Sifat mandiri dan otonom merupakan ruh pesantren di tengah kolonialisme yang mencengkeram berbagai lini kehidupan. Sifat tersebut perlu diwujudkan melalui badan usaha yang dapat mencukupi kebutuhan dakwah ulama-ulama pesantren termasuk memperkuat diri dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Salah satu upaya untuk mencapai kemandirian ialah dengan membentuk gerakan para
saudagar yang dinamakan Nahdlatut Tujjar. KH Hasyim Asy’ari memberikan beberapa
wasiat ketika mendeklarasikan perkumpulan tersebut. Inti dari wasiat KH Hasyim
Asy’ari yang dijelaskan Abdul Mun’im DZ dalam Piagam Perjuangan Kebangsaan
(2011) ialah sebagai berikut:
Pertama, KH Hasyim Asy’ari menyeru kepada para cerdik pandai dan ustadz. Hal
ini menunjukan pentingnya kolaborasi dari kalangan profesional dan agamawan
sebagai fondasi badan usaha. Di sini bisa dilihat bahwa tujuan akhir yang
diinginkan oleh KH Hasyim Asy’ari ialah badan usaha dapat berfungsi sebagai
sumber pendanaan kesejahteraan para pendidik agama dan pencegahan kemaksiatan
melalui pengentasan kemiskinan.
Kedua, KH Hasyim Asy’ari menyeru lokasi badan usaha merujuk pada kota.
Perputaran ekonomi bergerak dari desa ke kota dan akan kembali kepada
kesejahteraan masyarakat di desa sehingga menciptakan rantai bisnis desa-kota.
Sehingga basis kota sebagai tempat suplai, jaringan usaha, dan
perusahaan-perusahaan harus tergarap dalam visi kedaulatan ekonomi.
Ketiga, KH Hasyim Asy’ari menyeru badan usaha yang beroperasi bersifat otonom.
Hal ini mengisyaratkan bahwa pengelolaan badan usaha tersebut harus profesional
dengan tata kelola yang baik (good corporate governance: GCG).
Melalui tata kelola badan usaha yang modern tersebut, yang pada prinsipnya
mengacu pada sifat otonom yang disampaikan oleh KH Hasyim Asy’ari itu bahwa
setiap pihak dapat fokus menjalankan fungsinya masing-masing sesuai dengan
keahlian yang dimiliki.
Keempat, KH Hasyim Asy’ari menyeru badan usaha yang beroperasi bertujuan
menghidupi para pendidik dan pencegah laju kemaksiatan. Artinya badan usaha
ekonomi mempunyai tanggung jawab atas segala problem di tengah masyarakat
dengan keuntungan-keuntungan yang didapatkan.
Kelima, soal bentuk implementasi badan usaha. Setelah deklarasi Nahdlatut
Tujjar, KH Hasyim Asy’ari langsung bergerak membentuk koperasi sebagai badan
usaha yang menggerakkan ekonomi rakyat, jauh sebelum koperasi menjadi salah
satu bentuk badan usaha yang termaktub dalam UUD 1945.
Pada tahun 1918, kiai atau ulama-ulama dari kalangan pondok pesantren berusaha
mendirikan perhimpunan para saudagar Islam untuk melawan monopoli penjajah
Belanda atas perekonomian. Perhimpunan tersebut diberi nama Nahdlatut Tujjar
(kebangkitan saudagar).
Sebelum Nahdlatut Tujjar dideklarasikan pada tahun 1918, para kiai saat itu
merasa prihatin dengan kemerosotan perekonomian rakyat. Kemerosotan tersebut
berdampak pada melemahnya kesejahteraan masyarakat Islam, pendidikan, budaya,
dan politik. Sementara kalangan non-Muslim makin kuat dan eksis karena
perekonomian mereka didukung oleh kolonial Belanda.
Untuk memperkuat perekonomian rakyat, Hadratussyekh KH Hasyim Asyari dan KH
Wahab Chasbullah mengumpulkan saudagar dari kalangan pesantren untuk mendirikan
badan usaha mandiri agar tidak bergantung pada penjajah.
Kalangan pesantren akhirnya setuju dengan usulan pendirian badan usaha untuk
memupuk kedaulatan ekonomi itu. Lalu para kiai mendirikan badan usaha bernama
Syirkah al-Inan di bawah naungan Nahdlatut Tujjar.
Pendirian perhimpunan tersebut didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan dan
menghindar dari kemudharatan kolonial Belanda. Karena bekerja sama dengan
kolonial pada akhirnya akan memperkuat penjajahan di Nusantara dan tidak akan
menguntungkan bagi umat Islam.
Berdasarkan kaidah fiqih yang selama ini menjadi pegangan kalangan pesantren
yang dikutip dari Qawaidul Ahkam karya Syekh Izzuddin bin Abdussalam, Tahshilul
mashalih wa dar’u hadzihil mafasid aula min ta’thiliha (mengambil kemaslahatan
dan menghindari kemudharatan lebih utama daripada mengabaikannya), apabila
ditemukan peluang untuk memperoleh kemaslahatan dan menghindari kemudharatan,
maka segeralah mewujudkan dan jangan mengabaikannya. (Syaikhul Islam Ali,
Kaidah Fikih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama, 2018).
Sebab itu, pendirian Nahdlatut Tujjar merupakan salah satu upaya dan ikhtiar
untuk memperoleh kemaslahatan dan bidang perekonomian dan menolak monopoli
penjajah Belanda.
Sejak berdirinya gerakan kemandirian dan kedaulatan ekonomi para kiai itu,
kalangan pesantren tidak mau menerima bantuan sedikit pun dari penjajah Belanda
dan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan perekonomian masyarakat
secara mandiri.
Bahkan Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) menjelaskan bahwa ketika
Nahdlatul Ulama sudah berdiri pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344, seluruh
kegiatan muktamar, pendidikan, dan acara-acara yang berkaitan dengan NU didanai
oleh Nahdlatut Tujjar.
Perhimpunan kaum saudagar ini juga berhasil mendanai perjalanan delegasi NU
atau dikenal sebagai Komite Hijaz untuk bernegosiasi dengan Raja Saudi agar
kebebasan bermazhab di Haramain tetap diberlakukan sehingga jangan sampai
diseragamkan, khususnya ketika Bani Saudi dari kelompok salafi Wahabi mengambil
tampuk pengelolaan negara di Arab Saudi. []
Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar