Kamis, 26 April 2012

(Ngaji of the Day) Membangun Masyarakat Qurani


Membangun Masyarakat Qurani

Oleh: KH A Hasyim Muzadi



Kelebihan dalam ibadah Ramadan adalah terkondisikannya masyarakat untuk terbiasa membangun perilaku sehat dan memperbanyak kebajikan dengan terus-menerus mencoba mempraktikkan nilai-nilai Alquran dalam kehidupan. Umat menjadi termotivasi dan penuh gairah untuk membaca Alquran, karena membacanya sudah mendapatkan pahala yang berkali lipat.



Bahkan, sudah mulai banyak kesadaran di kalangan umat untuk mengkaji Alquran sebagai padanan atau bahkan menjadikan roh bagi peradaban sains modern. Sebagaimana kita ketahui bersama, peradaban dunia sekarang adalah peradaban yang dibangun di atas fondasi sains modern.



Peradaban sains modern adalah sebuah peradaban yang bersandar pada paradigma positivisme, yaitu sebuah bangunan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada setidaknya tiga aspek; (1) dapat diamati (observable), (2) dapat diukur (measurable), dan (3) dapat dibuktikan (verifiable). Sebenarnya, spirit sains modern ini tidak bertentangan dengan Islam; dengan alasanalasan sebagai berikut:



Pertama, wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw adalah lima ayat QS Al-Alaq yang turun pada malam ke-16 Ramadan di Gua Hira saat usia Nabi mencapai 40 tahun, intinya adalah ‘iqra’ membaca. Dalam semangat sekarang adalah mengamati atau meneliti.



Kedua, konsep manusia berdasarkan Alquran adalah sebagai khalifah. Maka untuk menjadi khalifah, ia harus punya instrumen yaitu ilmu untuk menguasai bumi, memakmurkan, dan memeliharanya.



Ketiga, banyak sekali ayat Alquran yang menganjurkan agar berpikir, merenungkan, mengamati, dan mengevaluasi.



Keempat, cara Nabi Ibrahim mencari Tuhannya dimulai dengan konsep ilmu, yaitu bertanya (curiosity), melalui melihat bulan, matahari, dan sebagainya, yang akhirnya pada suatu kesimpulan bahwa Tuhannya adalah Allah Swt. Lalu, apa yang salah dengan sains modern, bagi umat Islam?



Yang salah adalah pada motifnya atau niatnya. Dengan demikian, sains modern itu netral, tergantung niatnya. Bagi orang Barat, sains modern adalah objek sekaligus sebagai tujuan dari peradaban itu sendiri. Sedangkan bagi umat Islam, sains itu tidak lain adalah sebagai alat atau instrumen manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk mencari rida Allah Swt.



Di dalam Alquran dijelaskan bahwa pekerjaan berpikir itu adalah ibadah, yaitu untuk mengingat Allah (dzikrullah), bahwa segala sesuatu yang ada di alam jagat raya ini harus diteliti, diamati, atau dievaluasi untuk kebaikan manusia. Sebab, di sisi Allah tidak ada yang sia-sia dalam penciptaan langit dan bumi ini. Firman Allah dalam QS Al-Imron: 191; Artinya: Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Islam juga sangat memuliakan orang yang berilmu, bahkan orang berilmu akan diberi derajat oleh Allah dalam beberapa derajat. Allah juga akan membedakan antara orang yang berilmu dan tidak.



Demikianlah Islam dan masyarakat Qurani sangat apresiatif sekali dengan peradaban sains. Lalu, bagaimanakah kita membangun masyarakat Qurani di tengah- tengah peradaban modern sekarang ini. Jawabannya adalah Islam akomodatif terhadap peradaban modern, tetapi Islam menganggap sains modern hanya sebagai alat atau instrumen bukan tujuan.



Bagi umat Islam, tujuan menguasai sains tidak lain adalah mencari rida Allah dalam rangka sebagai khalifah di muka bumi ini. Kalau sains dianggap sebagai tujuan, manusia akan tergelincir pada tindakan syirik, menuhankan sains.



Karena itu, bagi mereka yang tidak beriman, tetapi menguasai sains, banyak yang hidupnya tidak tenteram, bahkan banyak di antara para penemu sains itu hidupnya tidak bahagia pada akhirnya, mati bunuh diri, menderita, bahkan mati di tiang gantungan.(*)



Presiden World Conference of Religions for Peace (WCRP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar