Senin, 30 April 2012
(Buku of the Day) Keteladanan KHR. Ahmad Fawaid As'ad
Sang Guru Pesantren dari Situbondo
Senin, 23/04/2012 11:11
Judul : Keteladanan KHR. Ahmad Fawaid As’ad
Penulis : KH. Muhyiddin Abdusshomad
Editor : Suparman
Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, April 2012
Tebal : xi+ 46 hlm.
Peresensi : Ach. Tirmidzi Munahwan*
Akan datang kehancuran yang melanda bumi ini, yaitu ketika Allah mencabut ilmunya dari muka bumi ini. Allah mencabut ilmu bukan menghilangkan pengetatahuan, bukan pula melenyapkan ilmu pengetahuan. Tapi, dengan cara mengambil (meninggalnya) orang-orang yang berilmu. Maka, bumi ini tidak akan dipimpin oleh orang-orang yang berilmu dan dikuasai oleh orang-orang bodoh.
Ulama ialah orang yang menguasai ilmu agama. Orang yang menyerukan kepada umatnya untuk berbuat amar makruf nahi mungkar. Jika bumi ini telah kehilangan ulama, maka segera keburukan akan merajalela dan hanya tinggal menunggu waktu untuk sebuah kehancuran.
Di awal tahun 2012 di pulau Jawa telah kehilangan empat ulama yaitu KH Munif Djazuli wafat (Ploso), KH Imam Yahya Mahrus (Lirboyo, KH. Abdullah Faqih (Langitan) dan KHR. Ahmad Fawaid As’ad salah satu putra dari Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Almagfurlah KHR. As’ad Syamsul Arifin dan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus Situbondo. Innalillahi wainna ilahi raji’un (seungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali). Semoga Allah mengampuni, mengasihi, melindungi, dan memaafkan beliau. Dan semoga Allah memberi kita kekuatan untuk meneladani, melanjutkan apa yang selama ini diperjuangkan oleh kedua ulama besar tersebut.
KHR. Fawaid As’ad adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo generasi ketiga. Sebagai penerus beliau telah mampu membuktikan bahwa beliau tidak hanya mampu melanjutkan, tetapi juga bisa mampu mengembangkan serta melakukan inovasi dengan terobosan baru sehingga pesantren Salafiyah Syafi’iyah bisa berkembang pesat dengan memadukan pesantren salaf dan modern. Pesantren ini didirikan pada tahun 1914 oleh KH. Syamsul Arifin (kakek Kiai Fawaid). Dan saat ini santrinya diperkirakan 13.000 santri dari berbagai daerah bahkan diantaranya bersal dari Malaysia dan Brunei Darussalam.
Kepergian KHR. Ahmad Fawaid As’ad pada hari Jumat 9 Maret 2012, jam 12.15 di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya telah mengisahkan duka yang mendalam, tidak hanya bagi keluarga dilingkungan pesantren tetapi juga masyarakat luar yang menghormati dan mencintai sepenuh hati. KHR. Ahmad Fawaid A’ad sebagai seorang pengasuh pondok pesantren yang besar di daerah ujung timur pulau jawa, mempunyai banyak aktivitas padat yaitu salalu meluangkan waktunya melakukan rapat langsung dengan para pengurus pondok, sehingga menimalisir jarak sosial antara kiai dan santrinya.
Kiai Fawaid juga berupaya meningkatkan taraf hidup penduduk dilingkungan pesantren dengan melibatkan mereka untuk memenuhi kebutuhan para santri. Sehingga penduduk merasakan dampak positif tidak hanya segi spiritual tapi juga taraf hidup mereka yang lebih baik. Kepedulian sosial beliau terhadap masyarakat luar biasa dan tak diragukan lagi, bahkan beberapa hari sebelum meninggal beliau masih sempat memberikan santunan kepada 500 anak yatim dan fakir mikin masing-masing berjumlah Rp. 500.0000 (hal.13).
Tentu menyadari sebagai ulama, Kiai Fawaid hidupnya didunia tidak akan lama lagi, meski tidak tahu pasti kapan ia akan dipanggil oleh Allah. Namun, beliau telah mempersiapkan penerusnya sebagai pengasuh pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah, yaitu menunjuk Gus Ahmad Azaim Ibrahimi putra pasangan KH. Dhafir Munawar dan Nyai Hj. Zainiyah As’ad. Sehingga kepergiannya yang secara tiba-tiba kembali ke Rahmatullah, tidak menjadikan pesantren kalang kabut, tapi tetap tegak berdiri meski telah kehilangan pengasuhnya. Kiai Fawaid telah mempersipakan sistem dan pengelolaan yang matang untuk masa depan pesantren.
Buku ini menyajikan tentang beberapa prilaku KHR. Ahmad Fawaid As’ad yang patut diteladani oleh para generasi muda, santri, khususnya para pengasuh pesantren. Istiqamah membaca al-Qur’an, shalat berjama’ah setiap hari dalam kondisi apapun adalah amaliah yang tidak pernah ditinggalkannya. Bahkan dalam melakukan perjalanan, Kiai Fawaid selalu membaca al-Qur’an. Jadi tidak heran jika dalam satu minggu Kiai Fawaid selalu menghatamkan al-Qur’an minimal satu kali.
Walaupun buku ini amat sangat tipis dan sederhana, namun bisa sebagai pegangan untuk mengetahui sifat-sifat yang patut diteladani, dan bisa dijadikan refrensi bagi orang yang tertarik menulis biografi Kiai Fawaid secara umum. Buku kecil ini, ditulis oleh Kiai Muhyiddin Abdusshomad yang produktif menulis, juga dilengkapi dali-dalil penyelengaraan tahlil sekaligus teks tahlilnya yang biasa dibaca di pondok pesantren Salafiyah Syaf’iyah. Agar pengamal tahlil tidak ada keraguan dalam melaksanakan tradisi agung warisan ulama salaf ini. Wallahu a’lam.
*Peresensi adalah Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi
(Ngaji of the Day) Memperbarui Nisan di Kuburan Umum
Memperbarui Nisan di
Kuburan Umum
Islam sebagai agama tidak hanya melulu
mengajarkan berbagai hal yang bersifat ketuhanan (hablum minallah) yang
menggambarkan relasi antara Allah sebagai Khaliq dan Manusia sebagai Makhluq.
Tetapi juga masalah social (hablum minan nas), yang erat hubungannya dengan
haqqul adami. Termasuk di dalamnya adalah tata cara merawat dan menggunakan
tanah kuburan milik umum yang luasnya sangat terbatas sekali.
Hal ini sering kali di salah fahami oleh
sebagian masyarakat. Mereka menganggap bahwa tanah kuburan milik umum yang di
dalamnya terpendam jasad keluarganya, seringkali disalah artikan sebagai tanah
milik keluarga. Entah karena merasa membayar ketika mengkuburkan atau karena
tradisi yang berlaku di lingkungan masyarakat atau karena alasan lain. Oleh
karena itu, seringkali ditemukan usaha untuk merenovasi (memperbaiki) batu
nisan dan kijingnya ketika dianggap telah rusak atau usang. Seolah mereka lupa
bahwa tanah kuburan itu adalah milik umum. Dan renovasi itu sebenarnya dapat
menghalangi orang lain untuk menyemayamkan mayat di kuburan tersebut. Minimal
mengurangi kesempatan orang lain memanfaatkan luas kuburan umum yang terbatas
itu. Dengan kata lain, perwujudan batu nisan dan kijing yang permanen itu
terlalu banyak memanfaatkan fasilitas umum.
Oleh karena itu wajar bila seorang kyai
berwasiat pada anak cucunya, supaya kelak ketika mati dikubur di tempat umum
tanpa menggunakan batu nisan apalagi kijing permanen. Baiknya kuburan itu
ditandai saja dengan kayu supaya cepat rusak dan hilang di makan waktu. Agar
kuburannya itu itu dapat digunakan untuk mengkubur orang lain lain lagi. Dengan
demikian kyai itu tidak merasa mengambil atau menggunakan fasilitas umum dalam
jangka waktu yang cukup lama. Pertanyaan yang muncuk kemudian, babagaimana
hukumnya memperbaharui nisan dan kijingnya dalam tanah kuburan umum?
Mengenai hal ini, Syamsudin ar-Ramli dalam
Nihayatul Muhtaj dan juga Syikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Fathul Wahab
menerangkan bahwa, segala upaya yang dianggap menghalangi pemanfaatan fasilitas
umum di larang oleh agama. Dalam hal ini, haram hukumnya memperbarui ataupun
membuat perangkat kuburan yang permanen, karena dapat menghalangi orang lain
mengkuburkan jenazah. Dengan catatan mayat yang ada dalam kubur itu telah
rusak. Para ahli berpendapat bahwa sebuah mayat dapat bertahan hingga 15 tahun
hingga 25 tahun. Ada pula yang bertahan hingga 70 tahun, perbedaan ini
berdasarkan pada perbedaan iklim suatu daerah tertentu.
Adapun keterangan dalam kitab Nihyatul Muhtaj adalah sebagai berikut:
أَمَّا
بَعْدَ الْبَلاَءِ عِنْدَ مَنْ مَرَّأَي مِنْ أَهْلِ الْخِبْرَةِ فَلاَ يَحْرُمُ
النَّبْشُ بَلْ تَحْرُمُ أَمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ تُرَابٍ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ
فِي مَقْبَرَةٍ مُسَبَّلَةٍ لإِمْتِنَاعِ النَّاسِ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ
لِظَنِّهِم بِهِ عَدَمَ الْبَلِى.
“Adapun jenazah yang sudah hancur sesuai
dengan perkiraan para ahli yang sudah berpengalaman tidak diharamkan untuk
digali kembali, bahkan diharamkan membangun bangunan dan meratakan (mengecor)
tanah di atasnya jika berada di kuburan yang landai, karena itu bisa
menghalangi orang lain untuk menguburkan (jenazah lain), karena mereka
menyangka (jenazah yang pertama) belum hancur”. (Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul
Muhtaj, (Mesir: Matba’ah Musthafa al-Halabi, 1357 H/1938 M), Jilid III, h. 40)
Adapun ibaroh dalam Fathul Wahhab adalah sebagai berikut:
أَمَّا بَعْدَ الْبَلِى فَلاَ يَحْرُمُ نَبْشُهُ أَي الْمَيِّتِ بَلْ تَحْرُمُ عِمَارَتُهُ وَ تَسْوِيَةُ التُّرَابِ عَلَيْهِ لِئَلاَّ يَمْتَنِعَ النَّاسُ مِنَ الدَّفْنِ فِيْهِ لِظَنِّهِمْ عَدَمَ الْبَلِيِّ.
“Sedangkan jenazah yang telah hancur maka tidak haram digali, bahkan yang diharamkan adalah membangun, meratakan (mengecor) tanah di atasnya agar tidak menghalangi orang lain menguburkan (jenazah lain) karena menyangka (jenazah yang semula) belum hancur” (Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, (Beirut: Maktabah Darul Fikr, 1422 H/2002 M), Juz I, h. 118.)
Sumber: Ahkamul Fuqaha, Sekretariat PBNU,
Jakarta, 2010
(Do'a of the Day) 08 Jumadil Akhir 1433H
Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most
Gracious, The Most Kind
Alhamdu lillaahilladzii kafaanaa wa arwaanaa ghaira makfiiyyin wa laa makfuurin.
Segala
puji bagi Allah yang telah mencukupkan kepada kami dan telah memuaskan dahaga
kami tanpa tuangan bejana sekalipun dan tanpa ingkar nikmat.
Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian
12, Bab 14.
Jumat, 27 April 2012
Menemani Kelapangan
Sebatang
kara berdiri tegak, menemani kelapangan dan kehangatan. Mudah-mudahan tidak
bersegera berubah menjadi beton yang jantan, namun entah akan kuat sampai
kapan.
(Masjid of the Day) Padanan Reliji dan Budaya yang Indah di Mesjid Ageng Karaton Surakarta Hadiningrat
Meneruskan kabar perjalanan dari Ust.
Bandhi Mulyanto, ST., MM., MSc., yang bersama keluarga besarnya berkesempatan
menikmati peninggalan budaya bangsa yang berbalut reliji nusantara yang indah.
Mesjid Ageng Karaton Surakarta Hadiningrat. Sebuah bangunan yang telah berusia
ratusan tahun yang masih terawat terjaga dengan luar biasa.
![]() |
selamat datang di kagungan dalem, mesjid
ageng karaton surakarta hadiningrat.
|
![]() |
anda
akan selalu disambut oleh menara dengan rasa yang khas, sebagai perwakilan
senyum manis warga di sana.
|
![]() |
lihatlah
halaman pelatarannya, luas dan bersih dengan aroma keraton masa lalu.
|
![]() |
dan
juga sebuah gerbang dengan ukiran yang antik.
|
![]() |
kayu2
penyangga berusia sama tua dengan seluruh bangunannya, namun masih kuat dan
kokoh luar biasa.
|
![]() |
masuklah
lebih dalam, dan rasakan kesejukannya.
|
![]() |
dan... tidak
ketinggalan, sebuah bedug raksasa sebagai ciri khas islam nusantara jaya raya.
Ah, Surakarta Hadiningrat. Kekayaan budaya
dan reliji-mu sungguh luar biasa.
|
(Khotbah of the Day) Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mencetak Generasi Islami
Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mencetak
Generasi Islami
Oleh : KH Fatkhurrahman
اَلْحَمْدُ
للهِ الَّذِيْ نَوَّرَ قُلُوْبَنَا بِاْلهُدَى وَالأَوْلاَدِ وَاَّلذِيْ
أَرْحَمَنَا بِاْلمَغْفِرَةِ وَاْلأَبْنَاءِ ، أَشْهَدُ أنْ لاإلهَ إلاّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَسُبْحَانَ الَّذِيْ أَفْضَلَنَا عَلىَ سَائِرِ
مَخْلُوْقَاتِهِ ، وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ أُرْسِلَ
إلَى جَمِيْعِ أُمَّتِهِ ، أللّهُمَّ صَلِّي وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ
وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَامُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يَتَمَسَّكُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَدِيْنِهِ ، أمَّا
بَعْدُ : فَيَا عِبَادَ اللهِ اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوْتُنَّ
اِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اْلأَوْلاَدَ رَعِيَّةُ كُلِّ
اْلأبَاَءِ وَاْلأُمَّهَاتِ وَأَمَانَاتٌ لِكُلِّ اْلمُجْتَمَعِ ، وَأَكْبَرْ
اْلأَمَانَاتِ مِنَ اللهِ مَا عِنْدَكُمْ مِنَ الْأوْلاَدِ واْلأحْفَادِ ،
فَأََحْسِّنُوْا تَرْبِيَتَهُمْ وَهَذِّبُوْا أخْلَاقَهُمْ وَعَلِّمُوْا بِمَا
يَنْفَعُوْنَ بِهِ فِيْ دِيْنِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ وَآخِرَتِهِمْ
قَالَ اللهُ
تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلكَرِيْمِ : ِللهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ
يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ ِلمَنْ يَشَاءُ إنَاثاً وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ
الذُّكُوْرَ ، أوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ
عَقِيْمًا إنَّهْ عَلِيْمٌ قَدِيْرٌ ، وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهٌ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلىَ اْلفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِ أوْ يُنَصِّرَانِ أوْ يُمَجُّسَانِ ، وَقَالَ أَيْضًا : كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Hadirin Sidang Jum’at Rokhimakumullah
Pada Khutbah ini, saya mengingatkan kepada kita sekalian agar senantiasa mempertebal keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Seringkali diulangi bahwa hanya ketaqwaanlah yang dapat menjamin ketentraman hidup kita selama di dunia. Keimanan dan ketaqwaan pula yang menjadikan kita merasa layak berharap rahmat Allah di dunia dan akhirat. Maka marilah kita semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT agar jalan hidup kita senantiasa diberkahi dan diridhoi Allah SWT.
Jika kita senantiasa meningkatkan ketaqwaan, tentu jalan hidup kita menjadi lebih mudah, lebih nyaman dan lebih teratur dan berkesinambungan. Dalam bermasyarakat, tentu kita menginginkan keteraturan dan kesinambungan dalam berbagai bentuk kebaikan. Nah, salah satu di antara bentuk-bentuk kesinambungan dalam kebaikan dan kataqwaan adalah tumbuhnya generasi-generasi penerus perjuangan dan dakwah islamiyah. Maka dengan demikian, tentu kita menginginkan turut berperan serta dalam melanjutkan estafet perjuangan islam ini dengan melahirkan dan mengasuh anak-anak Muslim yang cerdas, berkarakter dan shaleh.
Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّ
مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلىَ اْلفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِ أوْ
يُنَصِّرَانِ أوْ يُمَجُّسَانِ
Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Keduanya orang tuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi. (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, orang tualah yang memiliki tanggung jawab utama dalam mendidik dan menjadikan seorang anak sebagai pribadi yang sholeh atau sebaliknya.
Hal ini juga sesuai dengan Sabda Rasulullah lainnya,
كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban. (HR. Bukhori-Muslim)
Seorang pemimpin pemerintahan adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya, suami adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang anggota keluarganya, istri adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang rumah tangga suaminya serta anak-anaknya, dan seorang pembantu adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang harta benda majikannya, ingatlah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari Kiamat.
Saudara-saudara Sidang Jum’at yang Dirahmati Allah
Anak merupakan harapan setiap orang tua dalam kehidupan rumah tangga mereka. Anak adalah kebanggaan dan dambaan. Namun terkadang anak juga dapat menjadi cobaan yang sangat berat bagi kedua orang tuanya. Karenanya, setiap orang tua mesti mendidik anak-anak mereka sesuai tuntunan agama Islam.
Anak-anak yang dididik dengan Tuntunan Islam diharapkan menjadi anak-anak yang sholeh, berbakti dan berguna bagi bangsa, negara, masyarakat dan agamanya. Tentu saja orang tuanya adalah mereka yang pertama kali memetik buah dari kesalehan anak-anaknya.
Allah SWT berfirman,
وَالَّلذِيْنَ
يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّتِنَا قُرَّةَ
أَعْيُنٍ وَاجْعَلْناَ لِلُمُتَّقِيْنَ إِمَامًا
Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqaan, 25:74)
رَبِّ هَبْ
لِيْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang shaleh. (QS. Ash-Shoffaat, 37:100)
Dua Ayat ini meneguhkan kepada kita, bahwa selayaknya sebagai pribadi Muslim yang beriman, tentu kita berharap untuk dikaruniai buah hati yang dapat dibanggakan, shaleh-shalihah, berbakti dan berguna bagi sesamanya.
Namun Allah Subhanahu Wata’ala juga mengingatkan kita, bahwa segala anugerah yang berupa keturunan dan segala milik kebendaan serta lain-lainnya, adalah hanya ditentukan oleh Allah SWT. karenanya, sebagai orang beriman, tentu kita tidak boleh menyalahkan siapa pun jika barangkali kita belum dikaruniai keturunan. Karena Allah-lah yang telah menentukan setiap kelahiran yang telah maupun akan muncul di muka bumi ini.
Firman Allah,
ِللهِ مُلْكُ
السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ ِلمَنْ يَشَاءُ إنَاثاً
وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُوْرَ ، أوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا
وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيْمًا إنَّهْ عَلِيْمٌ قَدِيْرٌ
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. asy-Syura, 42:49-50)
Selayaknya kita senantiasa berdoa, semoga Allah mengaruniakan kebahagiaan dunia dan akhirat kepada kita sekalian melalui keturunan-keturunan yang shalih dan shalihah di tengah-tengah masyarakat kita. Agar keturunan-keturunan tersebut dapat melanjutkan estafet dakwah Islam di tengah-tengah kondisi masyarakat yang semakin kompleks ini.
Namun berdoa saja tidaklah cukup. Kita harus mengupayakan sekuat tenaga agar dapat medidik anak-anak kita menjadi generasi yang dapat diandalkan oleh zamannya. Kita harus memperhatikan pendidikan mereka, berusaha menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan positif kejiwaan mereka.
Sebagai orang tua, kita juga harus memperhatikan pergaulan anak-anak kita yang menjadi faktor penentu dalam perkembangan sosial mereka. Kita harus mengajarkan kesederhanaan dalam keseharian mereka. Karena Rasulullah SAW sudah contohkan, bahwa meski hidup dalam kondisi yg sederhana, tapi kebahagiaan selalu Beliau rasakan. Maka demikianlah mestinya kita menciptakan lingkungan sosial dan kekeluargaan bagi anak-anak harapan generasi Islam tersebut.
Di samping itu, hal lain yang harus kita perhatikan dalam mendidik anak adalah memberikan Rejeki yang Halal selama pertumbuhan mereka. Karena rezeki halal dapat mempermudah mereka menjalani kesalehan dan ketaqwaan. Sementara jika kita kurang-hati-hati dan teledor dengan memberikan mereka asupan energi dan suplai pertumbuhan maupun pendidikan dari rezeki halal, maka sama saja dengan menginginkan mereka menjadi lahan empuk bagi tumbuhnya kemungkaran dalam diri anak-anak kita sendiri. Rezeki yang halal akan memudahkan mereka menerima hidayah dan keberkahan dalam menjalani proses pertumbuhan dan pendidikannya.
Hadirin Sidang Jum’at yang dimuliakan oleh Allah
Marilah kita mempertebal keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah dengan mengnalkan jalan dakwah kepada generasi Islam sedini mungkin dengan penuh kebijakan dan keteladanan yang mulia. Bukan zamannya lagi jika kita hanya mendidik tanpa memperhatikan perkembangan psiokologi mereka. Bukan zamannya lagi jika kita hanya mengandalkan kekerasan dalam medidik anak.
Memang benar, bahwa Rasulullah SAW memperbolehkan kita untuk memukul anak-anak jika mereka lalai mengerjakan shalat. Nemun bukan berarti dengan demikian kita dapat memukul mereka dengan seenaknya saja. Karena anak-anak senantiasa membutuhkan kasih sayang yang dapat mereka cerna dan mereka sadari. Anak-anak ingin mengerti bahwa orang tua mereka menyayangi mereka, sehingga mereka dapat membalas kasih saying tersebut dengan kesungguhan belajar dan berusaha menjadi baik bagi lingkungan dan masyarakatnya. Artinya anak-anak akan merasa memiliki tanggung jawab menjadi shaleh dan shalihah jika mereka juga mengerti bahwa kedua orang tuanya mencontohkan kesalehan dan keteladanan yang baik terhadapnya.
Tentang hal ini, Al-Qur’an mengajarkan :
ادْعُ إِلَى
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. an-Nahl, 16:125)
Artinya, jika kita menginginkan anak-anak kita menjadi generasi yang baik dan santun, tentu kita harus mengajarkan kebaikan dan sopan santun serta etika Islam kepada mereka.
Selain itu, dalam memilihkan atau mengarahkan pendidikan bagi anak-anak, kita dapat memperhatikan bakat dan kecenderungan mereka. Kita dapat menyekolahkan mereka menurut bakat positifnya masing-masing, sehingga ketika telah menjadi dewasa nantinya, mereka tidak memiliki keraguan akan kemampuan dan potensi dirinya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah,
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran 3: 104)
Ada yang menjadi muballigh, tentara, pedagang, guru atau pun insinyur dan lain-lain sebagainya. Dengan demikian generasi Islam yang kita dambakan bersama dapat segera terwujud menjadi sebuah kenyataan. Dan izzul Islam wal muslimin dapat kita gapai bersama, karena generasi muda saat ini tentu akan menjadi pemimpin Islam di kemudian hari.
Hadirin siding Jum’at yang Dirahmati Allah
Hal terpenting terakhir yang ingin saya sampaikan kepada saudara-saudara sekalian adalah, tentang bekal paling utama kepada generasi muda kita, yakni pendidikan, keteladanan dan ketaqwaan. Sebagaimana perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, “Didiklah anakmu karena kamu akan ditanya tentang tanggungjawabmu, apakah sudah kamu ajari anakmu, apakah sudah kamu didik anakmu dan kamu akan ditanya kebaikanmu kepadanya dan ketaatan anakmu kepadamu.”
Saya nyatakan, kita harus memberikan bekal ketaqwaan yang cukup kepada mereka, apapun profesi yang menjadi pilihan mereka kelak. Karena tanpa ketaqwaan, mustahil mereka dapat menjadi generasi Muslim yang dapat diandalkan dan ditunggu peran sertanya dalam pembangunan bangsa dan umat.
Sebagaimana firman Allah,
وَتَزَوَّدُوْا
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ الَّتقْوَى وَاتَّقُوْنِ يَا أُولِي اْلألْبَابِ
Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. (QS. al-Baqarah, 2:197)
بَارَكَ اللهُ
لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ
الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ
اِنَِّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا
اللهَ الْعَظِيْمَ لَِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ
الرَّحِيْمُ
Sumber: NU Online
(Ngaji of the Day) Kepercayaan dan Cara Menguburkan Ari-Ari
Kepercayaan dan Cara
Menguburkan Ari-Ari
Bagi masyarakat Nusantara, Islam tidak lagi dipandang
sebagai ajaran asing yang harus difahami sebagaimana mula asalnya. Islam telah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan keseharian, mulai dari cara
berpikir, bertindak dan juga bereaksi. Sehingga Islam di Nusantara ini memiliki
karakternya tersendiri. Sebuah karakteristik yang kokoh dengan akar tradisi
yang mendalam.
Yang dibangun secara perlahan bersamaan
dengan niat memperkenalkan Islam kepada masyarakat Nusantara oleh para
pendakwah Islam di zamannya.Diantara tradisi yang hingga kini masih berlaku
dalam masyarakat Islam Nusantara, khususnya di tanah Jawa adalah menanam
ari-ari setelah seorang bayi dilahirkan dengan taburan bunga di atasnya. Atau
dengan menyalakan lilin di malam hari. Apakah Islam pernah mengajarkan hal yang
demikian?
Menanam ari-ari (masyimah) itu hukumnya
sunah. Adapun menyalakan lilin dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu
hukumnya haram karena dianggap sebagai tindakan membuang-buang harta (tabdzir)
yang tak ada manfaatnya.
Mengenai anjuran penguburan ari-ari, Syamsudin Ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj menerangkan
وَيُسَنُّ دَفْنُ مَا انْفَصَلَ مِنْ حَيٍّ لَمْ يَمُتْ حَالاًّ أَوْ مِمَّنْ شَكَّ فِي مَوْتِهِ كَيَدِ سَارِقٍ وَظُفْرٍ وَشَعْرٍ وَعَلَقَةٍ ، وَدَمِ نَحْوِ فَصْدٍ إكْرَامًا لِصَاحِبِهَا.
“Dan disunnahkan mengubur anggota badan yang
terpisah dari orang yang masih hidup dan tidak akan segera mati, atau dari
orang yang masih diragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut,
‘alaqah (gumpalan darah), dan darah akibat goresan, demi menghormati orangnya”.
Sedangakn pelarangan bertindak boros (tabdzir) Al-bajuri dalam Hasyiyatul Bajuri berkata:
(المُبَذِّرُ لِمَالِهِ) أَيْ بِصَرْفِهِ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ
(قَوْلُهُ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ) وَهُوَ كُلُّ مَا لاَ يَعُوْدُ نَفْعُهُ
إِلَيْهِ لاَ عَاجِلاً وَلاَ آجِلاً فَيَشْمَلُ الوُجُوْهَ المُحَرَّمَةَ
وَالمَكْرُوْهَةَ.
“(Orang
yang berbuat tabdzir kepada hartanya) ialah yang menggunakannya di luar
kewajarannya. (Yang dimaksud: di luar kewajarannya) ialah segala sesuatu yang
tidak berguna baginya, baik sekarang (di dunia) maupun kelak (di akhirat),
meliputi segala hal yang haram dan yang makruh”.
Namun seringkali penyalaan lilin ataupun alat penerang lainnya di sekitar kuburan ari-ari dilakukan dengan tujuan menghindarkannya dari serbuan binatang malam (seperti tikus dkk). Maka jika demikian hukumnya boleh saja. []
Sumber: NU Online
(Do'a of the Day) 05 Jumadil Akhir 1433H
Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most
Gracious, The Most Kind
Alhamdulillaahi katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi ghaira makfiyyin wa laa muwadda'in wa laa mustaghnan 'anhu rabbanaa.
Segala
puji bagi Allah, kupanjatkan kepada-Nya sebanyak-banyak puji, sebaik-baik puji,
puji yang penuh berkah, yang tidak cukup (lisan menuturkannya), yang tiada
terpisah dari taat dan tidak pernah puas (orang yang menyebutnya), wahai Tuhan
kami.
Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian
12, Bab 14.
Kamis, 26 April 2012
Vandalisme di Sekitar Kita - (5)
Setelah
penuh coreng-moreng dengan sang penyedot wc, entah apalagi yang akan menempel
kepada dirinya.
(Ngaji of the Day) Membangun Masyarakat Qurani
Membangun Masyarakat Qurani
Oleh: KH A Hasyim Muzadi
Kelebihan dalam ibadah Ramadan adalah
terkondisikannya masyarakat untuk terbiasa membangun perilaku sehat dan
memperbanyak kebajikan dengan terus-menerus mencoba mempraktikkan nilai-nilai
Alquran dalam kehidupan. Umat menjadi termotivasi dan penuh gairah untuk
membaca Alquran, karena membacanya sudah mendapatkan pahala yang berkali lipat.
Bahkan, sudah mulai banyak kesadaran di
kalangan umat untuk mengkaji Alquran sebagai padanan atau bahkan menjadikan roh
bagi peradaban sains modern. Sebagaimana kita ketahui bersama, peradaban dunia
sekarang adalah peradaban yang dibangun di atas fondasi sains modern.
Peradaban sains modern adalah sebuah
peradaban yang bersandar pada paradigma positivisme, yaitu sebuah bangunan ilmu
pengetahuan yang didasarkan pada setidaknya tiga aspek; (1) dapat diamati
(observable), (2) dapat diukur (measurable), dan (3) dapat dibuktikan
(verifiable). Sebenarnya, spirit sains modern ini tidak bertentangan dengan
Islam; dengan alasanalasan sebagai berikut:
Pertama, wahyu pertama yang diterima Nabi
Muhammad Saw adalah lima ayat QS Al-Alaq yang turun pada malam ke-16 Ramadan di
Gua Hira saat usia Nabi mencapai 40 tahun, intinya adalah ‘iqra’ membaca. Dalam
semangat sekarang adalah mengamati atau meneliti.
Kedua, konsep manusia berdasarkan Alquran
adalah sebagai khalifah. Maka untuk menjadi khalifah, ia harus punya instrumen
yaitu ilmu untuk menguasai bumi, memakmurkan, dan memeliharanya.
Ketiga, banyak sekali ayat Alquran yang
menganjurkan agar berpikir, merenungkan, mengamati, dan mengevaluasi.
Keempat, cara Nabi Ibrahim mencari Tuhannya
dimulai dengan konsep ilmu, yaitu bertanya (curiosity), melalui melihat bulan,
matahari, dan sebagainya, yang akhirnya pada suatu kesimpulan bahwa Tuhannya
adalah Allah Swt. Lalu, apa yang salah dengan sains modern, bagi umat Islam?
Yang salah adalah pada motifnya atau niatnya.
Dengan demikian, sains modern itu netral, tergantung niatnya. Bagi orang Barat,
sains modern adalah objek sekaligus sebagai tujuan dari peradaban itu sendiri.
Sedangkan bagi umat Islam, sains itu tidak lain adalah sebagai alat atau
instrumen manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk mencari rida Allah Swt.
Di dalam Alquran dijelaskan bahwa pekerjaan
berpikir itu adalah ibadah, yaitu untuk mengingat Allah (dzikrullah), bahwa
segala sesuatu yang ada di alam jagat raya ini harus diteliti, diamati, atau
dievaluasi untuk kebaikan manusia. Sebab, di sisi Allah tidak ada yang sia-sia
dalam penciptaan langit dan bumi ini. Firman Allah dalam QS Al-Imron: 191;
Artinya: Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi,
(seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Islam juga
sangat memuliakan orang yang berilmu, bahkan orang berilmu akan diberi derajat
oleh Allah dalam beberapa derajat. Allah juga akan membedakan antara orang yang
berilmu dan tidak.
Demikianlah Islam dan masyarakat Qurani
sangat apresiatif sekali dengan peradaban sains. Lalu, bagaimanakah kita
membangun masyarakat Qurani di tengah- tengah peradaban modern sekarang ini.
Jawabannya adalah Islam akomodatif terhadap peradaban modern, tetapi Islam
menganggap sains modern hanya sebagai alat atau instrumen bukan tujuan.
Bagi umat Islam, tujuan menguasai sains tidak
lain adalah mencari rida Allah dalam rangka sebagai khalifah di muka bumi ini.
Kalau sains dianggap sebagai tujuan, manusia akan tergelincir pada tindakan
syirik, menuhankan sains.
Karena itu, bagi mereka yang tidak beriman,
tetapi menguasai sains, banyak yang hidupnya tidak tenteram, bahkan banyak di
antara para penemu sains itu hidupnya tidak bahagia pada akhirnya, mati bunuh
diri, menderita, bahkan mati di tiang gantungan.(*)
Presiden World Conference of Religions for
Peace (WCRP)
(Do'a of the Day) 04 Jumadil Akhir 1433H
Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most
Gracious, The Most Kind
Bismillaahi awwalahuu wa aakhirahuu.
Dengan
menyebut nama Allah pada permulaan dan penghabisannya.
Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian
12, Bab 3.
Rabu, 25 April 2012
(Ngaji of the Day) Membincang Ide Satu Mathla’ Sedunia
Membincang Ide Satu Mathla’
Sedunia
Oleh : Ali Wafa Yasin
Sebagaimana dimaklumi, bahwa perbedaan
menentukan awal Syawal telah jamak terjadi. Pada prinsipnya, perbedaan
semacamnya ini bukanlah persoalan serius. Akan tetapi ekses negatif yang
kemudian ditimbulkannya cukup merisaukan, sebab persatuan umat Islam adalah hal
yang harus diprioritaskan dari apapun. Karena itu, para pakar berupaya sebisa
mungkin untuk menyatukan hari raya umat Islam di seluruh dunia. Dan, salah satu
teori yang ditawarkan adalah penyeragaman mathla’.
Namun, dalam hal ini, justru teori para pakar
terpilah pada arah yang berlawanan. Sehingga sampai di sini, ide penyeragaman
masih baru sekadar wacana, dan tampaknya sulit diharapkan. Kelompok pertama
memandang bahwa di dunia Islam ini hanya ada satu mathla’. Maksudnya, jika ada
salah satu negara yang berpenduduk muslim sudah melihat hilal, maka wajib
hukumnya negara-negara Islam lain yang belum melihat bulan mengikuti hasil ru’yah
negara tersebut. Mereka yang menyuarakan ide ini adalah mayoritas ulama.
Kelompok kedua memandang bahwa setiap negara
yang berpenduduk muslim mempunyai mathla’ sendiri. Sehingga mereka boleh
bersandar pada hasil ru’yah masing-masing dan tidak harus mengikuti hasil
ru’yah negara muslim yang lain. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini adalah
sebagian besar ulama mazhab Hanafi dan sebagian besar ulama mazhab Syafii.
Dalil Masing-Masing Kelompok
Dalil kelompok pertama adalah Hadis Abu
Hurairah dan yang lain, “Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena
melihat bulan. Jika kamu terhalang mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan
Syaban itu menjadi 30 hari.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa kewajiban
puasa bagi umat Islam bergantung pada mutla’ ru’yah, sedangkan mutla’ itu
berlaku sesuai kemutlakannya. Karena itu dalam masalah ini ru’yah cukup
dilakukan oleh kelompok atau perorangan.
Mengenai jarak dan perbedaan tempat, kelompok
ini mengiaskan negara-negara yang jauh dengan kota-kota yang dekat dari negara
tempat ru’yah. Pemikiran ini dikenal dengan istilah ru’yah internasional yang
menjadi pegangan komisi penyatuan kalender hijriyah internasional.
Dalil kelompok kedua adalah Hadis Kuraib,
bahwa Ummul-Fadhl mengutus Kuraib kepada Muawiyah di Syam, lalu Kuraib berkata:
“Aku telah datang ke Syam dan telah melaksanakan keperluan Ummul-Fadhl,
sedangkan ru’yah untuk awal Ramadhan datang kepadaku, sementara aku berada di
Syam. Aku melihat bulan pada malam Jumat, kemudian aku datang ke Madinah pada
akhir bulan. Lalu Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku menyangkut masalah
hilal, ‘Kapan Anda melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam
Jumat’. Ibnu Abbas bertanya, ‘Betulkah Anda yang melihatnya sendiri?’ Aku
menjawab, ‘Ya, saya melihatnya sendiri, dan orang-orang juga berpuasa, begitu
juga Muawiyah’. Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam
Sabtu, sehingga kami berpuasa setelah menyempurnakan bilangan 30 hari, atau
kami melihatnya sendiri’. Kuraib bertanya, ‘Bukankah Anda cukup dengan ru’yah
dan puasa yang dilakukan Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Tidak, seperti inilah
Rasulullah memerintahkan kepada kami’.”
Maksud perintah itu adalah sabda Nabi yang
terdapat dalam Hadis Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda: “Bulan itu tidak
lain adalah 29 hari, maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan
dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihat bulan. Apabila kalian
terhalang melihat bulan, maka perkirakanlah bulan itu.”
Teori kedua ini dipersepsikan menjadi pemicu
terjadinya perbedaan dalam memulai maupun mengakhiri Ramadhan di berbagai
kawasan umat Islam. Itulah sebabnya mengapa beberapa tahun yang lalu munculah
gerakan memasyarakatkan teori “ittihâdul-mathâli’” (kesatuan mathla’
internasional) yang diharapkan mampu menyatukan awal dan akhir Ramadhan secara
internasional.
* * *
Untuk mengukuhkan persepsi bahwa konsep
ittihâdul-mathâli’ itu sangat mungkin untuk diterapkan, kelompok yang pro
terhadap konsep ini tidak hanya memperkukuh ide ini dengan beragam argument.
Akan tetapi mereka juga berupaya menggulingkan argument kelompok pro
ikhtilâful-mathâli’ dengan sejumlah dalih.
Dali dari al-Qur’an adalah ayat yang artinya,
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS al-Baqarah
[2]: 189).
Yang di maksud dengan “al-ahillah” dalam ayat
di atas adalah bulan sabit, yang dalam setiap tahunnya berjumlah dua belas. Di
manapun hilal (bulan sabit) itu dilihat, maka sejak itulah bulan itu dimulai.
Di antara tujuan Allah I menciptakan bulan-bulan itu adalah untuk membatasi
kebutuhan, janji-janji, dan hal-halm penting yang tak terelakkan. Oleh karena
itu, jika seandainya setiap wilayah atau bahkan setiap orang memilki hilal
masing-masing, maka hal itu telah melenceng dari tujuan diciptakannya bulan,
dan tidak ada batasan waktu yang dapat dijadikan tendensi dan patokan apapun,
namun hanya akan menyebabkan terjadinya perbedaan waktu, yang menyebabkan
tatanan waktu menjadi campur aduk.
Firman Allah yang artinya “Dialah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan-Nya
tempat-tempat bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan (waktu)”. (QS Yunus: 05). Dalam ayat yang lain, “Matahari dan
bulan (beredar) menurut perhitungan”. (QS Ar-Rahman: 05).
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa matahari
dan bulan beredar menurut perhitungan dan sebuah sistem pada porosnya, agar
manusia tahu terhadap waktu, dan dapat memperhitungkan berjalannya tahun-tahun.
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa al-ahillah itu
berbilangan–dengan mengajukan pendapat ikhtilâful-mathâli‘–bertentangan dengan
ayat-ayat ini.
Sedangkan dalil dari Hadis, adalah Hadis
mutawatir dengan sanad-sanad yang sahih dari Hadis Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu
Hurairah, Umar bin al-Khattab dll, bahwa Rasulullah bersabda, “Berpuasalah
karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat bulan. Jika kamu terhalang
mendung dalam melihat bulan, maka sempurnakanlah menjadi 30 hari.” Hadis ini
merupakan dalil terkuat yang dijadikan argumen bagi wajibnya penyeragaman
mathla’ dan haramnya berbeda dalam mathla’.
Kritik Hadis Ikhtilâful-Mathâli‘
Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Muslim,
Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai, atau dari riwayat yang lain melalui
Kuraib, yang dijadikan dasar terhadap teori ikhtilâful-mathâli‘, memiliki
bebrapa kelemahan yang akan kami jelaskan di bawah ini.
Pertama, bahwa sebenarnya Hadis itu tidak ada
dasarnya dan sama sekali tidak menyebutkan terjadinya perbedaan matla’ pada
setiap wilayah tertentu. Namun sebenarnya Ibnu Abbas tidak mau menerima atau
menolak berita ru’yah yang dibawa Kuraib, dan tidak mau mengamalkan ru’yah
hasil Muawiyah ataupun penduduk Syam yang kurang pasti itu.
Kedua, bisa jadi penyaksian Kuraib seorang
diri tidak dapat diterima, sebab jika kita melihat pada pendapat mayoritas
ulama yang mensyaratkan harus dua orang dalam penyaksian melihat hilal, maka
penyaksian yang hanya dilakukan oleh Kuraib seorang diri jelas tidak dapat
diterima.
Ketiga, bahwa Hadis Kuraib bertentangan
dengan nash dari qaul sahabat lain yang memiliki otoritas lebih tinggi, yaitu
Umar bin al-Khaththab.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
dasar-dasar yang dimiliki oleh teori ittihâdul-mathâli‘ lebih kuat. Sebagai
upaya dalam memasyarakatkan teori kesatuan mathla’ internasional, agar seluruh
wilayah Islam di santreo dunia bisa kompak dan terlihat kuat, sehinga
bagaimanapun upaya ini perlu untuk didukung. []
Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan –
Jawa Timur
(Do'a of the Day) 03 Jumadil Akhir 1433H
Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allah, The Most
Gracious, The Most Kind
Allaahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaari.
Ya
Allah, berilah barokah rezeki yang Engkau berikan kepada kami dan peliharalah
kami dari siksa api neraka.
Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian
12, Bab 1
Selasa, 24 April 2012
Vandalisme di Sekitar Kita - (4)
Sedot
tinja, sedot wc, jual antena, jual rumah, jual cctv... bahkan jualan
calon pimpinan daerah pun ada.
Dahlan: Empat Putra Petir untuk Alm. Prof. Widjajono
Empat Putra Petir
untuk Alm. Prof. Widjajono
Oleh: Dahlan Iskan
Senin, 23 April 2012,
06:40 WIB
Saya terkesan dengan
logika berpikir Prof. Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri ESDM yang baru saja
meninggal dunia di pendakiannya ke Gunung Tambora Nusa Tenggara Barat, Sabtu
lalu: kurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM).
Kalau sudah tahu
bahwa produksi minyak kita terus menurun, kemampuan kita membangun kilang juga
terbatas, dan pertambahan kendaraan tidak bisa dicegah, mengapa kita terus
mempertahankan pemakaian BBM?
Almarhum sering
sekali mengajak saya berbicara soal itu. Almarhum merasa perdebatan soal BBM
yang riuh-rendah selama ini sangat tidak mendasar. Tidak menyelesaikan akar
persoalan. Hanya menimbulkan huru-hara politik. Saya sangat setuju dengan
konsep almarhum untuk semakin beralih ke gas. Hanya saja memang diperlukan
upaya yang ekstra keras untuk mengalihkan kebiasaan menggunakan BBM ke bahan
bakar gas (BBG).
Almarhum juga sangat
setuju mobil listrik nasional diperjuangkan. Bahkan almarhum mengatakan BBM
harus dikeroyok ramai-ramai dari segala jurusan. Terutama dari jurusan gas dan
dari jurusan listrik. Tanpa usaha yang keras dari dua jurusan itu akan terus
timbul kesan di masyarakat bahwa pemerintah, khususnya Pertamina, sengaja lebih
menyukai impor BBM.
Pertamina dikesankan
lebih senang impor BBM karena bisa menjadi objek korupsi dan kolusi. Istilah
mafia impor BBM begitu gencarnya ditudingkan--entah seperti apa wujud mafia
itu.
Seserius-seriusnya
Pertamina berupaya memberantas korupsi, tuduhan itu akan terus berlangsung.
Apalagi, kenyataannya, impor BBM-nya memang terus meningkat.
Tidak mungkinkah kita
berhenti impor BBM? Tentu saja bisa. Tapi syaratnya berat sekali: kita harus
memiliki kilang yang cukup. Minyak mentah itu baru bisa jadi BBM kalau sudah
diolah di kilang. Kebutuhan BBM kita sekarang ini sekitar 50 juta
kiloliter/tahun. Sedang kilang kita sendiri hanya bisa memproduksi BBM kurang
dari separonya.
Kalau kita
menghendaki tidak mau impor BBM lagi, kita harus membangun kilang baru sebanyak
dan sebesar yang telah ada sekarang. Saat ini kita punya tujuh kilang minyak:
Pangkalan Brandan, Dumai, Musi, Cilacap, Balikpapan, Kasim, dan Balongan. Total
kapasitas produksi BBM-nya kurang dari 25 juta kiloliter/tahun.
Di sinilah pokok
persoalannya. Mampukah kita membangun sekaligus kilang-kilang baru sebanyak
kekurangannya itu?
Sejak 15 tahun lalu,
kita memang tidak pernah punya kemampuan membangun kilang baru. Kilang terbaru
kita umurnya sudah 18 tahun. Yakni kilang Balongan, Jabar, yang dibangun oleh
Presiden Soeharto di tahun 1994. Presiden-presiden berikutnya tidak sempat
memikirkan pembangunan kilang baru. Padahal jumlah kendaraan terus bertambah.
Akibatnya impor BBM tidak bisa dihindarkan. Bahkan terus meningkat.
Baru tahun lalu
Presiden SBY memutuskan membangun kilang tambahan di Cilacap. Tahun ini
Presiden SBY juga sudah memutuskan membangun dua kilang lagi. Tapi Pertamina
tidak mungkin membiayai pembangunan kilang-kilang itu sendirian. Sebuah kilang
dengan kapasitas 300 ribu barel, memerlukan biaya investasi sampai Rp70
triliun. Bayangkan kalau harus membangun tiga kilang sekaligus.
Pertamina harus
menggandeng investor. Mencari investor pun tidak mudah. Di samping biayanya
sangat besar, masih ada kesulitan lain: sebuah kilang, baru bisa dibangun
manakala sudah diketahui jenis minyak mentah seperti apa yang akan diproses di
situ. Beda jenis minyak mentahnya, beda pula desain teknologinya.
Para pemilik minyak
mentah tahu posisi strategisnya itu. Mereka bisa mendikte banyak hal: mendikte
harga dan mendikte pasokan. Investor kilang yang ingin masuk ke Indonesia,
misalnya, meminta berbagai syarat yang luar biasa beratnya: tanahnya seluas 600
ha harus gratis, pemerintah harus menjamin macam-macam, dan pajaknya minta
dibebaskan dalam masa yang sangat panjang.
Kalau dalam masa
pemerintahan Presiden SBY ini berhasil membangun tiga proyek kilang sekaligus,
tentu ini sebuah warisan yang sangat berharga. Saya sebut warisan karena bukan
Presiden SBY yang akan menikmati hasilnya, tapi pemerintahan-pemerintahan berikutnya.
Dari gambaran itu,
jelaslah bahwa sampai lima tahun ke depan impor BBM kita masih akan terus
meningkat. Kecuali ide almarhum soal konversi ke gas itu berhasil dilakukan dan
mobil listrik nasional berhasil dimassalkan. Kilang-kilang baru itu, seandainya
pun berhasil dibangun, baru akan menghasilkan BBM di tahun 2018.
Kita tahu persis apa
yang terjadi dalam lima tahun ke depan. Saat kilang-kilang itu nanti mulai
berproduksi kebutuhan BBM sudah naik lagi entah berapa puluh juta kiloliter
lagi. Berarti, impor lagi. Impor lagi.
Di sinilah Prof.
Widjajono geram. Kenaikan harga BBM, menurut Beliau, seharusnya juga dilihat
dari aspek pengendalian impor ini. Yang tidak menyetujui kenaikan harga BBM,
menurut Beliau, pada dasarnya sama saja dengan menganjurkan impor BBM
sebanyak-banyaknya!
Kalau Prof. Widjajono
sering mengajak saya bicara soal konversi gas, saya sering mengajak bicara
Beliau soal mobil listrik nasional. Termasuk perkembangan terakhirnya. Saya
tahu konversi gas memang bisa dilakukan lebih cepat dari mobil listrik
nasional. Namun kami sepakat dua-duanya harus dijalankan. Kami juga sepakat
bahwa upaya ini tidak mudah, tapi pasti berhasil kalau dilakukan dengan
semangat Angkatan 45.
Saya bersyukur sempat
menginformasikan perkembangan terakhir mobil listrik nasional. Ribuan email dan
SMS mendukung dengan gegap-gempita kehadiran mobil listrik nasional itu. Dan
yang secara serius mengajukan konsep, desain, dan siap memproduksinya ada empat
orang.
Saya sudah melakukan
kontak intensif dengan empat orang tersebut. Saya juga sudah membuat grup email
bersama di antara empat orang tersebut. Kami bisa melakukan rapat jarak-jauh
membicarakan program-program ke depan. Tanggal 21 April kemarin, kami
menyelenggarakan rapat sesuai dengan program semula, meskipun rapat itu
berlangsung di dunia maya.
Empat orang tersebut
adalah orang-orang muda yang luar biasa.
Ada nama Mario
Rivaldi. Dia kelahiran Bandung, pernah kuliah di ITB, kemudian mendapat bea
siswa kuliah di Jerman. Mario bahkan sudah melahirkan prototype sepeda motor
listrik dan mobil listrik. Saya sudah pernah mencobanya di Cimahi. Mario sangat
siap memproduksi mobil listrik nasional. Selama ujicoba itu tiga tahun
terakhir, Mario bekerjasama dengan LIPI dan ITB.
Ada nama Dasep Ahmadi
yang juga kelahiran Tanah Sunda. Dasep lulusan ITB (Teknik Mesin), yang
kemudian sekolah di Jepang. Dasep pernah bekerja lama di industri mobil
sehingga tahu persis soal permobilan. Kini Dasep mengembangkan industri mesin
presisi dan memasok mesin-mesin untuk industri mobil. Dasep sangat siap
melahirkan prototype mobil listrik nasional dalam dua bulan ke depan. Saat ini
Dasep sedang mengerjakan mobil-mobil itu.
Ada nama Ravi Desai.
Anak muda ini lahir di Gujarat, tapi sudah lama menjadi warga negara Indonesia.
Dia lulusan universitas di India dan kini menekuni banyak bidang inovasi. Dia
mendirikan D Innovation Center dengan fokus ke energi. Ravi juga menekuni DC
dan AC drive dan sudah memasarkannya sampai ke luar negeri. Saat ini Ravi
sedang mengerjakan dua contoh mobil listrik nasional dan sudah akan selesai
dalam dua bulan mendatang.
Ada pula nama Danet
Suryatama. Anak Pacitan ini setelah lulus ITS melanjutkan kuliah di Michigan,
AS. Danet kemudian bekerja di bagian teknik pabrik mobil besar di Amerika
Setikat, Chrysler, selama 10 tahun. Danet sangat siap memproduksi mobil listrik
nasional. Saat ini, sambil mondar-mandir Amerika-Indonesia, Danet sedang
menyelesaikan contoh mobil listrik nasional yang juga siap dikendarai dalam dua
bulan ke depan.
Tentu saya bisa
salah. Lantaran email yang masuk jumlahnya ribuan, mungkin saja ada nama-nama
lain yang tidak kalah hebat dan siapnya namun terlewat dari mata saya. Untuk
itu saya siap menerima koreksi dan nama susulan.
Kepada keempat orang
itu saya juga sudah informasikan betapa besar perhatian Presiden SBY pada
perencanaan mobil listrik nasional ini. Saya juga kemukakan suasana pertemuan
antara Presiden SBY dan empat rektor perguruan tinggi terkemuka (ITB, UGM, UI,
dan ITS) yang penuh dengan semangat.
Waktu itu para rektor
menyatakan sangat mendukung kelahiran mobil listrik nasional ini dan memang
sudah waktunya dilahirkan. Para rektor juga mengemukakan masing-masing
perguruan tinggi mereka siap memberikan dukungan apa saja.
Sebenarnya saya ingin
menghadirkan Prof. Widjajono dalam pertemuan dengan empat putra petir itu dalam
waktu dekat. Tapi Prof. Widjajono lebih dulu meninggalkan kita. Meski begitu
Prof., saya berjanji kepada Profesor akan tetap meng-emailkan hasil pertemuan
dengan empat putra petir itu ke alamat email Anda yang pernah Anda berikan
kepada saya. Saya juga berjanji akan mengirimkan foto-foto mobil listrik
nasional itu nanti ke alamat email Anda. []
*Dahlan Iskan,
Menteri Negara BUMN
Sumber:
Langganan:
Postingan (Atom)