Rabu, 27 Februari 2013

(Ngaji of the Day) Akidah Islam: Histori Awal dan Alur Mayoritas


Akidah Islam: Histori Awal dan Alur Mayoritas

Oleh: Ahmad Biyadi

 

Faktor Munculnya Perbedaan

 

Seperti dalam ramalan bahwa Islam akan terpecah dalam begitu banyak aliran. Perbedaan keyakinan terjadi tidak lama setelah ramalan diucapkan. Pada abad pertama, di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib mulai muncul benih golongan pemberontak yang kemudian dikenal dengan Khawarij.

 

Faktor politik menjadi alasan utama mereka memberontak. Tapi itu berujung pada perdebatan pemikiran, utamanya tentang status pelaku dosa besar, apakah masih dianggap muslim ataukah kafir. Seiring waktu, golongan ini menyinggung ranah teologi tentang bagaimana status pelaku dosa besar. Apakah mereka muslim ataukah telah kafir. Perdebatan pun muncul. Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar diimbangi oleh golongan Murji’ah yang ‘kebablasan’ dengan berpendapat perbuatan dosa sama sekali tak berpengaruh pada status kafir atau muslim.

 

Perdebatan itu merembet pada tema-tema tentang takdir, kekuatan manusia, dan sifat Tuhan, yang membawa para tokoh pada akhir abad pertama hijriah dalam perbedaan pendapat. Sejak saat itu, banyak di antara mereka memunculkan pemikiran-pemikiran baru tentang tema-tema tersebut. Hingga muncullah pendapat-pendapat yang kerap kali ada kemiripan dengan keyakinan di luar Islam. Misalnya di Persia, ada keyakinan bahwa manusia adalah penguasa terhadap dirinya dan Tuhan sama sekali tidak berhak menentukan perbuatan manusia. Keyakinan ini menyusup dan berbuah menjadi paham Qadariyah. Kemudian lawan dari paham ini muncul dan dikenal dengan paham Jabariyah atau Jahmiyah.

 

Pengkultusan kepada tokoh yang dilakukan oleh orang Yahudi diusung oleh seorang penyusup yang pura-pura masuk Islam bernama Abdullah bin Saba’ dan akhirnya memunculkan paham Syiah. Seiring waktu, Syiah terus berkembang dan akhirnya melahirkan banyak aliran sempalan, satu di antaranya adalah Batiniyah yang pernah berkuasa di berbagai belahan negara Islam.

 

Begitulah, aliran-aliran itu muncul dan berusaha menabrak keyakinan-keyakinan yang telah ada pada mayoritas umat Islam saat itu. Para ulama berusaha melakukan penolakan dan bantahan. Sehingga sebagian besar dari golongan itu kalah dan dibasmi oleh pemerintah, seperti Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah. Sebagian lagi justru dapat mengambil alih kekuasaan dan terus berkembang dalam waktu yang lama, bahkan mungkin hingga saat ini, misalnya Bathiniyah dan Syiah.

 

Mungkin saja aliran-aliran itu telah musnah berabad-abad yang lalu. Tapi pola pemikiran dan keyakinan salah mereka bisa saja muncul di suatu titik sejarah dengan berbagai macam perkawinan silang keyakinan. Misalnya keyakinan tentang pengkultusan seseorang yang pernah dilakukan oleh Bathiniyah, dengan menganggap pemimpinnya adalah seorang nabi, muncul kembali dengan wajah baru; Ahmadiyah.

 

Otoritas kuasa bagi manusia dan Tuhan tak memiliki wewenang dalam menciptakan perbuatan manusia seolah berenkarnasi dan hidup kembali dengan nama baru; Islam Liberal. Keyakinan itu dulu pernah diusung oleh golongan yang pernah menguasai pemerintahan, yaitu Muktazilah. Tentu saja, Islam Liberal bukan 100 % Muktazilah.

 

Begitulah sejarah teologi Islam hidup. Keyakinan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, bertabrakan dengan banyak sekali lempengan keyakinan yang berasal dari luar Islam. Sehingga para ulama sejak masa awal berusaha melakukan penolakan dan pembentengan dengan menjelaskan kesalahan dan perbedaan keyakinan mereka dengan apa yang ada pada masa Rasulullah saw.

 

***

 

Mehamami Makna Salaf

 

Sangat logis bahwa yang paling pantas menafsiri al-Quran adalah orang yang membawa al-Quran itu sendiri, Nabi Muhammad saw. Beliaulah yang paling memahami apa yang dimaksud dalam al-Quran. Jelas.

 

Dan sangat rasional bahwa yang paling mengerti pada apa yang dikehendaki Nabi saw adalah para sahabatnya. Mereka paham betul pada kondisi sosiologis-psikologis saat itu, karakter lawan bicara (mukhâtab) dalam teks hadis, dan hal-hal lain yang tak tertulis dalam teks. Saksi sejarah jelas lebih paham dari sekadar peneliti sejarah.

 

Pun begitu dengan tabiin dan tabi tabiin. Mereka hidup saat Islam masih belum (banyak) digempur oleh bidah-bidah dari luar Islam.

 

Selain itu, mereka juga memiliki karakter bahasa Arab yang masih murni, sehingga lebih kuat dalam memahami nash al-Quran dan Hadis, misalnya intensitas penekanan kata perintah, atau konotasi makna dari suatu kata.

 

Dalam sebuah Hadis sahih Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah zamanku, lalu orang-orang setelahnya, lalu orang-orang setelahnya. Kemudian datanglah golongan-golongan yang persaksiannya mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya” Tiga generasi awal itulah yang disebut dengan salaf, yaitu masa Rasulullah saw beserta sahabat, masa tabiin, dan masa tabi tabiin. Merekalah golongan yang dipastikan baik oleh Rasulullah saw. Sehingga golongan manapun yang berusaha untuk sama dengan mereka, juga akan berada dalam kebaikan seperti mereka. Golongan-golongan itu disebut dengan pengikut salaf atau salafi. Maka salafi bukanlah nama dari suatu golongan tertentu seperti yang diklaim oleh kaum Wahhabi, melainkan nama dari golongan manapun yang berusaha untuk meniru tiga generasi awal umat Islam.

 

Perubahan Sistematis

 

Tiga generasi itu, meski tak lebih dari tiga abad, telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan di sana-sini. Perubahan-meski beragam-membentuk satu warna; mempertahankan kebenaran agar Islam tetap sama seperti awal munculnya.

 

Dalam ranah akidah, awalnya para sahabat tidak berani untuk bertanya tentang hal-hal ghaib yang tak bisa diketahui kecuali dari wahyu, semisal qadhâ’-qadr dan rûh. Namun di masa tabiin, seiring dengan masuk Islamnya orang-orang non-arab yang telah memiliki keyakinan nyeleneh sebelumnya, para sahabat banyak melakukan perdebatan tentang tema-tema ‘sakral’ itu. Tidak lain, demi menjaga akidah yang benar.

 

Dalam ranah fikih, sebuah hadis tentang larangan banyak tanya, membuat para sahabat enggan bertanya tentang hukum yang belum ada penjelasannya, karena takut terjerembab pada ancaman dosa di hadis tersebut. Penggunaan akal (baca ra’yu) dalam memutuskan hukum juga merupakan hal yang aneh saat itu. Namun, saat Islam telah menyebar ke berbagai negara, mau tidak mau, akal digunakan dalam ‘memperlebar’ hukum fikih. Abdullah bin abbas ra misalnya, setelah hijrah ke Iraq justru dikenal dengan pakar ra’yu dalam memutuskan hukum, padahal di Makkah beliau sangat enggan menggunakannya, bahkan juga melarangnya. Sekali lagi, itu tidak lain untuk menjaga syariat Islam agar tetap sesuai dengan ‘keinginan langit’.

 

Selanjutnya di masa tabiin-atau tabiit-tabiin-muncullah al-fiqh al-fardi (hukum fikih terhadap kasus fiktif). Imam Abu Hanifah dikenal dengan sebagai pelopornya. Dan akhirnya Imam Syafii melakukan kodifikasi aturan mengolah fikih (baca ushul fikih) pertama kali yang sebenarnya telah diterapkan sejak masa Nabi saw. Lalu di masa ulama khalaf (ulama setelah salaf), muncul pula al-qawâid al-fiqhiyah (benang merah dari beberapa hukum yang telah ditetapkan oleh ulama fikih). Itu semua sangat penting perannya dalam menjaga fikih, agar hukum Islam tidak ditetapkan secara serampangan oleh orang yang tidak paham. Karena tentu saja, fikih bukanlah hukum ciptaan manusia yang bisa ditetapkan atas dasar kesepakatan, tapi fikih adalah aturan Tuhan (baca: nash).

 

Dalam ranah tasawuf, memang istilah-istilah seperti fanâ’, jadzb, syathh, tidak muncul pada tiga generasi itu, bahkan kata tasawuf sendiri pun juga masih dipertentangkan berasal dari mana. Namun, itu tidak berarti tasawuf hanya buatan atau campuran filsafat Yunani. Imam Malik yang tergolong seorang tabiit tabiin mengungkapkan, “Siapa yang [melaksanakan] fikih tapi tidak bertasawuf, maka dia fasik. Dan siapa yang bertasawuf tapi tidak [melaksanakan] fikih, maka dia kafir zindiq.” Perkataan Imam Malik ini menunjukkan bahwa penggunaan kata tasawuf memang telah ada sejak masa salaf, lebih-lebih tentang perilaku tasawuf itu sendiri.

 

Seorang sahabat bernama Suhaib ar-Rumi ditahan oleh Quraisy Makkah, hingga dia tidak bisa menyusul Rasulullah saw ke Madinah, kecuali menyerahkan seluruh hartanya. Maka ia tinggalkan harta, demi mencari ridha Allah dengan berhijrah ke Madinah. Maka turunlah ayat, “Dan di antara orang-orang ada seorang yang menjual dirinya demi mencari ridha Allah” (QS. Al-Baqarah [2]: 207)

 

Kisah Suhaib ini adalah contoh bagaimana para sahabat melakukan banyak cara demi mencari ridha Allah. Dan itu merupakan ruh dari tasawuf.

 

Barulah pada masa pasca salaf, istilah-istilah dalam dunia tasawuf muncul. Ragam pembahasan tentang sifat dan hati mulai marak. Tujuannya adalah sama seperti apa yang dilakukan oleh para sahabat, yaitu menyucikan hati dan ikhlas mencari ridha ilahi.

 

Membangun Benteng

 

Ketika Nabi saw masih ada, dialog dan perdebatan tentang akidah menjadi hal yang tabu. Pemahaman terhadap ayat al-Quran dan hadis yang mutasyabih jarang-kalau enggan berkata tidak ada-yang memiliki pemikiran nyeleneh. Akan tetapi, seiring waktu, dengan semakin banyaknya orang masuk Islam, dan kian banyaknya ‘pemikiran’ baru di benak mereka, maka dialog, penjelasan, penakwilan, dan perumusan keyakinan dilakukan sebagai langkah antisipatif agar tidak terjadi kesalahan dalam meyakini akidah Islam.

Sejak masa sahabat saja, banyak dari mereka melakukan dialog dan perdebatan terhadap orang yang salah keyakinan. Ambil saja sebagai contoh, Ali bin Abi Thalib ra yang berdialog dengan seorang bapak tua dari Syam tentang Qadha dan Qadar. Padahal terdapat perintah Hadis Nabi saw untuk tidak berdialog tentang Qadar (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Misalnya juga penakwilan Abdullah bin Abbas ra terhadap kata ayd (Adz-Dzariyat [17]: 47) dengan makna kekuatan dan Mujahid ra yang menakwil kata wajhullâh (al-Baqarah [2]: 115) dengan kiblat.

 

Belum lagi dialog dan bantahan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tabiin semacam Hasan al-Basri, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman bin Yasar, Atha’ bin Abi Rabbah, Thawus bin Kaisan, dan lain sebagainya.

 

Lalu saat pemerintah dikuasai kelompok Muktazilah dan memaksakan pemikirannya sekitar tahun 260 H, plus golongan Qadariyah yang juga merajalela dengan keyakinan menyimpangnya, semisal bahwa kebaikan adalah ciptaan Allah, sedangkan keburukan adalah dari setan. Maka Abu Hasan al-Asyari-dan dilanjutkan oleh muridnya al-Maturidi-tampil memberikan penolakan pemikiran dengan banyak melakukan dialog dan perdebatan. Mereka menjelaskan bagaimana keyakinan para sahabat dan tabiin serta bukti al-Quran, Hadis, dan data histori. Maka dari itu muncullah ilmu kalam yang mencakup rumusan-rumusan akidah seputar sifat Allah, qadhâ’-qadr, dan hal lain. Rumusan ini tidak lebih dari sekadar terminologi (pengistilahan) terhadap keyakinan yang telah ada sejak masa Nabi saw, seperti halnya ilmu nahwu sebagai terminologi gramatika bahasa Arab.

 

Selanjutnya pada kisaran abad ke-3 sampai 5 hijriah, ilmu filsafat mencuat ke permukaan. Informasi tentang filsafat Yunani kian hangat di dunia pemikiran Islam. Pemahaman tentang Tuhan, sifat-Nya, agama sebagai bagian sosilogis masyarakat, alam semesta, sains, dan lain sebagainya banyak berseberangan dengan apa yang ada pada Islam. Maka Imam Ghazali hadir sebagai penyeleksi ilmu filsafat-setelah sebelumnya beberapa ulama melakukan penolakan dan bantahan. Imam Ghazali memilah mana bagian filsafat yang sesuai dengan pemikiran Islam dan mana yang tidak. Rumusan beliau menjadi rujukan untuk memasukkan filsafat ke dalam dunia Islam. Hingga saat ini, filsafat telah beradaptasi dengan Islam dan menjadi bagian dari studi keilmuan Islam.

 

Begitu pula dengan ulama kontemporer. Islam bergesekan dengan pemikiran baru yang jarang dibahas dalam ilmu kalam sebelumnya, semisal kesetaraan gender, pluralisme, reinkarnasi, atau juga pemikiran lama yang tampil dengan wajah baru, semisal takdir di tangan manusia, kematian Tuhan, ateisme. Para ulama melakukan penolakan, perumusan, penjelasan pemikiran Islam tentang topik-topik tersebut agar semua itu bisa lebur pada pemikiran Islam yang benar.

 

Walhasil, begitu ragamnya perubahan yang terjadi pada tiga generasi itu telah melahirkan konsep-konsep dalam berbagai segmen kehidupan islami. Konsep itu tak lain adalah untuk menyelaraskan perilaku umat di zaman berikutnya agar sama dengan Islam saat pertama kali turun. Dan siapapun yang bergerak untuk memahami konsep itu lalu mempraktekkannya dalam kehidupan, maka dialah salafi atau pengikut salaf. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar