Selasa, 12 Februari 2013

Kiai Menolak Supersemar


Kiai Menolak Supersemar

 

Kiai Yahya adalah tipe pejuang yang gigih, ia terlibat aktif selama masa penjajahan Jepang dan agresi Belanda, sehingga ia tahu persis peta politik yang berkembang. Walaupun setelah itu ia pensiun dari aktivitas politik dengan lebih menekuni dunia pesantren dan pengayoman masyarakat, namun kepekaan politiknya tetap tajam apalagi disertai penglihatan batinnya yang cemerlang.

 

Kalau orang lain merayakan dengan eforia perebutan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto pada masa Orde Baru melalui Supersemar, sebaliknya Kiai Yahya mengutuk perbuatan itu, yang dipandang sebagai manipulasi politik Soeharto pada Presiden Soekarno. Sayang pandangan Kiai itu hanya didengar para santrinya dan kolega dekatnya, sementara yang lain lebih percaya pada propaganda para politisi dan siaran media yang manipulatif. Ini berarti pandangan sang Kiai mendahului temuan para sejarawan yang mulai diributkan belakangan ini.

 

Kegeraman Kiai pada Supersemar itu dilampiaskan dengan menyuruh para santrinya melakukan tirakat selama lima hari, dan disertai bacaan ayat Al Quran Surat Al Lahab (Celaka) sebanyak seribu kali. Itulah simbul perlawanan Kiai Yahya terhadap Supersemar yang dianggap sebagai kecelakaan sejarah, yang akan membawa bangsa ini ke neraka. Benar 32 tahun kemudian bangsa ini terjebak pada krisis moral, politik dan ekonomi yang mendalam. Pandangan ini persis dengan analisis Oei Tjoe Tat, yang mengatakan bahwa celakalah orang yang menjebak dan terjebak dalam peristiwa 1965 itu.

 

Di sini ada kelompok yang menjebak, membuat skenario agar orang lain melakukan kekerasan yang kemudian muncul kelompok lain yang terjebak yakni mereka yang melakukan balasan terhadap kekerasan yang terjadi, dan ini dilakukan oleh partai-partai politik, organisasi sosial, lembaga keagamaan, intelektual dan sebagainya, yang semuanya gelap mata melakukan pembalasan.

 

Sementara Kiai Yahya dengan ketajaman mata batinnya melihat semua ini sebagai rekayasa, karena itu ia tidak mau terjebak dengan melibatkan diri dalam skenario itu, demikian pula para santrinya, tetapi yang lain larut dalam emosi massa. Karena itulah dalam berpolitik disamping harus tahu peta politik global, juga perlu disertai ketajaman batin yang tinggi, agar tidak terjebak dalam skenario para petualang politik. (MDZ)

 

Disadur dari buku, Lentera Kehidupan Kiai Yahya, LP3MH, Malang, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar