Rabu, 20 Februari 2013

Kang Said: Fikih Gratifikasi


Fikih Gratifikasi

Jumat, 15 Februari 2013 | 06:13 WIB

Oleh: KH. Said Aqil Siradj


Negeri kita rupanya makin ”kesurupan”, terus dihujani persoalan penyalahgunaan wewenang.


Setelah soal korupsi yang terus gencar dan terdesentralisasi, kini muncul ke permukaan soal gratifikasi atau hadiah dalam bentuk layanan seks. Meski ini ”lagu lama”, kemunculannya sontak membuat gemas masyarakat. Bukan rahasia lagi, tindakan korupsi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Dalam beberapa penelitian terungkap, banyak kepala daerah menyelewengkan APBD untuk kepentingan pribadi. Selain uang, salah satu modus penyimpangan adalah membayar jasa pemuas seks untuk diberikan kepada oknum tertentu guna melancarkan proyek.


Fakta ini sesungguhnya menyingkap bukan saja diversifikasi korupsi, tetapi juga potret dinamika hukum kita. Di sinilah terdapat blessing in disguise karena terbuka momentum bagi KPK untuk menindaknya. Hal ini mengingat, dalam kasus-kasus seperti itu, selama ini yang lebih ditekankan adalah soal korupsinya, bukan gratifikasi seks yang selama ini tidak digolongkan dalam tindakan korupsi atau suap, kecuali uang yang digunakan dari APBD, misalnya.


Di negara lain, Singapura, misalnya, seseorang bisa didakwa karena menerima gratifikasi seks. Di Indonesia, hukum tersebut belum berlaku. Mestinya kita bisa memasukkan gratifikasi seks dalam jeratan hukum. Bukankah itu suap yang diberikan dalam bentuk lain? Saat ini, KPK tengah membahas kemungkinan mengatur lebih detail gratifikasi seks ini dalam UU Tipikor. Sejauh ini, gratifikasi yang tercantum dalam UU Tipikor terbatas dalam bentuk mata uang rupiah.


Status hukum hadiah


Hadiah—menyitir pendapat Rawwas Qal’ahjie dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’ (1996)—adalah pemberian yang diberikan secara cuma-cuma tanpa imbalan. Hukum asal memberikan hadiah adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi, ”Sebaik-baik sesuatu adalah hadiah. Jika ia masuk pintu (rumah seseorang), maka yang dia masuki pun pasti tertawa.”


Namun, kesunahan tersebut, menurut Syamsuddin al-Sarakhsi dalam kitabnya, Al-Mabsuth (1993), berlaku jika terkait dengan hak yang tak ada kaitannya dengan salah satu pekerjaan untuk mengurus masyarakat. Jika orang itu diangkat untuk menjalankan urusan negara, seperti para hakim dan kepala daerah, dia harus menolak hadiah, khususnya dari orang yang sebelumnya tak pernah memberikan hadiah kepadanya. Sebab, cara itu bisa memengaruhi keputusan. Dalam kasus ini, status hukum hadiah itu adalah bentuk suap (risywah) dan harta haram (suht).


Pasalnya, hadiah yang diberikan kepada pejabat publik itu merupakan harta yang diberikan pihak yang berkepentingan (shahib al-mashlahah), bukan sebagai imbalan karena urusannya terselesaikan, tetapi karena pejabat publik itulah orang yang secara langsung menyelesaikan urusannya, atau dengan bantuannya urusan tersebut terselesaikan. Apakah hadiah diberikan karena keinginan untuk menyelesaikan urusan tertentu, setelah urusan selesai, atau pada saatnya ketika dibutuhkan, pada konteks ini hadiah kepada pejabat publik tersebut statusnya sama dengan suap (risywah). Dengan kata lain, jika hadiah datang karena jabatan, hukumnya haram. Namun, jika hadiah datang bukan karena jabatan, hukumnya halal. Inilah yang dinyatakan baik oleh al-Sarakhsi maupun mayoritas ulama.


Lalu, bagaimana dengan gratifikasi yang diperoleh pejabat publik yang merupakan hadiah dan suap? Sebagaimana definisi yang ada, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, atau fasilitas lain. Gratifikasi dimaksud bisa saja diterima di dalam negeri ataupun di luar negeri, dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.


Contoh kasus yang bisa digolongkan gratifikasi adalah pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif oleh eksekutif karena ini dapat memengaruhi legislasi dan implementasinya, penyediaan biaya tambahan (fee) dari nilai proyek, hadiah pernikahan untuk keluarga pejabat dari pengusaha, dan pengurusan KTP/SIM/paspor yang dipercepat dengan uang tambahan.


Memang, status gratifikasi perlu dibedakan. Jika gratifikasi diberikan oleh pemberinya karena terkait dengan jabatan penerimanya, baik untuk menyelesaikan urusan pada saat itu maupun pada masa yang akan datang, status gratifikasi itu haram. Statusnya sama dengan suap. Namun, jika gratifikasi diberikan oleh pemberinya sama sekali tidak terkait dengan jabatan penerimanya tetapi karena hubungan kekerabatan atau pertemanan yang lazim saling memberi hadiah, gratifikasi seperti ini hukumnya halal.


Dalam fikih ada penegasan, apabila status gratifikasi haram, dilaporkan atau tidak kepada negara, statusnya tetap haram. Ketentuan fikih ini agaknya berbeda dengan yang dinyatakan dalam UU No 20 Tahun 2001. Menurut UU ini, setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah suap, tetapi ketentuan yang sama tak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi itu ke KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima. Ketentuan UU ini tampaknya kalah tegas dibanding pemikiran fikih sehingga dikhawatirkan justru terkesan melegalkan praktik suap dan hadiah yang diharamkan.


Dalam fikih terdapat metode yang dinamakan sadd al-dzari’ah, yaitu upaya preventif agar tak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya mengatur perilaku manusia yang sudah dilakukan, tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini selajur dengan salah satu tujuan hukum Islam, yakni mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Penekanannya pada ”akibat dari perbuatan” tanpa harus melihat motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, perbuatan itu jelas harus dicegah. Artinya, jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), dilaranglah hal-hal yang mengarahkan pada perbuatan itu.


Walhasil, kita perlu mendukung wacana pengaturan lebih detail terkait gratifikasi seks dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, sudah seharusnya hukuman untuk kejahatan ini lebih berat dari gratifikasi uang atau barang. Alasannya, gratifikasi seks tak sekadar kejahatan biasa, tetapi juga menyangkut akhlak dan moralitas. Gratifikasi seks tak sekadar melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi juga hukum keagamaan. Bila pelakunya pejabat, dia sudah tak layak lagi disebut pejabat dan pemimpin. Uang saja haram, apalagi menyangkut seks. Karena itu, jika nantinya aturan ini diterbitkan, perlu disertai penyebutan hukuman yang lebih berat. Tandasnya, perlu ada hukumannya sendiri karena tindakan itu sudah termasuk dalam kategori zina.


Said Aqil Siradj,  Ketua Umum PBNU

 

Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar