Selasa, 26 Februari 2013

Mahfud MD: Tidak Ada Sistem Ketatanegaraan Asli


Tidak Ada Sistem Ketatanegaraan Asli

 

Saya sering heran ketika membaca komentar sebagian pakar politik dan ahli ketatanegaraan bahwa sistem ketatanegaraan kita banci, tidak jelas, dan tidak murni. Apalagi belakangan ini intensitas gugatan atas ketidakaslian sistem ketatanegaraan yang seperti itu makin meningkat seiring meningkatnya perdebatan tentang amandemen UUD 1945. Ada yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan kita bukan parlementer, tapi juga bukan presidensial murni.

 

Ada juga yang mengatakan, sistem parlemen kita tak jelas, apakah menganut sistem unikameral, bicameral, atau trikameral. Bahkan, ada yang mengatakan, sistem ketatanegaraan kita "kacau-balau" karena tak mengikuti teori Trias Politika yang asli, sebagaimana dikemukakan Montesquieu.

 

Tak Ada Yang Murni

 

Padahal, dalam kenyataannya, tidak ada satu sistem yang benar-benar asli. Tidak ada teori Trias Politika asli dan tidak ada sistem pemerintahan murni karena hampir semua negara membuat sistem dengan sentuhan dan modifikasi sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan domestiknya.

 

Teori trias Politika yang selalu dikaitkan dengan Montesquieu, misalnya, berasal dari John Locke ketika mengajarkan pemisahan kekuasaan atas legislatif, eksekutif, dan federatif, namun dimodifikasi Montesquieu menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

 

Hasil modifikasi Montesquieu inilah yang dianggap sebagai dasar teori Trias Politika, padahal Montesquieu sendiri mengambilnya dari John Locke; sedangkan nama dan uraian teoresasi tentang Trias Politika itu diberikan Emmanuel Kant. Jadi, yang mana yang asli?

 

Trias Politika yang "dikira" berasal dari Montesquieu itu pun kemudian melahirkan sistem pemerintahan berbeda-beda yang juga dapat dipertanyakan keasliannya. Amerika Serikat melahirkan sistem presidensial yang memisahkan secara tegas antara legislatif dan eksekutif dengan mekanisme checks and balances antar poros-porosnya. Inggris melahirkan sistem parlementer yang menganut supremasi parlemen, sedangkan di Swiss lahir sistem badan pekerja.

 

Uniknya, di negara Montesquieu, Prancis, dianut hybrid parliamentary-presidential system. Montesquieu mengatakan, penerapan yang benar adalah sistem parlementer seperti yang berlaku di Inggris. Jadi, sistem mana yang asli atau murni itu?

 

Tampak jelas, sistem ketatanegaraan yang asli atau murni itu tidak ada karena semuanya merupakan penafsiran dan modifikasi sendiri-sendiri. Amerika, Inggris, Prancis, Swiss, dan lain-lain membuat sistem ketatanegaraan berdasar pilihan politiknya.

 

Berbagai Contoh Kasus

 

Sejak pertengahan April lalu, saya mengunjungi beberapa negara "demokrasi" di Timur Tengah dan Eropa yang ternyata sistem ketatanegaraannya berbeda-beda, meski mengatakan menganut sistem tertentu dari Trias Politika.

 

Lebanon yang menganut sistem parlementer, ternyata, menyerahkan kekuasaan tertentu kepada presiden, yakni kekuasaan bidang pertahanan dan intelijen. Jadi, pemerintahan dilakukan kabinet yang dipimpin perdana menteri, tetapi masalah pemerintahan tertentu dilakukan presiden.

 

Di Jordania juga dianut sistem parlementer, tetapi yang sangat menentukan jabatan perdana menteri adalah raja, bukan parlemen. Di Suriah pemilu untuk 250 kursi parlemen hanya dilakukan untuk memperebutkan 70 kursi karena nama wakil rakyat untuk 180 kursi sudah ditentukan pemerintah dari partai yang berkuasa.

 

Polandia juga menganut sistem parlementer, tetapi uniknya presiden dapat membubarkan parlemen dengan dua alasan. Yakni, jika sampai waktu tertentu parlemen tidak mengesahkan anggaran yang diajukan pemerintah atau jika parlemen tak menyetujui susunan kabinet yang diajukan pemerintah dan sampai waktu tertentu, parlemen tidak mengajukan alternatif untuk menggantikan penolakannya itu.

 

Yang juga menarik di Polandia ialah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan judicial preview atau menilai satu RUU sebelum disahkan oleh (dan atas permintaan) presiden. MK juga dapat melakukan judicial review atas UU yang sudah disahkan presiden jika ada gugatan.

 

Ini aneh karena berarti MK dapat menilai kembali UU yang telah dinyatakan konstitusional oleh MK sebelum UU tersebut disahkan. Tapi, itulah sistem yang dipilih Polandia.

 

Sistem presidensial di Indonesia juga tidak mengikuti pola umum, meski pola umum itu tidak murni juga. Pada umumnya, di dalam sistem presidensial, kekuasaan membentuk UU hanya ada di parlemen, tetapi presiden mempunyai hak veto (hak menolak) yang kemudian dapat diuji kembali melalui sejumlah dukungan minimal tertentu di parlemen.

 

Namun, di Indonesia presiden mempunyai hak bersama DPR untuk membentuk UU. Sistem presidensial seperti yang dianut Indonesia itu hanya dipakai satu negara lain di dunia, yaitu Puerto Rico.

 

Pilihan politik

 

Dapat dikatakan, sistem ketatanegaraan suatu negara adalah pilihan politik yang ditetapkan bangsa yang bersangkutan tanpa harus mengikuti teori atau sistem di negara lain yang dianggap "seolah-olah" asli atau murni. Harus diingat, yang dikatakan teori asli atau yang berlaku di negara lain itu pun lahir karena dibuat dan setiap negara berhak untuk membuat sistem sesuai kebutuhannya.

 

Dalam kaitan dengan perdebatan publik yang sedang berlangsung di Indonesia mengenai hasil dan kemungkinan amandemen (kembali) atas UUD 1945, kita harus berada pada posisi untuk mengatakan bahwa kita pun berhak membuat sistem sesuai dengan kebutuhan kita.

 

Namun, bukan berarti kita tidak boleh ikut atau mengambil teori dan sistem negara lain. Saya hanya ingin mengatakan, kita "tidak harus" tapi juga "tidak dilarang" ikut teori atau sistem yang berlaku di negara lain yang dianggap asli karena sebenarnya yang asli atau murni itu tidak ada. []

 

Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar