Bepergian merupakan salah satu sebab seseorang mendapatkan rukhsah atau dispensasi syariat berupa kebolehan melaksanakan shalat jamak, yaitu melaksanakan dua shalat dalam satu waktu, Zuhur jadi satu waktu dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya.
Namun dalam prakteknya, banyak sekali problem yang terjadi dalam pelaksanaan
shalat jamak seperti ini, seiring berbagai peristiwa yang dialami oleh
seseorang saat bepergian. Salah satu hal yang sering terjadi adalah kasus orang
sudah niat jamak ta’khir, namun karena suatu hal, ia berinisiatif untuk
melaksanakan shalat ketika sudah sampai di rumahnya. Misalnya ia niat jamak
ta’khir shalat Zuhur dan Ashar untuk dilaksanakan pada waktu Ashar. Lalu karena
suatu hal, ia berinisiatif melaksanakan dua shalat tersebut saat telah sampai
di rumah padahal sudah masuk waktu Ashar. Dalam keadaan demikian, masih
bolehkah baginya shalat jamak ta’khir di rumahnya? Jika tidak boleh, lalu
bagaimana status shalat pertama (shalat Zuhur atau Maghrib), apakah ia berdosa
karena mengeluarkan shalat tersebut dari waktunya?
Persoalan ini pernah ditanyakan kepada salah satu ulama kenamaan kota Makkah
bermazhab Syafi’i, Syekh Ismail Zain. Syekh Ismail Zain menyatakan
shalat pertama tidak dapat diniati sebagai shalat jamak, tapi berstatus sebagai
shalat qadla’ bi lâ itsmin, yakni shalat qadha namun tidak berdosa bagi
pelakunya. Berikut pertanyaan sekaligus fatwa jawaban dari beliau:
مَا
الْحُكْمُ مَا لَوْ نَوَى وَهُوَ مُسَافِرٌ أَنْ يَجْمَعَ الصَّلَاةَ الأُوْلَى
إلَى وَقْتِ الثَّانِيَةِ فِى وَطَنِهِ أَوْ دَارِ إِقَامَتِهِ، فَهَلْ تَكُوْنُ
الصَّلَاةُ الأُوْلَى قَضَاءً لَا إثْمَ فِيْهِ إذَا فُعِلَتْ فِى وَقْتِ
الثَّانِيَةِ، وَهُوَ مُسْتَقِرٌّ فِى وَطَنِهِ أَوْ دَارِ إقَامَتِهِ، أَوْ
فِيْهِ إثْمٌ؟
Artinya, “Bagaimana hukum dari permasalahan jika musafir menjamak shalat
pertama pada waktu shalat kedua ketika sudah sampai di tempat tinggalnya atau
tempat dirinya bermukim, apakah shalat pertama berstatus sebagai shalat qadha
yang tidak berdosa ketika dilakukan di waktu shalat kedua, sedangkan dia sudah
sampai di tempat tinggal atau tempat bermukimnya? Atau shalat pertama berstatus
qadha, sehingga pelakunya berdosa?
اَلْجَوَابُ:
أَنَّهُ حَيْثُ نَوَى فِي حَالَةِ السَّفَرِ جَمْعَ التَّأْخِيْرِ قَبْلَ خُرُوْجِ
وَقْتِ الصَّلَاةِ الْأُوْلَى بِتَمَامِهَا بِقَدْرِ رَكْعَةٍ—عَلَى خِلَافٍ
فِيْهِ—فَهَذِهِ النِّيَّةُ تُعْتَبَرُ صَحِيْحَةً مُجَوِّزَةً لِلتَّأخِيْرِ.
وَحِيْنَئِذٍ، فَإنْ فَعَلَ الْأُوْلَى فِي وَقْتِ الثَّانِيَةِ قَبْلَ زَوَالِهَا
لِعُذْرٍ تَكُوْنُ أَدَاءً لِكَوْنِهَا تَابِعَةً لِلثَّانِيَةِ فِي الْأَدَاءِ
لِلْعُذْرِ وَقَدْ وُجِدَ إِلَى تَمَامِهَا جَمِيْعًا. وَإنْ فَعَلَهَا فِي وَقْتِ
الثَّانِيَةِ لَكِنْ بَعْدَ زَوَالِ الْعُذْرِ أَوْ زَالَ قَبْلَ فَرَاغِهَا
جَمِيْعًا بِأَنْ طَرَأَ عَلَيْهِ نَحْوُ الْإِقَامَةِ، صَارَتْ قَضَاءً لَا
إِثْمَ فِيْهِ
Artinya, “Jawab, sungguh sekira masih dalam perjalanan ia melakukan niat jamak
ta’khir sebelum keluarnya waktu shalat pertama secara sempurna, sekira masih
tersisa durasi waktu yang cukup digunakan untuk melakukan shalat satu rakaat
pada sisa waktu tersebut—sesuai perbedaan pendapat ulama dalam hal ini—, maka
niat jamak ta'khir tersebut dianggap sebagai niat yang sah dan yang membolehkan
untuk mengakhirkan shalat. Dalam kondisi demikian, jika ia melakukan shalat
pertama di waktu shalat kedua sebelum habisnya waktu shalat kedua dan masih
tetap adanya uzur (berupa bepergian), maka shalat pertama berstatus shalat
ada’, sebab shalat pertama masih mengikuti shalat kedua dalam hal ada’ dan
uzurnya, dan uzur ini betul-betul wujud sampai sempurnanya pelaksanaan shalat
kedua. Namun jika ia melakukan shalat pertama pada waktu kedua, akan tetapi
setelah habisnya uzur (sudah tidak dalam bepergian), atau uzurnya hilang
sebelum selesainya shalat kedua secara keseluruhan, dengan gambaran tiba-tiba
ia bermukim (atau sampai rumah), maka shalat pertama berstatus qadla’ bi
lâitsmin (qadha tanpa dosa bagi pelakuknya).” (Ismail Utsman al-Yamani,
Qurratul ‘Ain bi Fatâwa Ismail Zain, [al-Barakah], halaaman 79).
Syekh Ismail Zain merumuskan hukum qadla’ bi lâ itsmin mengingat dalam
pelaksanaan jamak ta’khir disyaratkan dua hal, (1) niat jamak ta’khir dan (2)
wujudnya uzur. Masing-masing dari dua hal ini memiliki fungsi tersendiri. Niat
jamak ta’khir diperlukan agar orang dibolehkan mengakhirkan shalat pertama;
sedangkan adanya uzur berfungsi agar shalat yang diakhirkan tetap berstatus
sebagai ada’. Karenanya, ketika niat jamak ta’khir telah dilakukannya namun
uzur berupa bepergian telah habis, maka shalat pertama berstatus qadha tapi
pelakunya tidak berdosa, sebab sebelumnya ia telah melakukan niat jamak ta’khir.
Hal ini seperti dijelaskan dalam kelanjutan fatwa Syekh Ismail di atas:
فَإنَّ
النِّيَّةَ الْمَذْكُوْرَةَ شَرْطٌ لِجَوَازِ التَّأْخِيْرِ وَالْإقْدَامِ
عَلَيْهَا. وَأَمَّا دَوَامُ الْعُذْرِ إِلَى التَّمَامِ فَلَيْسَ شَرْطًا
لِذَلِكَ. وَإنَّمَا هُوَ شَرْطٌ لِكَوْنِ الثَّانِيَةِ أَدَاءً فَقَطْ مَعَ
تَقَدُّمِ النِّيَّةِ المُعْتَبَرَةِ
Artinya “Sesungguhnya niat jamak ta’khir merupakan syarat untuk kebolehan
mengakhirkan shalat dari waktunya dan kebolehan melakukannya; sedangkan
berlangsungnya uzur sampai sempurna pelaksanaan shalat bukanlah syarat
kebolehan mengakhirkan shalat dari waktunya, tapi hanya merupakan syarat agar
shalat kedua tetap berstatus ada’ , besertaan telah dilakukannya niat jamak
ta’khir.” (Al-Yamani, Qurratul ‘Ain, halaman 80).
Dengan demikian dapat disimpulkan, hukum melakukan jamak ta’khir di rumah
setelah bepergian adalah tidak diboleh, sebab status shalat pertama adalah
shalat qadha, sehingga tidak dapat diniati sebagai shalat jamak, namun harus
diniati shalat qadha. Akan tetapi meskipun statusnya adalah shalat
qadha, pelakunya tidak berdosa asalkan telah niat jamak ta’khir saat masih
dalam perjalanan yang merupakan sebab kebolehan mengakhirkan shalat pertama
pada waktu shalat kedua.
Meskipun demikian, menurut penulis sebaiknya seorang musafir tetap melakukan
shalat jamak ta’khir ketika masih dalam perjalanan, agar shalat pertama tetap
berstatus sebagai shalat ada’. Dengan demikian, niat jamak ta’khir yang
dilakukan pada waktu shalat pertama betul-betul dapat direalisasikan dalam shalat
jamak dalam arti sesungguhnya. Wallâhu a’lam.
[]
Gus M Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah
Kaliwining, Rambipuji, Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar