Membangun Masyarakat Qurani
Oleh: KH A Hasyim Muzadi
Kelebihan dalam ibadah Ramadan adalah
terkondisikannya masyarakat untuk terbiasa membangun perilaku sehat dan
memperbanyak kebajikan dengan terus-menerus mencoba mempraktikkan nilai-nilai
Alquran dalam kehidupan. Umat menjadi termotivasi dan penuh gairah untuk
membaca Alquran, karena membacanya sudah mendapatkan pahala yang berkali lipat.
Bahkan, sudah mulai banyak kesadaran di
kalangan umat untuk mengkaji Alquran sebagai padanan atau bahkan menjadikan roh
bagi peradaban sains modern. Sebagaimana kita ketahui bersama, peradaban dunia
sekarang adalah peradaban yang dibangun di atas fondasi sains modern.
Peradaban sains modern adalah sebuah
peradaban yang bersandar pada paradigma positivisme, yaitu sebuah bangunan ilmu
pengetahuan yang didasarkan pada setidaknya tiga aspek; (1) dapat diamati
(observable), (2) dapat diukur (measurable), dan (3) dapat dibuktikan
(verifiable). Sebenarnya, spirit sains modern ini tidak bertentangan dengan
Islam; dengan alasanalasan sebagai berikut:
Pertama, wahyu pertama yang diterima Nabi
Muhammad Saw adalah lima ayat QS Al-Alaq yang turun pada malam ke-16 Ramadan di
Gua Hira saat usia Nabi mencapai 40 tahun, intinya adalah ‘iqra’ membaca. Dalam
semangat sekarang adalah mengamati atau meneliti.
Kedua, konsep manusia berdasarkan Alquran
adalah sebagai khalifah. Maka untuk menjadi khalifah, ia harus punya instrumen
yaitu ilmu untuk menguasai bumi, memakmurkan, dan memeliharanya.
Ketiga, banyak sekali ayat Alquran yang
menganjurkan agar berpikir, merenungkan, mengamati, dan mengevaluasi.
Keempat, cara Nabi Ibrahim mencari Tuhannya
dimulai dengan konsep ilmu, yaitu bertanya (curiosity), melalui melihat bulan,
matahari, dan sebagainya, yang akhirnya pada suatu kesimpulan bahwa Tuhannya
adalah Allah Swt. Lalu, apa yang salah dengan sains modern, bagi umat Islam?
Yang salah adalah pada motifnya atau niatnya.
Dengan demikian, sains modern itu netral, tergantung niatnya. Bagi orang Barat,
sains modern adalah objek sekaligus sebagai tujuan dari peradaban itu sendiri.
Sedangkan bagi umat Islam, sains itu tidak lain adalah sebagai alat atau
instrumen manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk mencari rida Allah Swt.
Di dalam Alquran dijelaskan bahwa pekerjaan
berpikir itu adalah ibadah, yaitu untuk mengingat Allah (dzikrullah), bahwa
segala sesuatu yang ada di alam jagat raya ini harus diteliti, diamati, atau
dievaluasi untuk kebaikan manusia. Sebab, di sisi Allah tidak ada yang sia-sia
dalam penciptaan langit dan bumi ini. Firman Allah dalam QS Al-Imron: 191;
Artinya: Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi,
(seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Islam juga
sangat memuliakan orang yang berilmu, bahkan orang berilmu akan diberi derajat
oleh Allah dalam beberapa derajat. Allah juga akan membedakan antara orang yang
berilmu dan tidak.
Demikianlah Islam dan masyarakat Qurani
sangat apresiatif sekali dengan peradaban sains. Lalu, bagaimanakah kita
membangun masyarakat Qurani di tengah- tengah peradaban modern sekarang ini.
Jawabannya adalah Islam akomodatif terhadap peradaban modern, tetapi Islam
menganggap sains modern hanya sebagai alat atau instrumen bukan tujuan.
Bagi umat Islam, tujuan menguasai sains tidak
lain adalah mencari rida Allah dalam rangka sebagai khalifah di muka bumi ini.
Kalau sains dianggap sebagai tujuan, manusia akan tergelincir pada tindakan
syirik, menuhankan sains.
Karena itu, bagi mereka yang tidak beriman,
tetapi menguasai sains, banyak yang hidupnya tidak tenteram, bahkan banyak di
antara para penemu sains itu hidupnya tidak bahagia pada akhirnya, mati bunuh
diri, menderita, bahkan mati di tiang gantungan.(*)
Presiden World Conference of Religions for
Peace (WCRP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar