Senin, 18 Februari 2013

Mahfud MD: Jangan Putar Balik Jarum Amandemen UUD


Jangan Putar Balik Jarum Amandemen UUD

 

Belakangan ini kita banyak berita tentang adanya gerakan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli setelah UUD tersebut diubah (diamandemen) sampai empat kali. Padahal dulunya untuk mengubah UUD itu susahnya setengah mati. Di masa lalu UUD 1945 yang asli, meminjam istilah yang dipergunakan Syafii Maarif, diberhalakan; siapa pun yang berbicara amandemen atas UUD 1945 menjadi tak aman, tak nyenyak tidur, dan diancam sebagai pelaku subversi.

 

Perjuangan untuk bisa mengubah UUD 1945 memakan waktu lama dan perlu banyak pengorbanan yang berpuncak pada Reformasi 1998 yang spektakuler itu. Setelah itu demokrasi tumbuh, UUD bisa diamandemen sesuai dengan fitrahnya. Berkat reformasi yang menjebol tembok penghalang dilakukannya amandemen, sekarang ini siapa pun boleh mempersoalkan UUD yang sedang berlaku tanpa harus takut ditangkap.

 

UUD 1945 Asli Timbulkan Otoritarianisme

 

Alasan amandemen UUD karena secara real politik dan akademis UUD 1945 yang asli tak pernah dan tak mungkin melahirkan pemerintahan demokratis. Tak bisa dibantah oleh siapapun bahwa sepanjang sejarah Indonesia pada periode-periode berlakunya UUD 1945 di Indonesia, selalu tampil pemerintahan otoriter dan antidemokrasi.

 

Jika dilihat dari periode sistem politik, UUD 1945 pernah berlaku dalam tiga periode yang berbeda, yaitu periode 1945-1959, periode 1959-1966, dan periode 1966-1998/1999. Untuk periode pertama pernah berlaku tiga UUD yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950.

 

Ketika UUD 1945 berlaku pada era Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) dan era Orde Baru (Demokrasi Pancasila) pemerintah yang tampil selalu otoriter-repressif.

 

Memang ada sedikit yang secara artifisial tampak aneh yakni pada periode pertama berlakunya UUD 1945 (1945-1949) yang merupakan empat tahun pertama sistem politik parlementer (1945-1949) yang ternyata melahirkan sistem politik yang demokratis. Namun dapat ditegaskan bahwa demokrasi dapat muncul ketika itu justru karena UUD 1945 tidak diberlakukan di dalam praktik ketatanegaraan melalui Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945. Kedua maklumat tersebut tidak memberlakukan UUD 1945 tanpa mencabutnya secara resmi sehingga terbukalah sistem politik yang demokratis itu.

 

Konstitusionalitas Maklumat itu sendiri bisa dikaitkan dengan konvensi ketatanegaraan karena langsung diterima rakyat. Bisa juga dianggap sebagai hak dan kewenangan asli Presiden/Wakil Presiden sebagai Dwitunggal yang pada saat itu memang memegang kekuasaan MPR, DPR, dan DPA selama belum ada lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD.

 

UUD Produk Situasi

 

Kita dapat mengatakan bahwa upaya kembali ke UUD 1945 yang asli tak dapat diterima atas dasar informasi sejarah dan ilmu konstitusi. Dari aspek sejarah, sejak awal UUD 1945 memang sudah dimaksudkan sebagai UUD interim dan itu bukan hanya diucapkan oleh Bung Karno pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 ketika menyebutnya sebagai "UUD darurat yang dibuat secara kilat" tetapi juga ditulis di dalam UUD 1945 yakni di dalam Aturan Tambahan Pasal I dan Pasal II.

 

Di dalam Aturan Peralihan itu ditegaskan bahwa setelah enam bulan berahirnya Perang Asia Timur Raya (Perang Pasifik) Presiden mengatur segala hal yang ditentukan di dalam UUD, termasuk membentuk MPR (dengan pemilu); dan dalam enam bulan setelah dibentuk MPR bersidang untuk menetapkan UUD. Meski kata "menetapkan" di sana dapat diartikan menetapkan yang sudah ada tetapi jelas konteksnya untuk mengubah agar sifat interim, darurat, dan kilatnya itu menjadi hilang.

 

Pembuat UUD 1945 (yang tergabung di dalam PPKI) tak pernah sombong untuk mengatakan bahwa UUD yang dibuatnya sudah sempurna dan tak bisa diubah. Malah dengan rendah hati mereka membuka jalan agar UUD itu tak sulit untuk diubah. Di dalam pidato-pidato dan kesepakatan mereka ungkapkan bahwa UUD 1945 dibuat "darurat" sebagai syarat formal agar Indonesia merdeka dengan memiliki konstitusi, di dalam pasal 37 diberi cara mengubah UUD 1945, dan di dalam Aturan Tambahan diperintahkan agar MPR membicarakan dan menetapkan UUD yang tepat untuk Indonesia.

 

Para pembuat UUD 1945 dulu tahu persis bahwa tak ada di dunia ini UUD yang tak bisa diubah. Pakar konstitusi KC Wheare di dalam bukunya Modern Constitutions mengatakan bahwa UUD suatu negara adalah resultante atau produk kesepakatan dari situasi politik, sosial, ekonomi pada waktu tertentu. Jika situasi, tuntutan, dan kebutuhan masyarakat berubah maka UUD sebagai resultante juga dapat berubah. Oleh sebab itu, kata Wheare, di dalam setiap UUD harus ada pasal yang mengatur perubahan.

 

Maka boleh saja kita sekarang menyoal dan mengusulkan perubahan UUD yang sedang berlaku, tetapi perubahannya bukan dengan memutar balik jarum sejarah melainkan membuat resultante atau kesepakatan berdasar situasi dan kebutuhan-kebutuhan yang baru. Kalau sangat diperlukan, mari kita lakukan amandemen kelima; tak perlu terlalu melankolis untuk kembali ke UUD 1945 yang asli. []

 

Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar