatakah bahwa aku laki-laki dan mereka (para ulama' terdahulu) juga laki-laki? Penghargaan, apresiasi terhadap ulama' dan para sarjana Islam terdahulu bukan terletak pada hanya sebatas pencomotan pemahaman an sich, taken for granted akan tetapi lebih dari itu kita harus mampu mengelaborsikannya dengan temuan-temuan mutakhir yang berserakan di pelbagai buku yang "kurang kuning" atau bahkan "tidak kuning" sama sekali.


Dengan hal itu universalisme Islam akan terjaga, karena menurut Dr Abu Yasid universalisme Islam terletak pada kemampuannya menjawab tantangan zaman. (Abu Yasid:2006). Lebih jauh dari itu Prof A Zahro dalam kuliahnya di IAIN Sunan Ampel mengatakan bahwa kegiatan intelektual ulama, zaman dahulu dalam hal ini yang dimaksud adalah lebih kepada pembukuan karya adalah hanya sebatas hasil halaqah yang dibukukan, kumpulan fatwa yang dibingkai dan dikumpulkan misalnya. dan kalau memang itu yang terjadi bukankah Ibnu Hazm jauh-jauh hari sudah pernah berkata bahwa taghayyurul ahkan ma'a taghayyurul amkan wal azminah? Perubahan hukum bisa terjadi dikarenakan berubahnya situasi dan kondisi? Hal itu terbukti dengan qaul qadim dam qaul jadidnya Imam Syafi'i.


Bahkan lebih jauh dalam menyiakapi perubahan ini Prof A. Zahro mengatakan dalam bukunya Tradisi Intelektual NU bahwa dikalangan para ahli terdapat suatu konvensi (kesepakatan tak tertulis) bahwa suatu pendapat terlebih fatwa paling bagus hanya mampu bertahan lima tahun, bahkan jika pendapat itu mampu bertahan dua tahun saja sudah sianggap bagus.(A. Zahro: 2006) Hal inilah yang perlu dipegangi oleh para santri karena yang biasanya kurang dipahami kaum santri adalah dalam khazanah intelektual, dalam tradisi kesarjanaan ada yang dinamakan dengan (disending opinion) sangkalan atau revisi terhadap pendapat sebelumnya berdasarkan temuan-temuan terbaru tentunya.


Oleh karena itu, sudah saatnya kita -"kaum sarungan"- membuka mata, berlapang dada sembari mendinginkan kepala dengan sportif mengakui kesalahan kita selama ini, fanatisme kita serlama ini. Kitab adalah terminologi bahasa Arab yang berarti buku, jadi kitab tak lebih hanyalah sama dengan buku-buku yang berbahasa Indonesia sering kita jumpai di toko-toko buku. Novel Ayat-Ayat Cintanya Habiburrahman el-Syirazi yang in beberapa tahun lalu itu misalnya sama dengan kitab alfu lail wal lailah yang sangat picisan itu. Karena banyak santri menyangka bahwa buku yang berbahasa Arab baik itu karya ilmiah maupun novel mempunyai kedudukan setingkat di atas buku-buku yang berbahasa Indonesia. Bahkan ada sebagai santri yang mengatakan kalau tidak memakai rujukan kitab yang berbahsa arab (kuning) tidak mantap, nek gak arab gak mantep. Wallahu a'lam. []



*Alumnus PP. Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, Peneliti di LP3M Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar