Rabu, 12 Desember 2012

(Ngaji of the Day) Wahabisme dan Penistaan Terhadap Perempuan


Wahabisme dan Penistaan Terhadap Perempuan

Oleh: Mukti Ali el-Qum

 

Wahabisme merupakan paham yang menitik tekankan pada pandangan literalisme dengan prinsip lâ hukma illâ lillâh (tak ada hukum kecuali milik Allah) seperti sekte Khawarij pada masa klasik. Konsekuensi literalisme adalah menghadirkan masa lalu dalam konteks masa kini tanpa adanya upaya menangkap tujuan-tujuan universal dari teks-teks agama. Sementara prinsip lâ hukma illâ lillâh berorientasi pada totalitas eksklusif dalam beragama dan segenap aturan prosedural yang mengatur berbagai urusan, seperti tathbîq al-syarîah (penerapan syariat) atau penyatuan antara agama dan negara. Tak pelak lagi, pandangan keagamaan seperti ini berimbas pada persoalan pernikahan sebagai bagian dari persoalan syariat yang bernuansa penistaan terhadap perempuan. Paham keagamaan ini semakin menguat dan diperkuat oleh generasi penerusnya, yaitu Abdul Aziz ibn Abdullah ibi Baz dan Utsaimin.


Wahabisme dan nikah kontrak

 

Di kalangan Syi’ah, kita mengenal nikah mut’ah. Sementara di kalangan Wahabi, kita mengenal nikah misyar (tamasya). Perbedaan keduanya sangat tipis, setipis kulit bawang. Nikah mut’ah adalah pernikahan yang pada saat akad disebutkan secara verbal tenggang waktu pernikahan yang disepakati, semisal satu minggu atau satu bulan. Dan bila tenggang waktu itu telah habis maka tali pernikahan pun putus dengan sendirinya.


Adapun nikah misyar adalah sejenis pernikahan yang oleh kalangan Wahabis diistilahkan dengan “nikah dengan niat talak” (al-nikâh bi-niyyah al-thalâq). Artinya, pernikahan yang waktunya dibatasi namun tidak diucapkan secara verbal dalam akad. Niat pembatasan masa pernikahannya telah disepakati atau direncanakan di dalam hati mempelai laki-laki sebelum akad nikah berlangsung. (Lihat: http://www.binbaz.org.sa/mat/26 dan lihat juga http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=3329).


Dengan demikian, perbedaan antara nikah mut’ah dan misyar terletak pada prosedur batas masa pernikahan saja. Akan tetapi substansinya sama; membatasi masa pernikahan. Nikah misyar itulah yang kita kenal sebagai nikah kontrak, nikah seperlunya dan tidak permanen. Nikah misyar adalah upaya kelompok Wahabis untuk berkelit dari mut’ah yang telah dikutuknya sendiri dan sebagai solusi dari jeratan hukum pengharaman mut’ah. Tak ada mut’ah, misyar pun jadi.

 

Fenomena nikah kontrak sangat menjamur dan semarak dilakukan orang Arab Wahabis yang suka melancong ke manca negara, semisal Indonesia. Mereka merasa tidak terbebani oleh rasa bersalah dan dosa, karena sudah mendapatkan legitimasi fatwa dari ulamanya sendiri sebagai tindakan yang dibenarkan. Inilah konsekuensi dari paham literalis yang lebih mementingkan persoalan mekanisme saja—semisal prosedur sebelum atau pada saat akad nikah syarat pembatasan masa pernikahan itu diucapkan—yang lebih banyak bertentangan dengan tujuan mulia sebuah pernikahan.


Jika kita menggunakan nalar maqâshid al-syarî’ah, tujuan dari sebuah pernikahan adalah memuliakan perempuan lantaran hidupnya terjaga dan memiliki orientasi masa depan yang jelas berupa jalinan mahligai rumah tangga dengan mawaddah (cinta), sakinah (tentram) dan rahmah (kasih-sayang) bersama pasangan, dan hifzhu al-nasl (menjaga dan memelihara keturunan) dengan membesarkan dan mendidik anak menjadi manusia yang berguna dan bermanfaat bagi yang lain. Maka nikah misyar, kontrak, justru anti-tesa dari tujuan mulia pernikahan, bahkan merugikan dan menistakan perempuan. Apapun alasan dan argumentasinya, nikah misyar adalah tindakan zhalim yang tidak bisa dibenarkan oleh akal sehat dan bertentangan dengan spirit universalisme agama.


Wahabisme dan nikah dini


Dalam fikih klasik, tak semua ulama sepakat dengan nikah dini. Sebagian ulama membolehkan (jawaz) dan didukung sampai detik ini oleh kalangan Wahabi dengan berbagai alasan, semisal kalau tidak cepat-cepat dinikahkan ditakutkan akan berzina. Tapi ternyata ada beberapa ulama yang tak setuju, yaitu Ibn Sibrimah dan Abu Bakar al-Asham, lantaran tujuan menikah hanya tercapai pada usia dewasa.


Terlepas dari pro dan kontra nikah dini di masa klasik, seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran semakin canggih, didapati bahwa pernikahan dini banyak menimbulkan efek negatif bagi para pelaku, khususnya bagi perempuan. Dr Kartono Mohammad, seorang dokter dan aktivis gender, dalam satu diskusi di Yayasan Kesehatan Perempuan, menyatakan bahwa di antara dampak nikah dini secara biologis adalah ketidaksiapan organ reproduksi sehingga sangat rentan keguguran, pendarahan dan persaingan nutrisi antara janin dan sang ibu yang membutuhkan nutrisi banyak; secara psikologis ketidaksiapan memikul tanggungjawab sebagai orang tua lantaran dalam fase transisi dari kanak-kanak ke dewasa sehingga rentan dengan perceraian dan ketidak harmonisan.


Kaidah fikih memang menyebutkan bahwa segala sesuatu yang netral dalam dirinya sendiri berstatus ibâhah (boleh), ashlu al-hukmi al-ibâhah. Hitam atau putihnya identitas hukum syariat bagi segenap hal atau tindakan baru muncul setelah mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan yaitu positif atau negatif. Dalam konteks ini, pandangan sebagian ulama yang membolehkan nikah dini menjadi pupus dan menjadi melarang karena ternyata berdampak negatif berdasarkan ilmu kedokteran mutakhir dan pertimbangan kemaslahatan. Kita dapat meletakkan masalah nikah dini pada persoalan ta’arudh (benturan) antara hukum boleh (jawaz) dan dilarang karena banyak madharatnya dalam satu waktu, sehingga yang dijadikan landasan hukum adalah pandangan yang melarang. Sebagaimana kaidah fikih; idza ijtama’a al-halâl wa al-harâm, ghuliba al-harâm (Jika berkumpul dalam satu entitas antara yang halal dan yang haram, maka yang dimenangkan adalah hukum haram). Semula nikah dini diperbolehkan, akan tetapi ternyata berdampak buruk, maka kongklusinya nikah dini adalah dilarang. Sejatinya yang menjadi barometer syariat adalah maslahat atau madharat bagi kemanusiaan, bukan prosedural yang bersifat temporal dan parsial yang selama ini menjadi pertimbangan Wahabi.


* Penulis adalah Peneliti Rumah KitaB dan Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar