Selasa, 05 Februari 2013

(Buku of the Day) Meluruskan Doktrin MTA; Kritik Atas Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur'an


Ekstrimisme dan Kerancuan Dakwah MTA

 


 

Judul                : Meluruskan Doktrin MTA; Kritik Atas Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an

Penulis             : Nur Hidayat Muhammad

Penerbit            : Muara Progresif, Surabaya

Cetakan            : I, Januari 2013

Tebal                : xiv + 206 hlm.

Peresensi          : Ihya `Ulumuddin*


Dalam banyak hal, warga Nahdliyyin kerap menjadi target dan sasaran beruntun kelompok atau aliran-aliran yang kontra secara aqidah dan amaliah dengan ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Di antara kelompok yang secara gamblang menaruh “ketidaksukaan” kepada warga nahdliyyin ialah MTA atau biasa disebut Majelis Tafsir al-Qur’an, yakni lembaga dakwah yang menyublimasi dirinya menjadi sebuah yayasan dengan pendidirinya Abdullah Thufail Saputra pada 19 September 1972.


Untuk kesekian kalinya, kemunculan MTA merupakan warning bagi warga Nahdliyyin secara khusus, dan umat Islam pada umumnya setelah Syiah, Wahabi, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tablig, Jama’ah Islamiyah dan sebagainya.


Apa yang sejatinya salah dengan MTA, dan mengapa juga kehadirannya menjadi peringatan bagi warga Nahdliyyin? Melalui karya saudara Nur Hidayat Muhammad dalam bentuk bukunya yang berjudul “Meluruskan Doktrin MTA; Kritik Atas Dakwah Majelis Tafsir Al Qur’an di Solo” banyak hal diungkapkan mengenai segala jeroan MTA, yang darinya dapat diambil sebuah pelajaran penting hingga nantinya bisa mengenali secara kaffah MTA dengan segala gerak-tingkah dan dakwahnya yang berpusat di Solo (Surakarta) ini.


Sejak awal pendirian, MTA sudah diindikasi sebagai sebuah organisasi yang tidak “dikehendaki” kelahirannya oleh masyarakat. Dalam situs resminya, MTA mengakui demikian. MTA tidak dikehendaki menjadi ormas/orpol tersendiri di tengah-tengah ormas-ormas dan orpol-orpol Islam lain yang telah ada, dan tidak dikehendaki pula menjadi onderbouw ormas-ormas atau orpol-orpol lain. Untuk memenuhi keinginan ini, bentuk badan hukum yang dipilih adalah yayasan. Pada tanggal 23 Januari tahun 1974, MTA resmi menjadi yayasan dengan akta notaris R. Soegondo Notodiroerjo. (http://www.mta-online.com/sekilas-profil/)


Meski dikenal sebagai sebuah yayasan, dalam pergerakannya ia tidak lazimnya sebuah yayasan. MTA sebagai yayasan mempunyai hidden mission, yakni misi dakwah dan pendoktrinan sebuah ajaran. Kalau boleh disinggung, sedikitnya ada tiga point penting yang perlu dicermati dari ekstrimitas gerakan dakwah dalam ajaran MTA ini. Antara lain, konsep jama’ah MTA, bangunan aqidah MTA, dan manhaj atau metode berpikir MTA.


Pertama, konsep jama’ah yang diyakini MTA ialah memakai sistem Imam yang dibai’at, dita’ati dan dijadikan sebagai panutan seluruh anggota MTA. Lebih ekstrim, jika ada anggota yang keluar dari MTA, tiada lain “hadiahnya” adalah diboikot. Kedua, dalam masalah aqidah, MTA mengingkari syafa’at di akhirat; mengimani kalau orang Islam masuk neraka, maka akan selamanya di neraka tanpa sedikitpun mencicipi surga, sebagaimana pemahaman kelompok Khawarij dan Mu’tazilah; dan mengingkari kesurupan jin dan mengingkari santet.


Begitupun manhaj yang dipedomani MTA, corak berpikir MTA dalam memahami dan mengambil sebuah hukum, porsi akal menduduki peran yang signifikan, bahkan tidak sedikit mereka mengesampingkan hadits-hadits shahih jika ada kontradiksi dengan al-Qur’an. Corak berifikir yang senantiasa mengunggulkan akal semacam ini, tentu akan beriring-kelindan dengan produk-produk ajarannya. Baik dari segi akidah, pemikiran, hukum (fiqih), tradisi-tradisi yang dijalankan, hingga pada lingkup yang lebih luas lagi. Satu misal dalam corak pemikiran MTA, mereka tidak lagi mengakui kredibilitas Ulama’ dan produk-produk ijtihadnya. Justru mereka memposisikan para Ulama’ sebagai kaum Ortodoks (kolot) yang tidak perlu diikuti, karena hanya al-Qur’an dan as-Sunnah saja yang benar menurut mereka.


Di samping pola gerakan MTA yang tergolong ekstrim, MTA juga boleh dikata memasuki wilayah kerancuan, ketidakjelasan dan tidak konsisten dalam berpendapat dan memutuskan sebuah hukum. Tahlil dan shalawat oleh MTA dinilai sesat karena tidak berdasarkan tuntunan Nabi, begitu pun yasinan dan selamatan, dituding sebagai amalan syirik yang tidak pernah sekalipun Nabi ajarkan. Meskipun demikian berani MTA menusuk ke organ-organ amaliah warga Nahdliyyin, disayangkan MTA tidak cukup berani untuk mendialogkan (baca: mempertanggungjawabkan) hasil dari “Ngaji Al-Qur’an Sak Maknane” tersebut di depan masyarakat luas. Wa’allahu ‘alam!


* Peresensi adalah staff di Aswaja NU Center PW NU Jawa Timur.

1 komentar: