Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2022 yang mengatur penggunaan pengeras suara sebenarnya bukan hal baru di lingkungan umat Islam. Selain beberapa negara berpenduduk muslim juga mengatur, penggunaan pengeras suara ini juga menjadi perhatian para ulama.
Di antaranya Sayyid Alawi Al-Maliki (1328-1391 H), tokoh rujukan Ahlussunnah wal Jama’ah dunia yang tinggal di kota suci Makkah.
Dalam Kitab Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil, Sayyid Alawi menjawab pertanyaan tentang
hukum penggunaan pengeras suara (mukabbirus shawt) atau mikrofon untuk
keperluan khutbah dan shalat jamaah. Menurutnya, pengeras suara meskipun
merupakan hal baru di lingkungan umat Islam namun boleh digunakan untuk
keperluan tersebut.
Sayyid Alawi menyampaikan 4 argumentasi yang secara substansial dapat diringkas
sebagai berikut:
Pertama, hukum asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Dalam hal penggunaan pengeras suara tidak ada dalil yang
mengharamkannya, maka orang yang mengharamkannya harus mengajukan dalil yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, pengeras suara sudah digunakan untuk khutbah dan shalat jamaah di Makkah
dan Madinah yang sering dikunjungi ulama seantero dunia, dan tidak ada satu
ulama pun yang memprotes atau mengingkarinya.
Oleh karenanya penggunaan pengeras suara untuk keperluan tersebut menjadi hal yang dapat diterima oleh ulama Islam seluruh dunia sehingga boleh-boleh saja digunakan seiring sabda Nabi saw yang artinya: “Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu baik di sisi Allah” (HR Ahmad).
Ketiga, kaidah fiqih menyatakan al-wasâil lahâ hukmul maqâshid, atau pada
setiap hal yang merupakan perantara diterapkan hukum sesuatu yang menjadi
tujuannya. Bila maksud penggunaan pengeras suara adalah sesuatu yang baik
seperti memperdengarkan khutbah Jumat, membaca Al-Qur’an, sebagai tanda gerakan
Imam shalat sehingga makmum yang jauh di belakangnya dapat mengikuti
gerakannya, maka hukum menggunakannya boleh atau dilegalkan dalam
syariat.
Keempat, penggunaan pengeras suara sebenarnya tidak menimbulkan bahaya dan
tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat. Banyak kemaslahatannya. Namun
demikian andaikan penggunaan pengeras suara ini justru menimbulkan kerusakan
dan mengganggu orang lain maka wajib dihentikan. Sayyid Alawi menegaskan:
والشرع
مبني على درء المفاسد وجلب المصالح، ألا ترى أن مكبر الصوت هذا لو وقع فيه خلل
وتشويش يجب إغلاقه لفوات المقصود منه
Artinya, “Syariat Islam dibangun atas dasar menolak mafsadat dan
mendatangkan kemaslahatan. Ingatlah, sungguh (penggunaan) pengeras suara ini,
andaikan di dalamnya terdapat kerusakan dan gangguan terhadap orang lain, maka
wajib menguncinya (wajib dihentikan), karena tujuan utamanya justru
terabaikan.” (Alawi al-Maliki al-Hasani, Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil, [1413 H],
halaman 174-175).
Nah, dari sini kita lihat, meskipun sebenarnya pengeras suara boleh-boleh saja
digunakan asal untuk kegiatan yang positif, bukan maksiat, namun bila justru
menimbulkan berbagai kerugian dan gangguan terhadap orang lain, semisal karena
terlalu keras memekakan telinga, kualitas alatnya buruk, atau terlalu banyak
alat pengeras yang berbunyi secara bersamaan, maka hukumnya wajib dihentikan.
Sebab bagaimanapun Islam dibangun dalam prinsip yang sangat rasional dan sesuai
dengan akal sehat: dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbil mashâlih, menghindari
kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan. Menghindari
penggunaan pengeras suara yang tidak beraturan sehingga mengganggu dan
merugikan orang lain lebih diprioritaskan daripada menggunakannya meskipun
untuk keperluan ibadah dan dan kebaikan lainnya.
Ketegasan prinsip Sayyid Alawi dalam pengaturan penggunaan pengeras suara
seperti inilah yang kemudian diikuti oleh para ulama di generasi selanjutnya.
Dalam konteks ini Sayyid Zain bin Muhammad bin Husain Alydrus menegaskan:
ولا
يخفى أن استخدام الميكروفون بالسماعات الداخلية وقت الخطبة أو الصلاة فيه مصلحة
ولا إشكال فيه غاليا، وكلامه في ذلك. أما استخدامه بالسماعات الخارجية، ففيه مفاسد
لا يخفى على العقلاء. ولذا قال المالكي: لو وقع فيه خلل وتشويش يجب إغلاقه لفوات
المقصود منه
Artinya, “Tidak samar lagi, sungguh terdapat kemaslahatan dalam penggunaan
mikrofon dengan speaker dalam saat khutbah Jumat atau shalat, secara umum tidak
ada kemusykilan dalam hal itu, dan konteks pendapat Sayyid Alawi Al-Maliki
adalah dalam penggunaan mikrofon dengan speaker dalam seperti itu. Adapun
penggunaan mikrofon dengan speaker luar, maka di situ terdapat berbagai
mafsadat atau kerusakan yang tidak samar lagi bagi orang-orang yang
berakal sehat—lebih banyak menimbulkan gangguan kepada orang lain—. Karenanya
Sayyid Alawi menyatakan: 'Andaikan di dalamnya terdapat kerusakan dan gangguan
terhadap orang lain, maka wajib menguncinya, karena tujuan utamanya justru
terabaikan.'” (Zain bin Muhammad bin Husain Alydrus, I’lâmul Khâsh wal ‘Âmm bi
Anna Iz’âjan Nâsi bil Mikrûfûn Harâm, [Mukalla, Dârul ‘Idrûs: 1435/2014],
halaman 34).
Walhasil, bagi kita yang berakal sehat, bagaimanapun penggunaan pengeras suara
harus diatur, terlebih untuk pengeras suara luar. Bagaimana diatur sebaik
mungkin, baik dari sisi frekuensi volumenya, maupun kualitas suaranya. Jangan
sampai membuat kebisingan dan gangguan suara tidak perlu.
Tidak setiap orang yang mendengarnya adalah jamaah masjid/mushala, tidak
semuanya sedang dalam kondisi sehat dan baik-baik saja. Dari sini kita juga
semakin hati-hati, sebab kebaikan yang dilakukan secara serampangan justru
merugikan banyak orang. Bukankah dengan demikian, Islam juga semakin indah
dalam pandangan khalayak luas? Wallahu a’lam. []
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar