Kamis, 27 Desember 2012

(Ngaji of the Day) Ruang Khusus bagi Perempuan


Ruang Khusus bagi Perempuan

Oleh: Mukhlisin


Nunuk Murniati, dalam bukunya Getar Gender (2004), menjelaskan bahwa keluarga adalah sebuah organisasi yang di dalamnya terdiri atas seorang suami, istri, baik dengan anak maupun tidak, dan mungkin masih ada orang lain lagi termasuk kakek dan nenek.


Dalam kehidupan keluarga, tentunya membutuhkan kepala keluarga yang akan memimpin dan bertanggung jawab penuh dalam keluarga itu. Tanpa ada seorang pemimpin keluarga, maka bisa dipastikan kehidupan keluarga itu akan amburadul dan berantakan. Oleh sebab itu, setiap kehidupan berkelompok, maka kedudukan seorang pemimpin sangatlah dibutuhkan.


Pemimpin keluarga inilah yang nanti akan mengatur kehidupan keluarga agar menjadi lebih baik. Kepala keluarga ini yang harus bertanggung jawab atas keselamatan atau keamanan keluarganya. Sebagai pemimpin keluarga, maka ia harus berani berkorban dengan jiwa dan raganya demi kebahagiaan keluarganya. Jadi, baik buruk keluarga sangat ditentukan oleh pemimpin keluarga tersebut. Apabila pemimpin keluarga itu mampu mengatur, membimbing, dan menghidupi keluarganya dengan baik, maka akan tercipta kehidupan keluarga yang baik. Demikian pula sebaliknya.


Sebagaimana kita ketahui, biasanya yang menjadi pemimpin keluarga adalah dari pihak laki-laki (ayah). Bisa dikatakan bahwa itu sudah menjadi budaya dari masyarakat. Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa laki-lakilah yang berhak menjadi pemimpin keluarga. Sebab, laki-laki masih dianggap sebagai orang yang lebih kuat daripada perempuan.


Maka dari itu, laki-lakilah yang lebih pantas untuk memimpin keluarga, sedangkan perempuan menjadi ibu rumah tangga. Sebagaimana telah dijelaskan dalam UU Perkawinan RI No. 01/1974, Pasal 31 Ayat 3 bahwa, suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Jadi, dari situ jelas bahwa suamilah yang memiliki kewajiban mencari rezeki (bekerja) untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Dan tugas seorang ibu adalah menjaga dan mengurusi anak-anak dan melayani suami ketika di rumah.


Namun, bagaimana jika yang menjadi kepala keluarga adalah sang istri? Bolehkah perempuan menjadi kepala keluarga? Mampukah ia memimpin keluarga? Dalam pandangan masyarakat umum, kaum perempuan masih dianggap sebagai golongan yang lemah sehingga tidak layak untuk menjadi pemimpin. Seperti yang dikatakan oleh Irwan Abdullah dalam bukunya Sangkan Paran Gender, keberadaan perempuan sebagai kepala keluarga belum diakui oleh sebagian masyarakat. Bahkan juga oleh undang-undang yang ada. Sebaliknya, justru mendapatkan stigma negatif dari masyarakat.


Pandangan yang demikian menunjukkan bahwa masyarakat masih terbelenggu oleh budaya patriarki. Yaitu, budaya yang lebih mengutamakan dan mengistemewakan peran laki-laki di atas kaum perempuan. Dengan demikian, maka sulit rasanya bagi perempuan untuk mendapatkan posisi yang biasanya diduduki oleh kaum laki-laki, walupun hanya sebagai kepala keluarga.


Beban Ganda


Diakui atau tidak, saat ini sudah banyak dari kaum perempuan yang menjadi kepala keluarga. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah keluarga di Indonesia yang dikepalai perempuan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, terdapat 14% dari jumah 65 juta keluarga di Indonesia yang dikepalai perempuan.


Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan –mau tidak mau- ia menjadi pemimpin keluarga. Bukan tanpa alasan perempuan menjadi kepala keluarga. Akan tetapi, banyak hal yang memaksakan dirinya untuk memimpin keluarga.


Pertama, faktor penceraian dalam kehidupan keluarga. Ketika sang istri bercerai dengan suaminya, secara otomatis ia harus menjalani kehidupannya sendiri. Masih mending jika tidak mempunyai anak. Namun, jika ia membawa anak-anaknya, maka ia harus mencari nafkah untuk menghidupi dirinya begitu juga anak-anaknya.


Kedua, perempuan yang suaminya cacat, baik secara fisik maupun mental. Ketika suami dalam keadaan cacat, maka secara tidak langsung ia tidak akan bisa mengelola keluarga. Apalagi mencukupi kebutuhan untuk keluarganya. Oleh sebab itu, sebagai seorang istri maka harus menggantikan posisi suaminya untuk bekerja demi menjaga kelangsungan hidup keluargnya.


Ketiga, perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Walaupun ada perempuan yang langsung menikah lagi ketika ditinggal mati oleh suaminya, akan tetapi banyak juga perempuan yang tidak mau menikah lagi. Atau biasa disebut sebagai “Janda”. Perempuan seperti ini pastinya akan banting tulang untuk merawat, mengurusi, dan mengelola anak-anaknya.


Ruang Khusus


Dalam keadaan seperti demikian, menunjukkan bahwa kekuatan perempuan tidak bisa diremehkan. Tindakan yang dilakukan oleh perempuan bahkan melebihi yang dikerjakan oleh kaum laki-laki. Sebab, selain sebagai ibu rumah tangga, ia juga mampu menjadi kepala keluarga sehigga keadaan menuntut dirinya untuk bekerja. Sungguh luar biasa kekuatan yang dimliki oleh kaum perempuan.


Tugas sang istri sebagai ibu rumah tangga sudah merupakan tugas yang sangat berat. Lantas, bagaimana jika ia juga dipaksa oleh keadaan tertentu untuk menjadi kepala keluarga? Secara logika memang kelihatannya hal itu tidak mungkin. Akan tetapi inilah fakta yang terjadi sekarang ini. Tidak sedikit lagi jumlah perempuan yang memikul beban ganda. Walaupun harus “sempoyongan” dalam bekerja, ia tetap melakukannya demi menghidupi keluarganya.


Oleh sebab itu, sudah sewajarnya bagi kita untuk menghargai atau mengapresiasi tindakan mulia yang dilakukan perempuan. Begitu besar pengorbanan yang dilakukan oleh perempuan demi keluarganya. Maka dari itu, pemerintah perlu mengadvokasi perempuan, terlebih yang menjadi kepala keluarga. Selama ini, perempuan belum begitu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.


Adapaun wujud dari kepedulian pemerintah terhadap perempuan yaitu; pertama, pemerintah harus menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi perempuan. Dengan adanya lapangan pekerjaan ini, perempuan tidak akan susah-payah untuk mencari kerja. Nah, jika ia sudah bekerja, maka ia akan memiliki penghasilan tetap dan bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk keluarganya. Langkah ini dimaksudkan untuk mempermudah perempuan dalam menjalani rodak kehidupan dengan keluarganya.


Kedua, menyediakan ruang-ruang khusus bagi perempuan di jalan umum. Seperti ruang untuk menyusui, berteduh, dan lain sebagainya. Sejauh ini, belum ada tempat-tempat khusus yang disediakan oleh pemerintah, khusus bagi perempuan. Padahal, hal ini sangatlah penting guna menjaga keamanan dan keselamatan kaum perempuan. Akan tetapi, pemerintah kurang memperhatikan hal itu. Dengan adanya ruang khusus tersebut, maka perempuan akan merasa tenang dan nyaman ketika bekerja sambil membawa anaknya. Sebab, ia bisa berhenti atau berteduh kapan dan di mana saja ketika hendak menyusui anaknya.


Maka dari itu, Pemerintah harus lebih memedulikan dan memperhatikan keadaan perempuan, terlebih yang sudah janda. Sebab, seorang janda memikul beban ganda, yaitu ibu rumah tangga dan juga kepala keluarga. Dengan demikian, advokasi pemerintah terhadap perempuan bukanlah hal sampingan, melainkan suatu keniscayaan atau keharusan. Wallahu a’lam bi al-shawab.


Penulis adalah Ketua Pusat Kajian Gender di Monash Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar