Jam'iyah Nahdlatul Ulama didirikan pada bulan Rajab. Di bulan Rajab, Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari setelah mendapatkan isyarah tongkat dari Syaikhona Kholil Bangkalan, yang merupakan guru dari ulama-ulama besar Nusantara, mendeklarasikan berdirinya NU pada 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926.
Sejak sebelum NU resmi dideklarasikan sebagai sebuah jam’iyah, para ulama
pesantren menaruh perhatian besar terhadap hak-hak kemanusiaan lintas bangsa
dan negara. Termasuk hak-hak kemerdekaan bagi seluruh bangsa di dunia. Sebab
itu, sedari awal perjuangan pesantren tidak hanya menempa masyarakat dengan
ilmu-ilmu agama, tetapi juga membangunkan kesadaran mereka untuk berjuang
melepaskan diri dari belenggu kolonialisme.
Selain melakukan berbagai gerilya perjuangan melawan kolonial Belanda maupun
Jepang, kiai-kiai pesantren juga menaruh perhatian besar terhadap kemerdekaan
rakyat Palestina dari penjajahan kaum Zionis. Perhatian pada kiai pesantren ini
nantinya dibalas oleh rakyat Palestina ketika mereka negeri pertama yang
mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945
bertepatan 9 Ramadhan 1364 H.
Tidak tahan terhadap penjajahan kaum zionis terhadap rakyat Palestina, Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dibawah pimpinan KH Mahfudz Shiddiq pada 12
November 1938, tepatnya di bulan Ramadhan tanggal 19 mengedarkan seruan kepada
seluruh ormas Islam di Indonesia.
Seruan yang diinisiasi NU tersebut mengajak kepada seluruh elemen bangsa untuk
mengambil sikap tegas atas apa yang dilakukan oleh bangsa Yahudi. NU menyerukan
kepada umat Islam agar bahu-membahu dengan rakyat Palestina dalam
memperjuangkan agama dan kemerdekaan tanah air mereka dari cengkeraman kaum
penjajah dan komplotan zionisme. (baca KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari
Pesantren, 2013: 426)
Gerakan perlawanan juga dilakukan dengan kegiatan ‘Palestina Fons’ (Dana
Palestina) sebagai bantuan untuk meringankan beban perjuangan penderitaan.
Bukan hanya dengan penggalangan dana, tetapi cabang-cabang NU di seluruh
Indonesia juga melakukan gerakan ‘Pekan Rajabiyah’.
Gerakan tersebut atas instruksi PBNU agar setiap tanggal 27 Rajab sebagai
‘Pekan Rajabiyah’. Sebuah pekan yang menggabungkan perayaan Isra’ Mi’raj Nabi
Muhammad SAW dengan solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina merdeka.
Kepada seluruh warga NU dan umat Islam pada umumnya, PBNU menganjurkan agar
tiap-tiap shalat fardhu membaca Qunut Nazilah. Anjuran yang dibuat PBNU itu
membuat KH Mahfudz Shiddiq dipanggil regent (bupati) Surabaya. Ia diberi tahu
perintah Hoofdparket (setingkat jaksa agung) yang melarang qunut nazilah dan
kegiatan Pekan Rajabiyah.
Pelarangan kegiatan yang diinisiasi PBNU itu mendapat pembelaan dari Haji Agus
Salim, Pengurus Besar PSII. Ia menulis pembelaan tersebut dalam surat kabar
Tjahaja Timoer. Ulama Nusantara, khususnya kiai-kiai pesantren memang tidak
tanggung-tanggung dalam melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan.
Hingga saat ini, ulama pesantren terus-menerus mendorong Pemerintah RI agar
mengupayakan kedaulatan bangsa Palestina di tengah ekspansi permukiman yang
dilakukan orang-orang Israel. Kedaulatan diperoleh rakyat Palestina di meja
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, hal itu tidak sejurus dengan kondisi di
lapangan, di mana rakyat Palestina masih terus berusaha memperoleh
kedaulatannya. []
Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar