Empat Putra Petir
untuk Alm. Prof. Widjajono
Oleh: Dahlan Iskan
Senin, 23 April 2012,
06:40 WIB
Saya terkesan dengan
logika berpikir Prof. Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri ESDM yang baru saja
meninggal dunia di pendakiannya ke Gunung Tambora Nusa Tenggara Barat, Sabtu
lalu: kurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM).
Kalau sudah tahu
bahwa produksi minyak kita terus menurun, kemampuan kita membangun kilang juga
terbatas, dan pertambahan kendaraan tidak bisa dicegah, mengapa kita terus
mempertahankan pemakaian BBM?
Almarhum sering
sekali mengajak saya berbicara soal itu. Almarhum merasa perdebatan soal BBM
yang riuh-rendah selama ini sangat tidak mendasar. Tidak menyelesaikan akar
persoalan. Hanya menimbulkan huru-hara politik. Saya sangat setuju dengan
konsep almarhum untuk semakin beralih ke gas. Hanya saja memang diperlukan
upaya yang ekstra keras untuk mengalihkan kebiasaan menggunakan BBM ke bahan
bakar gas (BBG).
Almarhum juga sangat
setuju mobil listrik nasional diperjuangkan. Bahkan almarhum mengatakan BBM
harus dikeroyok ramai-ramai dari segala jurusan. Terutama dari jurusan gas dan
dari jurusan listrik. Tanpa usaha yang keras dari dua jurusan itu akan terus
timbul kesan di masyarakat bahwa pemerintah, khususnya Pertamina, sengaja lebih
menyukai impor BBM.
Pertamina dikesankan
lebih senang impor BBM karena bisa menjadi objek korupsi dan kolusi. Istilah
mafia impor BBM begitu gencarnya ditudingkan--entah seperti apa wujud mafia
itu.
Seserius-seriusnya
Pertamina berupaya memberantas korupsi, tuduhan itu akan terus berlangsung.
Apalagi, kenyataannya, impor BBM-nya memang terus meningkat.
Tidak mungkinkah kita
berhenti impor BBM? Tentu saja bisa. Tapi syaratnya berat sekali: kita harus
memiliki kilang yang cukup. Minyak mentah itu baru bisa jadi BBM kalau sudah
diolah di kilang. Kebutuhan BBM kita sekarang ini sekitar 50 juta
kiloliter/tahun. Sedang kilang kita sendiri hanya bisa memproduksi BBM kurang
dari separonya.
Kalau kita
menghendaki tidak mau impor BBM lagi, kita harus membangun kilang baru sebanyak
dan sebesar yang telah ada sekarang. Saat ini kita punya tujuh kilang minyak:
Pangkalan Brandan, Dumai, Musi, Cilacap, Balikpapan, Kasim, dan Balongan. Total
kapasitas produksi BBM-nya kurang dari 25 juta kiloliter/tahun.
Di sinilah pokok
persoalannya. Mampukah kita membangun sekaligus kilang-kilang baru sebanyak
kekurangannya itu?
Sejak 15 tahun lalu,
kita memang tidak pernah punya kemampuan membangun kilang baru. Kilang terbaru
kita umurnya sudah 18 tahun. Yakni kilang Balongan, Jabar, yang dibangun oleh
Presiden Soeharto di tahun 1994. Presiden-presiden berikutnya tidak sempat
memikirkan pembangunan kilang baru. Padahal jumlah kendaraan terus bertambah.
Akibatnya impor BBM tidak bisa dihindarkan. Bahkan terus meningkat.
Baru tahun lalu
Presiden SBY memutuskan membangun kilang tambahan di Cilacap. Tahun ini
Presiden SBY juga sudah memutuskan membangun dua kilang lagi. Tapi Pertamina
tidak mungkin membiayai pembangunan kilang-kilang itu sendirian. Sebuah kilang
dengan kapasitas 300 ribu barel, memerlukan biaya investasi sampai Rp70
triliun. Bayangkan kalau harus membangun tiga kilang sekaligus.
Pertamina harus
menggandeng investor. Mencari investor pun tidak mudah. Di samping biayanya
sangat besar, masih ada kesulitan lain: sebuah kilang, baru bisa dibangun
manakala sudah diketahui jenis minyak mentah seperti apa yang akan diproses di
situ. Beda jenis minyak mentahnya, beda pula desain teknologinya.
Para pemilik minyak
mentah tahu posisi strategisnya itu. Mereka bisa mendikte banyak hal: mendikte
harga dan mendikte pasokan. Investor kilang yang ingin masuk ke Indonesia,
misalnya, meminta berbagai syarat yang luar biasa beratnya: tanahnya seluas 600
ha harus gratis, pemerintah harus menjamin macam-macam, dan pajaknya minta
dibebaskan dalam masa yang sangat panjang.
Kalau dalam masa
pemerintahan Presiden SBY ini berhasil membangun tiga proyek kilang sekaligus,
tentu ini sebuah warisan yang sangat berharga. Saya sebut warisan karena bukan
Presiden SBY yang akan menikmati hasilnya, tapi pemerintahan-pemerintahan berikutnya.
Dari gambaran itu,
jelaslah bahwa sampai lima tahun ke depan impor BBM kita masih akan terus
meningkat. Kecuali ide almarhum soal konversi ke gas itu berhasil dilakukan dan
mobil listrik nasional berhasil dimassalkan. Kilang-kilang baru itu, seandainya
pun berhasil dibangun, baru akan menghasilkan BBM di tahun 2018.
Kita tahu persis apa
yang terjadi dalam lima tahun ke depan. Saat kilang-kilang itu nanti mulai
berproduksi kebutuhan BBM sudah naik lagi entah berapa puluh juta kiloliter
lagi. Berarti, impor lagi. Impor lagi.
Di sinilah Prof.
Widjajono geram. Kenaikan harga BBM, menurut Beliau, seharusnya juga dilihat
dari aspek pengendalian impor ini. Yang tidak menyetujui kenaikan harga BBM,
menurut Beliau, pada dasarnya sama saja dengan menganjurkan impor BBM
sebanyak-banyaknya!
Kalau Prof. Widjajono
sering mengajak saya bicara soal konversi gas, saya sering mengajak bicara
Beliau soal mobil listrik nasional. Termasuk perkembangan terakhirnya. Saya
tahu konversi gas memang bisa dilakukan lebih cepat dari mobil listrik
nasional. Namun kami sepakat dua-duanya harus dijalankan. Kami juga sepakat
bahwa upaya ini tidak mudah, tapi pasti berhasil kalau dilakukan dengan
semangat Angkatan 45.
Saya bersyukur sempat
menginformasikan perkembangan terakhir mobil listrik nasional. Ribuan email dan
SMS mendukung dengan gegap-gempita kehadiran mobil listrik nasional itu. Dan
yang secara serius mengajukan konsep, desain, dan siap memproduksinya ada empat
orang.
Saya sudah melakukan
kontak intensif dengan empat orang tersebut. Saya juga sudah membuat grup email
bersama di antara empat orang tersebut. Kami bisa melakukan rapat jarak-jauh
membicarakan program-program ke depan. Tanggal 21 April kemarin, kami
menyelenggarakan rapat sesuai dengan program semula, meskipun rapat itu
berlangsung di dunia maya.
Empat orang tersebut
adalah orang-orang muda yang luar biasa.
Ada nama Mario
Rivaldi. Dia kelahiran Bandung, pernah kuliah di ITB, kemudian mendapat bea
siswa kuliah di Jerman. Mario bahkan sudah melahirkan prototype sepeda motor
listrik dan mobil listrik. Saya sudah pernah mencobanya di Cimahi. Mario sangat
siap memproduksi mobil listrik nasional. Selama ujicoba itu tiga tahun
terakhir, Mario bekerjasama dengan LIPI dan ITB.
Ada nama Dasep Ahmadi
yang juga kelahiran Tanah Sunda. Dasep lulusan ITB (Teknik Mesin), yang
kemudian sekolah di Jepang. Dasep pernah bekerja lama di industri mobil
sehingga tahu persis soal permobilan. Kini Dasep mengembangkan industri mesin
presisi dan memasok mesin-mesin untuk industri mobil. Dasep sangat siap
melahirkan prototype mobil listrik nasional dalam dua bulan ke depan. Saat ini
Dasep sedang mengerjakan mobil-mobil itu.
Ada nama Ravi Desai.
Anak muda ini lahir di Gujarat, tapi sudah lama menjadi warga negara Indonesia.
Dia lulusan universitas di India dan kini menekuni banyak bidang inovasi. Dia
mendirikan D Innovation Center dengan fokus ke energi. Ravi juga menekuni DC
dan AC drive dan sudah memasarkannya sampai ke luar negeri. Saat ini Ravi
sedang mengerjakan dua contoh mobil listrik nasional dan sudah akan selesai
dalam dua bulan mendatang.
Ada pula nama Danet
Suryatama. Anak Pacitan ini setelah lulus ITS melanjutkan kuliah di Michigan,
AS. Danet kemudian bekerja di bagian teknik pabrik mobil besar di Amerika
Setikat, Chrysler, selama 10 tahun. Danet sangat siap memproduksi mobil listrik
nasional. Saat ini, sambil mondar-mandir Amerika-Indonesia, Danet sedang
menyelesaikan contoh mobil listrik nasional yang juga siap dikendarai dalam dua
bulan ke depan.
Tentu saya bisa
salah. Lantaran email yang masuk jumlahnya ribuan, mungkin saja ada nama-nama
lain yang tidak kalah hebat dan siapnya namun terlewat dari mata saya. Untuk
itu saya siap menerima koreksi dan nama susulan.
Kepada keempat orang
itu saya juga sudah informasikan betapa besar perhatian Presiden SBY pada
perencanaan mobil listrik nasional ini. Saya juga kemukakan suasana pertemuan
antara Presiden SBY dan empat rektor perguruan tinggi terkemuka (ITB, UGM, UI,
dan ITS) yang penuh dengan semangat.
Waktu itu para rektor
menyatakan sangat mendukung kelahiran mobil listrik nasional ini dan memang
sudah waktunya dilahirkan. Para rektor juga mengemukakan masing-masing
perguruan tinggi mereka siap memberikan dukungan apa saja.
Sebenarnya saya ingin
menghadirkan Prof. Widjajono dalam pertemuan dengan empat putra petir itu dalam
waktu dekat. Tapi Prof. Widjajono lebih dulu meninggalkan kita. Meski begitu
Prof., saya berjanji kepada Profesor akan tetap meng-emailkan hasil pertemuan
dengan empat putra petir itu ke alamat email Anda yang pernah Anda berikan
kepada saya. Saya juga berjanji akan mengirimkan foto-foto mobil listrik
nasional itu nanti ke alamat email Anda. []
*Dahlan Iskan,
Menteri Negara BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar