Senin, 17 Desember 2012

(Buku of the Day) Tertawa di Negeri Tangis; Renungan Sederhana dari Santri Biasa


Refleksi Keindonesiaan Seorang Santri

 


 

Judul Buku        : Tertawa di Negeri Tangis; Renungan Sederhana dari Santri Biasa

Penulis             : Muhammad A. Idris

Penerbit            : Pustaka Cendikia Muda, Jakarta

Cetakan            : I, November 2012

Tebal                : 97 hal.

Oleh                 : Munawir Aziz*


Keindonesiaan menjadi tema utama dalam catatan para cendekiawan, peneliti, aktifis hingga politisi negeri ini. Tema keindonesiaan menjadi bagian dari refleksi kritis untuk melihat negeri ini di tengah derita batin dan kompleksitas masalah yang menjadi bagian dari narasi sejarah. Melalui buku ini, Muhammad Abdul Idris merefleksikan perasaan hatinya tentang keindonesiaan, keagamaan, kesantrian dan ke-IPNU-an. Buku “Tertawa di Negeri Tangis; Renungan Sederhana dari Santri Biasa” ini berisi 18 esai yang terentang dari proses-proses Idris melihat Indonesia dari perbincangan santri di pelosok Jawa, maupun curhatnya ketika berkeliling Malaysia, Thailand dan Singapura untuk mempromosikan budaya maupun ekspresi toleran warga negeri ini.


Dalam refleksinya, Idris menuliskan bahwa, esai-esai ini adalah secuil ekspresi dari anak kampung yang sempat terpungut dari serakan jalan saat nyantri dipojok-pojok peradaban, di gang-gang lalu lintas, dimana dialektika spiritual dipertaruhkan pada korporasi internasional, fasisme ekonomi menjadi dominan bagi setiap keputusan-keputusan strategis setiap golongan. Akhirnya yang diberlakukan bukanlah “undur ma qila wala tandur man qala” (lihatlah apa yang dibicarakan jangan siapa yang bicara), melainkan sudah lazim bahkan menjadi pasal-pasal sosial-politik atas devinisi eksistensi setiap mahluk posteksistensialisme gaya baru yakni “undur man qala wala tandur ma qila”. Singkatnya, pendapat sudah berkorelasi dengan pendapatan! Siapa yang punya kuasa dalam konteks pendapatan, ia akan mengontrol pendapat.


Curhat keindonesiaan


Buku ini tak sekedar curhat seorang santri ketika melihat fenomena transaksi para penguasa, atau ketika menemukan “Indonesia” di negeri Jiran. Refleksi Idris ini merupakan curhat keindonesiaan, yang ia peras dari pengalaman batinnya, pertemuannya dengan santri-santri di pelosok Nusantara, jerih payahnya mengurus organisasi pelajar NU, hingga memorinya atas tradosi-tradisi pesantren yang menjadi kisah hidupnya. Curhat keindonesiaan Idris ini senada dengan khotbah-khotbah naratif Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Idris, dalam buku ini, seolah menggunakan ekspresi Cak Nun, menggali spirit Gus Dur dan menggabungkannya dengan gairah seorang santri yang bervisi masa depan.


Dalam narasi di buku ini, Idris merenung tentan zaman yang bergerak. “Kalau di zaman Soeharto kebebasan publik itu dijeruji oleh tirani penguasa yang represif, maka dalam situasi illiberal democracy sekarang ini, kita dikerangkeng oleh tirani korporasi yang jahat. Dahulu, para petani tidak berdaya ketika digusur, sekarang korban lumpur Lapindo juga sama tidak berdayanya. Bedanya, kalau dahulu kita berada di bawah tirani militer, sekarang di bawah tirani modal,” ungkap Idris.


Kemudian, ia melanjutkan, “pada titik inilah kita harus secara jeli melihat bahwa demokrasi tidak serta merta membalik keadaan dari situasi represif ke situasi yang bebas, atau dari situasi korup menjadi tidak korup — malah dalam beberapa kasus, gejala korupsi dalam situasi transisi demokrasi justru merajalela. Semua ini akibat demokrasi yang kita gulirkan tidak didampingi oleh nomokrasi dan meritokrasi. Alhasil, demokrasi kita malah melahirkan ‘sontoloyo-krasi’!, (hal. 28). Idris dengan jernih mengungkap tentang sistem sontoloyo-krasi yang menguasai Indonesia.


Refleksi santri untuk NU


Curhat keindonesiaan Idris menjadi elemen penting keberpihakan dirinya terhadap persoalan-persoalan kebangsaan. Refleksi itulah yang menjadi perspektif Idris untuk melihat NU dalam konteks keindonesiaan. Pengalaman Idris dalam mengawal proses kaderisasi di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) menjadi pengalaman berharga untuk melihat visi pemuda dan keindonesiaan. Idris menekankan pentingnya kaderisasi yang sistematis dengan muatan ideologi dan strategi yang bervisi kebangsaan. Idris mencatat, “kaderisasi dimaksud tidak sebatas pelimpahan jenjang kaderisasi, akan tetapi masing-masing lembaga harus serius melakukan upaya-upaya transformasi pengetahuan, tranfer nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, dalam suatu konteks kemitraan dan kebersamaan antar lembaga-lembag ke-NU-an. Kerja ideologisasi inilah yang menjadi kunci utama kualitas kader sebuah organisasi. Di samping itu, kaderisasi yang dilakukan oleh IPNU semestinya tidak sebatas mengenalkan sejarah, visi dan misi, akan tetapi proses kaderisasi yang mampu memberikan stimulan kreatif-positif, indoktrinasi nilai dasar pergerakan (NDP), sehingga kader mampu menjadikan Aswaja (Ahlussunah wal Jamaah) sebagai kerangka acuan spirit gerakan di IPNU” (hal. 35).


Pada kontes yang lebih luas, Idris melihat IPNU dan NU sebagai pintu untuk menyemai keindonesiaan yang toleran dengan praktik keagamaan rahmatan lil-alamin. Pada refleksinya, Idris mengakui bahwa, pada konteks inilah, ia “punya kesempatan menemukan Islam meski dengan ber-NU, menjadi Indonesia di mushola NU, memahami Pancasila di Pesantren NU. Meskipun NU bukanlah agama, tetapi adalah cara efektif mengenal Islam, meski NU tidaklah Negara, ia tetap jalan tercepat menuju Indonesia, meski NU bukanlah Ibu Pertiwi melainkan ia adalah Ibu peradaban Indonesia. ini adalah wasilahku, dan selain NU adalah sedulur-sedulurku, sebab NU bagian dari kampungku, Indonesia adalah halamanku” (hal. vii). Melalui esai-esainya, Idris melihat NU sebagai pintu rahmat untuk Indonesia. []

 

* Kontributor NU Online Pati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar