Kamis, 13 Desember 2012

(Ngaji of the Day) Saatnya Bijak Memahami Perbedaan


Saatnya Bijak Memahami Perbedaan

Oleh : Ahmad Biyadi

 

Agama Islam adalah agama yang luar biasa. Menghormati perbedaan, tapi tegas berprinsip. Ada batas yang tak boleh diterjang, namun apapun, selagi masih dalam batasan itu, akan selalu ditoleransi. Perbedaan pendapat akan diterima selagi pendapat itu berasaskan pada prinsip dan kapasitas keilmuan yang dicanangkan oleh syariat.

 

Dalam ijtihad fikih misalnya, kita temukan ada begitu banyak mujtahid mutlak yang bisa diikuti. Begitu juga dalam bidang keilmuan yang lain, semisal tafsir dan Hadis. Para pakar yang memiliki otoritas dipersilahkan untuk mengungkapkan kebenaran yang tampak baginya. Aturan itu jelas, siapa punya otoritas, silakan bicara. Dan siapa yang tak sanggup, ngikut saja, tak usah banyak kata.

 

Pun juga begitu dalam ranah fikih rukyah dan hisab. Keduanya berada dalam lingkaran khilafiyah yang kompleks. Ada banyak sekali pendapat yang saling silang. Masing-masing pendapat memiliki dalil dan landasan yang kuat. Hanya saja, terkadang ada pandangan yang dalam fikih tidak diakui sebagai pandangan yang dapat diterima, karena berasaskan tidak pada pola pikir yang dibenarkan. Maka di sinilah kita butuh memahami lebih mendalam perbedaan tersebut, menimbangnya, kemudian menentukan langkah yang sebaiknya kita ambil.

 

Dalam menyikapi perbedaan penetapan hari raya, setidaknya ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Pertama, ragam metode penetapan hari raya. Kedua, itsbat pemerintah dan keharusannya untuk diikuti.

 

Penetapan hari raya dapat ditentukan dengan tiga metode; rukyah (melihat anak bulan), hisab (perhitungan posisi bulan dan matahari dalam kaitannya terhadap anak bulan), istikmal (menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari). Di mana masing-masing dari ketiga metode ini memiliki aturan-aturan yang harus diterapkan. Masalahnya, para pakar berbeda pendapat terkait aturan-aturan ini. Misalnya rukyah dengan teleskop; ada ulama yang menganggapnya cukup ada yang tidak. Atau juga tentang kapasitas hukum sebuah rukyah, apakah berlaku hanya pada daerah tersebut, atau daerah dalam satu mathla’ atau seluruh negeri atau bahkan di seluruh dunia. Para ulama berbeda pandangan dalam hal itu.

 

Selanjutnya tentang hisab, meski ada beberapa ulama yang menolaknya, tidak sedikit pula ulama yang mengiyakannya. Hingga siapapun yang memiliki kemampuan mengetahui kapan terjadinya hilal dengan ilmu perhitungan yang dimilikinya, dia dipersilakan untuk mengamalkan hasil perhitungannya. Dan siapapun yang mempercayai pakar hisab tersebut, juga dipersilakan untuk mengikutinya. Maka dengan begitu, penetapan awal bulan menjadi kian beragam karena banyak pakar hisab yang mengamalkan hasil ilmu hisabnya.

 

Belum lagi perbedaan metode hisab dan jenis hisab yang dipakai. Kesemua itu kian menambah kompleksnya perbedaan pandangan dalam menetapkan awal bulan hijriyah yang menyebabkan sulit–kalau enggan mengatakan mustahil–untuk menyatukannya dalam satu pendapat saja.

 

Di sisi lain, terkadang perbedaan pendapat itu dapat diatasi ketika pemerintah melakukan penetapan (itsbat) awal bulan. Setelah menerima beberapa persaksian rukyah dari berbagai kalangan plus beberapa hasil perhitungan hisabnya, pemerintah kemudian memberikan suatu ketetapan kapan awal bulan terjadi. Dengan begitu, seluruh warga Indonesia bisa berhari raya pada hari yang sama dengan ketetapan pemerintah tersebut. Sebagaimana yang diterapkan di Saudi Arabia, ketika pemerintah memberikan ketetapan hari raya, seluruh warga Saudi Arabia harus tunduk pada ketetapan tersebut.

 

Hanya saja, permasalahan menjadi berbeda ketika asas yang diterapkan di Indonesia adalah asas demokrasi, di mana setiap orang atau kalangan bebas mengikuti pendapat yang berbeda-beda. Kemajemukan rakyat Indonesia dirangkul oleh pemerintah. Hingga kita temukan ada begitu banyak kalangan yang memiliki cara penetapan hari raya yang berbeda satu dengan yang lainnya, bahkan juga dengan ketetapan yang diberikan oleh pemerintah, sebut saja beberapa pondok pesantren dan beberapa organisasi, semisal Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

 

Sikap Kita

 

Pada dasarnya kita, atau siapapun, bebas mengikuti ketetapan hari raya, baik itu ketetapan pemerintah atau kalangan tertentu. Asalkan penetapan itu berdasarkan pada pendapat yang dibenarkan oleh syariat, dan kita mengetahui betul siapa yang memiliki ketetapan itu. Berbeda halnya ketika kita hanya mendengar desas-desus yang tak diketahui kebenarannya. Jika demikian, sebaiknya kita mengikuti ketetapan pemerintah, karena pada dasarnya memang pemerintahlah yang memiliki wewenang untuk itsbat dan mengumumkannya pada masyarakat luas.

 

Tentu saja, saat kita mengikuti suatu ketetapan, kita harus mengikuti konsekwensi penetapan tersebut, semisal salat Id, kaharaman berpuasa, dan lain sebagainya.

 

Kita juga tak perlu mempermasalahkan perbedaan pendapat yang banyak terjadi. Toh, pemerintah yang memiliki wewenang menyatukan hari raya justru memberi masyarakat kebebasan memilih. Biarlah perbedaan itu menjadi ragam warna yang indah, membentuk pelangi rahmat Tuhan. Bersatu bukan berarti tak berbeda, tapi saling menghormati. Wallahu a'lam. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar