Penyebaran Islam di Nusantara memiliki rentang sejarah yang panjang. Umumnya Islam menyebar dan berkembang secara organik melalui aktivitas perdagangan dan pernikahan. Lau berkembang biak menjadi komunitas Muslim yang kemudian mendirikan sebuah negara dalam hal ini kerajaan Islam.
Pada umumnya kedatangan Islam dan cara menyebarkannya kepada golongan bangsawan
maupun rakyat umum dilakukan dengan cara damai, melalui perdagangan sebagai
sarana dakwah oleh para mubaligh atau orang-orang ‘alim. Kadang-kadang pula
golongan bangsawan menjadikan Islam sebagai alat politik untuk mempertahankan
atau mencapai kedudukannya, terutama dalam mewujudkan suatu kerajaan Islam.
Kedatangan Islam di berbagai daerah di Indonesia tidak hadir secara bersamaan.
Demikian pula dengan kerajaan-kerajaan dan daerah yang didatanginya, ia
mempunyai situasi politik dan sosial budaya yang berlainan. Pada waktu kerajaan
Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya pada sekitar abad ke-7 dan ke-8, Selat
Malaka sudah mulai dilalui oleh para pedagang Muslim dalam pelayarannya ke
negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Berdasarkan berita Cina zaman T’ang pada abad-abad tersebut, diduga masyarakat
Muslim telah ada, baik di Kanfu (Kanton) maupun di daerah Sumatra sendiri.
Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara
negeri-negeri di Asia bagian barat atau timur mungkin disebabkan oleh kegiatan
kerajaan Islam di bawah Bani Umayah di bagian barat maupun kerajaan Cina zaman
dinasti T’ang di Asia Timur serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.
Menjelang abad ke-10 para pedagang Islam telah menetap di pusat-pusat
perdagangan yang penting di kepulauan Indonesia, terutama di pulau-pulau yang
terletak di Selat Malaka, terusan sempit dalam rute pelayaran laut dari
negeri-negeri Islam ke Cina. Tiga abad kemudian, menurut dokumen-dokumen
sejarah tertua, permukiman orang-orang Islam didirikan di Perlak dan Samudra
Pasai di Timur Laut pantai Sumatera.
Saudagar-saudagar dari Arab Selatan semenanjung tanah Arab yang melakukan
perdagangan ke tanah Melayu sekitar 630 M (tahun ke-9 Hijriah) telah menemui
bahwa di sana banyak yang telah memeluk Islam. Hal ini membuktikan bahwa Islam
telah masuk ke Indonesia sejak abad-abad pertama Hijriah, atau sekitar abad
ke-7 dan ke-8 Masehi yang dibawa langsung oleh saudagar dari Arab.
Dengan demikian, Islam telah tiba di tanah Melayu sekitar tahun 630 Masehi
tatkala Nabi Muhammad SAW masih hidup. Namun, di sini harus dibedakan antara
Islam mulai masuk dan menyebar ke Nusantara. Karena belum tentu ketika Islam
masuk kemudian langsung disebarkan. Pada masa selanjutnya, Islam dengan
ajaran-ajarannya mulai disebarkan oleh para dai sufi (Wali Songo) pada tahun
1400-an masehi.
Keterangan lebih lanjut tentang masuknya Islam ke Indonesia ditemukan pada
berita dari Marcopolo, bahwa pada tahun 1292 ia pernah singgah di bagian utara
daerah Aceh dalam perjalanannya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Di Perlak
ia menjumpai penduduk yang telah memeluk Islam dan banyak para pedagang Islam
dari India yang giat menyebarkan agama itu.
Para pedagang Muslim menjadi pendukung daerah-daerah Islam yang muncul
kemudian, dan daerah yang menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang bercorak
Islam ialah Samudra Pasai di pesisir timur laut Aceh. Munculnya daerah tersebut
sebagai kerajaan Islam yang pertama diperkirakan mulai abad ke-13.
Hal itu dimungkinkan dari hasil proses Islamisasi di daerah-daerah pantai yang
pernah disinggahi para pedagang Muslim sejak abad ke-7. Sultan yang pertama
dari kerajaan Islam Samudera Pasai adalah Sultan Malik al-Saleh yang memerintah
pada tahun 1292 hingga 1297.
Dari catatan lain yang ditinggalkan Ibnu Batutah, dapat diketahui bahwa pada
masa itu kerajaan Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat
kapal-kapal datang dari Tiongkok dan India serta dari tempat-tempat lain di
Indonesia, singgah dan bertemu untuk memuat dan membongkar barang-barang
dagangannya.
Kerajaan Samudra Pasai makin berkembang dalam bidang agama Islam, politik,
perdagangan, dan pelayaran. Hubungan dengan Malaka makin ramai, sehingga di
Malaka pun sejak abad ke-14 timbul corak masyarakat muslim. Perkembangan
masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan akhirnya pada awal abad
ke-15 berdiri kerajaan Islam Malaka.
Para penganut agama Islam diberi hak-hak istimewa, bahkan telah dibangunkan
sebuah masjid untuk mereka. Para pedagang yang singgah di Malaka kemudian
banyak yang menganut agama Islam dan menjadi penyebar agama Islam ke seluruh
kepulauan Nusantara, tempat mereka mengadakan transaksi perdagangan.
Beberapa kerajaan Islam yang berdiri di Nusantara tidak terhubung secara
politik kenegaraan dengan kekhalifahan Islam di masa Turki Utsmani. Hal ini
merujuk pada penjelasan Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Oman Faturrahman (2020) bahwa pengaruh keislaman di wilayah Nusantara ini
memang ada. Namun, Oman menolak argumentasi yang menyebut adanya bekas sistem
ala Turki Utsmani pada kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Nusantara.
Kesultanan yang ada di wilayah Nusantara merupakan kelanjutan dari
kerajaan-kerajaan yang sudah ada di masa pra-Islam berdasarkan referensi dalam
manuskrip Islam dan pra-Islam. Kontak diplomatik memang ada, tetapi klaim yang
menyebutkan bahwa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara merupakan bagian dari
Turki Utsmani adalah dugaan yang tidak berdasar, bahkan bisa dikatakan tidak
benar.
Terkait Turki Utsmani, menurut Philip K Hitti dalam History of the Arabs
(2014), Turki Utsmani merupakan campuran suku-suku Iran di Asia Tengah yang
bergerak dari Mongolia menuju Asia Kecil dan berangsur-angsur menggeser posisi
Bani Saljuk, sepupu mereka.
Badri Yatim dalam Sejarah Peradaban Islam (2003) mengatakan, mereka merupakan
bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara
negeri Tiongkok.
Awal abad ke-14 adalah masa kelahiran Kekhalifahan Usmani. Sebuah kerajaan yang
berpusat di Turki modern dan pernah berkuasa hingga selatan Eropa, barat Asia,
dan utara Afrika. Sementara pada awal abad ke-20 adalah masa
keruntuhannya. Pangkal tragedi tak hanya bersumbu dari gerakan nasionalis
Turki, tetapi juga serangan kekuatan-kekuatan baru maupun lama di sekitar
kerajaan.
Afrika utara adalah teritori Kekhalifahan Utsmani di bagian paling barat.
Italia mengklaim wilayah tersebut dengan dasar kekalahan Utsmani dari perang
melawan Rusia pada tahun 1877-1878. Libya kaya akan mineral dan hanya dijaga
4.000 pasukan Utsmani. Mereka juga beranggapan bahwa masyarakat setempat lebih
suka kepada pemerintahan Italia ketimbang rezim Usmani.
Perang Italo-Turki, meski berskala kecil, efeknya turut memicu gerakan
nasionalisme rakyat Balkan. Semenanjung Balkan hingga awal abad ke-20 masih
menjadi wilayah Eropa yang dikuasai Kekhalifahan Usmani. Setelah beberapa
dekade dijajah, rakyat Balkan tiba-tiba makin bersemangat memberontak.
Jika orang Italia saja bisa mengalahkan Usmani, maka mereka pun mampu
melakukannya. Kekalahan dari Perang Balkan menyebabkan Kekhalifahan Usmani
kehilangan seluruh teritori Eropanya (kini ditandai dengan batas negara Turki
di sebelah barat).
Kekhalifahan Utsmani dibubarkan pada 1 November 1922. Khalifah terakhir, Mehmed
VI, meninggalkan bekas daerah kekuasaannya 16 hari berselang. Majelis Agung
Nasional Turki kemudian mendeklarasikan berdirinya Republik Turki pada 29
Oktober 1923 dengan Ankara sebagai ibu kotanya. Pada 3 Maret 1924, Majelis
Agung Nasional secara resmi membubarkan Kekhalifahan Usmani, menjadikannya
kekhalifahan umat Islam terakhir di muka bumi.
Berdasarkan paparan di atas, secara spesifik bisa dijelaskan bahwa wilayah
kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmani membentang di wilayah Arab (barat Asia),
selatan Eropa, dan utara Afrika. Sedangkan Nusantara merupakan wilayah yang
terletak di Asia bagian tenggara atau Asia Tenggara.
[]
Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar