Rabu, 13 Februari 2013

BamSoet: Menguji Efektivitas Inpres

Menguji Efektivitas Inpres

 

Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI/

Presidium Nasional KAHMI 2012-2017 

 

EFEKTIVITAS Instruksi presiden (Inpres) No. 2/2013 tentang penanganan konflik dan keamanan langung diuji beberapa hari setelah diterbitkan. Mengacu pada rusuh pascapengumuman pemenang Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Inpres ini nyata-nyata tidak efektif menjaga stabilitas dan ketertiban umum.

 

Ketika memberi pembekalan pada rapat kerja pemerintah tahun 2013, Senin (28/1) di Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengumumkankan,  "Hari ini saya mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 2013…”. Dengan terbitnya inpres ini, presiden minta aparat keamanan tidak ragu lagi bertindak, dan Polri tidak terlambat mengantisipasi gangguan keamanan. Aparat keamanan diberi wewenang menangani  konflik komunal atau aksi kekerasan dengan tegas dan tuntas.

 

Tiga hari kemudian, tepatnya Kamis (31/1), situasi keamanan dan ketertiban kota Makassar tak menentu. Walaupun dikatakan masih kondusif, suasana kota  mencekam karena suhu politik sedang memanas, mengiringi rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel di sebuah hotel. Hari itu, warga Sulsel akan tahu siapa pemenang pemilihan Gubernur yang pemungutan suaranya dilaksanakan beberapa hari sebelumnya.

 

Sekitar pukul 16.00 WITA, kerusuhan akhirnya meledak pascapleno rekapitulasi penghitungan suara Pemilukada Sulsel 2013. Ribuan orang bersenjata batu, parang, dan panah terlibat bentrok, Beberapa kali terdengar bunyi tembakan. Ada tiga korban luka dalam bentrokan antarmassa pendukung calon gubernur di Jl Lasinrang, Makassar. Menurut calon gubernur nomor urut satu, Ilham Arief Sirajuddin, kerusuhan pecah karena polisi setempat tidak tegas.

 

Keamanan dan ketertiban umum di kota Makassar memang sudah pulih. Tetapi, skala kerusuhan itu semestinya bisa diturunkan. Karenanya,  dalam konteks efektivitas dan implementasi Inpres No.2/2013,  rusuh di Makassar itu otomatis melahirkan pertanyaan tentang kesigapan dan cara aparat keamanan setempat mengantisipasi berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan.

  

Mencegah bentrok antarkelompok massa, atau memperkecil skala kerusuhan, tentunya akan jauh lebih baik dibandingkan dengan bertindak melerai dua kelompok massa yang sedang menggelar bentrok berdarah. Langkah preventif itu diyakini sangat bisa dilakukan, dan sudah pasti  akan efektif, bila kepala daerah dan aparat keamanan setempat mengenali betul karakter warga, membangun suasana dialogis dengan semua elemen masyarakat, dan membangun kesadaran bersama akan pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban umum. 

 

Selain itu, Kepala daerah dan jajarannya hingga di tingkat kelurahan serta RT/RW harus mau membangun sinergi dengan aparat keamanan pada radius terdekat. Misalnya, Polsek atau pos polisi terdekat. Dengan pendekatan yang sederhana seperti ini, jajaran Pemerintah daerah dan aparat keamanan setempat akan berkemampuan merekam dinamika masyarakat dari waktu ke waktu, termasuk potensi gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum. 

 

Dari rekaman dinamika masyarakat itulah Kepala daerah dan pimpinan aparat keamanan setempat bisa merumuskan langkah-langkah preventif guna menghilangkan potensi bentrok antarkelompok warga. Begitu juga ketika harus menyiapkan  kekuatan dan peralatan sebagai antisipasi manakala bentrok antarkelompok benar-benar tak dapat dihindarkan.

  

Skala kerusuhan di Makassar mestinya bisa diperkecil oleh jajaran Pemda dan aparat keamanan setempat, karena sudah ada peristiwa-peristiwa kecil yang mendahuluinya. Apalagi, latarbelakangnya terkait dengan pelaksanan dan hasil Pemilukada. Pengalaman mengajarkan bahwa selalu saja ada elemen warga yang tidak puas atas jalannya Pemilukada, melampiaskan ketidakpuasan mereka dengan cara-cara di luar koridor hukum. 

 

Ditambah lagi dengan faktor karakter warga.  Seperti halnya Jakarta, Makassar termasuk kota yang paling sering diwarnai aksi unjuk rasa yang berujung pada bentrok pengunjuk rasa dengan aparat keamanan.  Kalau faktor-faktor ini  sudah diantisipasi dan dikalkulasi dengan cermat, skala kerusuhan  setidaknya bisa diperkecil sehingga tidak harus membuat suasana kota mencekam.

  

Mencegah Konflik

  

Inpres No.2/2013 tentang penanganan konflik dan keamanan memang dirasakan tidak efektif menjaga stabilitas dan ketertiban umum di daerah rawan konflik. Sebab, Inpres itu antisipati. Ketika mengumumkan Inpres itu, Presiden juga menegaskan bahwa Inpres baru ini bertujuan meningkatkan efektivitas penanganan gangguan keamanan di seluruh tanah air.

 

Sebagaimana penjelasan  Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Inpres No.2/2013 memosisikan kepala daerah sebagai koordinator penanganan konflik.

Aparatur negara di wilayah konflik baru bergerak atau bekerja setelah konflik terjadi atau di tengah bara konflik. Artinya, aparatur Pemda dan keamanan setempat dalam posisi menunggu terjadinya konflik. Maka, Inpres No.2/2013 akan berfungsi atau dijalankan pada saat konflik terjadi.

  

Oleh karena itu, Inpres No.2/2013 tidak efektif untuk menjaga stabilitas dan ketertiban umum di wilayah rawan konflik. Sebab, idealnya. aparatur pemerintah daerah (Pemda) dan kepolisian daerah semestinya pro aktif mencegah konflik.

  

Seharusnya,  presiden melengkapi Inpres No.2/2013 dengan menerbitkan  instruksi lain yang berisi perintah kepada semua kepala daerah dan aparat keamanan  daerah untuk pro aktif mencegah terjadinya konflik. Sebagaimana diketahui bersama, dalam tahun-tahun terakhir ini, terorisme, konflik horizontal,  aksi kekerasan oleh sekelompok massa dan benturan sosial begitu sering terjadi di sejumlah daerah. Masyarakat merasakan ketidaknyamanan itu, dan mengeluhkan situasi keamanan dan ketertiban umum yang tidak terjaga.

 

Kalau ada kepedulian dari pemerintah pusat dan daerah, serta aparat keamanan pada semua tingkatan, konflik horizontal dan aksi kekerasan bisa diminimalisir. Sebab, semua tragedi konflik dan aksi kekerasan tidak terjadi dengan tiba-tiba. Selalu saja ada peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya, yang bisa dijadikan dasar pertimbangan bagi pemerintah untuk melakukan tindakan preventif, serta mengantisipasi kemungkinan terburuk.

 

Warga di daerah rawan konflik tidak ingin lagi diselimuti perasaan was-was. Aparat keamanan pun sudah lelah melerai konflik. Maka, kewajiban pemerintah mewujudkan keamanan dan ketertiban umum harus diubah orientasinya. Bukan lagi melerai dengan pendekatan keamanan, melainkan berorientasi pada langkah-langkah preventif, mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban umum.

  

Satu-satunya cara adalah peningkatan kemampuan aparatur Pemda dan keamanan daerah merekam dinamika masyarakat di wilayahnya masing-masing. Sebab, dari dinamika masyarakat itulah bisa muncul indikator-indikator tentang potensi gangguan keamanan dan ketertiban umum.

  

Apalagi, pemerintah sendiri sudah memiliki data tentang daerah rawan konflik. Kementerian Dalam Negeri mencatat,  Per 2010 terdata 93 konflik dan per 2011 sebanyak 77 konflik. Pada periode Januari-Agustus 2012, terjadi 89 konflik. Sedangkan menurut Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dari 183 daerah tertinggal, 143 di antaranya daerah rawan konflik.

 

Maka, prioritas atau upaya maksimal pencegahan konflik horizontal semestinya difokuskan pada daerah-daerah yang telah terdata oleh Kemendagri dan Kementerian PDT itu. Aparatur Pemda dan keamanan daerah harus mau turun ke bawah, mendata potensi konflik, mengupayakan dialog serta mendorong pihak-pihak yang bertikai untuk musyawarah mufakat.

 

Kalau peran aparatur Pemda dan keamanan daerah efektif mencegah konflik horizontal, stabilitas dan ketertiban umum di daerah otomatis terjaga alias kondusif. []

 

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar