Kamis, 28 Februari 2013

(Ngaji of the Day) Tiga Tanduk Setan: Inggris, Ibnu Saud, Wahabi


Tiga Tanduk Setan: Inggris, Ibnu Saud, Wahabi

Oleh : Moh. Achyat Ahmad

 

Paham Wahabi muncul pada pertengah abad 18 di Dir’iyyah, sebuah dusun terpencil di Jazirah Arab. Kata Wahabi ini dambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul-Wahhab (1703-1792).


Namun, kendati Ibnu Abdul Wahhab dianggap sebagai Bapak Wahabisme, faktanya Kerajaan Inggris-lah yang membidani kelahirannya dengan gagasan-gagasan Wahabisme, dan merekayasa Muhammad bin Abdul-Wahhab sebagai Imam dan pendiri Wahabisme, untuk tujuan menghacurkan Islam dari dalam, dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah.


Ketika berada di Basra, Irak, Ibnu Abdul-Wahhab muda jatuh dalam pengaruh dan kendali seorang mata-mata Inggris, Hempher, yang sedang menyamar. Ia salah satu seorang mata-mata yang dikirim London untuk negeri-negeri Muslim di Timur Tengah untuk menggoyang Kekhalifaan Utsmaniyyah dan menciptakan konflik di antara kaum Muslim.


Hempher, dengan berbagai pendekatan mengesankan yang dilakukannya, telah berhasil mencuci otak Ibnu Abdul-Wahhab dengan meyakinkannya bahwa orang-orang Islam mesti dibunuh, karena mereka telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar. Mereka semua telah melakukan perbuatan-perbuatan bidah dan syirik.


Hempher juga menciptakan mimpi liar dan mengatakan bahwa dia bermimpi Nabi Muhammad SAW mencium kening (di antara kedua mata) Ibnu Abdul-Wahhab, bahwa dia akan jadi orang besar, dan meminta kepadanya untuk menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari berbagai bidah dan takhayul.


Akhirnya, setelah kembali ke Najd, Ibnu Abdul-Wahhab mulai berdakwah dengan gagasan liarnya di Uyayna. Karena dakwahnya yang keras itu, akhirnya ia disusir dari tempat kelahirannya. Kemudian dia pergi berdakwah di dekat Dir’iyyah, di mana sahabat karibnya, Hempher dan beberapa mata-mata Inggris lainnya yang ada dalam penyamaran, ikut bergabung dengannya.


Sebetulnya banyak pihak yang menentang ajaran Ibnu Abdul-Wahhab yang keras dan kaku itu, termasuk ayah kandungnya sendiri dan saudaranya, Sulaiman Ibnu Abdul-Wahhab. Namun dengan uang, mata-mata Inggris telah berhasil membujuk Syekh Dir’iyyah, Muhammad Saud, untuk mendukung Ibnu Abdul-Wahhab.


Akhirnya, pada tahun 1744, Saud menggabungkan kekuatan dengan Ibnu Abdul-Wahhab dengan membangun sebuah aliansi politik, agama, dan perkawinan. Dengan aliansi ini, antara keluarga Saud dan Ibnu Abdul-Wahhab, yang hingga saat ini masih eksis, Wahabisme sebagai sebuah “agama” dan gerakan politik telah lahir!


Sebagai hasil aliansi Saudi-Wahabi pada 1774 ini, sebuah kekautan angtan perang kecil dibangun, yang terdiri dari orang-orang Arab Badui, terbentuk melalui mata-mata Inggris yang melengkapi mereka dengan uang dan persenjataan.


Sampai pada waktunya, angkatan perang ini pun berkembang menjadi sebuah ancaman besar yang pada akhirnya melakukan teror di seluruh Jazirah Arab sampai ke Suriah, dan menjadi penyebab munculnya fitnah terburuk di dalam sejarah Islam.


Sebagai contoh, untuk memberantas apa yang mereka sebut sebagai syirik dan bidah, Saudi-Wahabi telah mengejutkan seluruh dunia Islam pada 1801, dengan tindakan brutal menghancurkan makam Sayidina Husein bin Ali di Karbala, Irak. Mereka juga tanpa ampun membantai lebih dari 4.000 orang di Karbala dan merampok lebih dari 4.000 unta yang mereka bawa sebagai harta rampasan.


Sekali lagi, pada 1081, kaum Wahabi dengan kejam membunuh penduduk tak berdosa di sepanjang Jazirah Arab. Mereka menjajah banyak kafilah peziarah dan sebagian besar di kota-kota Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah, mereka menyerang dan menodai Masjid Nabawi, membongkar makam Nabi.


Para teroris Saudi-Wahabi ini telah melakukan tindak kejahatan yang menimbulkan kemarahan kaum Muslimin di seluruh dunia, termasuk Kekhalifaah Utsmaniyyah di Istanbul. Sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas keamanan Jazirah Arab, Khalifah Mahmud II memerintah sebuah angkatan perang Mesir dikirim ke Jazirah Arab untuk menghukum klan Saudi-Wahabi.


Bagaimanapun, beberapa anggota Dinasti Saudi-Wahabi sudah mengatur untuk melarikan diri; di antara mereka adalah Imam Abdul-Rahman al-Saud dan putranya yang masih remaja, Abdul-Aziz. Dengan cepat keduanya melarikan diri ke Kuwait yang dikontrol Kolonial Inggris.


Ketika di Kuwait, Abdul-Rahman dan putranya, Abdul-Aziz memohon uang, persenjataan dan bantuan kepada Inggris untuk merebut kembali Riyadh. Maka, melalui strategi licin, Kolonial Inggris dengan cepat menghancurkan Kekhalifaan Islam Utsmaniyyah dan sekutunya klan al-Rasyid secara menyeluruh, dan Kolonial Inggris pun memberi sokongan kepada Imam baru Wahabi, Abdul-Aziz.


Pada 1902, akhiranya Abdul-Aziz si Imam Wahabi berhasil merebut Riyadh. Salah satu tindakan biadab Imam baru Wahabi ini adalah menteror penduduknya dengan memaku kepala al-Rasyid pada pintu gerbang kota. Abdul-Aziz dan para pengikut fanatik Wahabi-nya juga membakar hidup-hidup 1.200 orang sampai mati.


Imam Wahabi, Abdul-Aziz, yang dikenal di Barat sebagai Ibnu Saud ini, sangat dicintai oleh majikan Inggrisnya. Banyak pejabat dan utusan Pemerintah Kolonial Inggis di wilayah Teluk Arab sering menemui dan mengunjunginya, dan dengan murah hati mereka mendukungnya dengan uang, senjata, dan para penasihat.


Kini, berangsur-angsur Imam Abdul-Aziz dengan bengis dapat menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab di bawah panji-panji Wahabisme untuk mendirikan Kerajaan Saudi-Wahabi ke-3, yang kini disebut “Kerajaan Saudi Arabia”. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar