Selasa, 11 Desember 2012

(Ngaji of the Day) Nikah Sirri, Pezaliman terhadap Pernikahan dan Perempuan


Nikah Sirri, Pezaliman terhadap Pernikahan dan Perempuan

Oleh: Mamang M. Haerudin*)


“Salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan yang dapat menghilangkan hak-haknya adalah nikah sirri, yakni melaksanakan pernikahan rahasia …”(Prof. Dr. M. Quraish Shihab).


Pertama-tama, pernikahan (atau perkawinan) mesti difahami sebagai ikhtiar manusia dalam mengahalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan berbasiskan prinsip ikhlas dan terbuka. Atau bahkan lebih dari itu, bahwa pernikahan itu semata-mata wujud tabarru’, yang berorientasi eskatologis-mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan begitu pernikahan hendaknya tidak dipahami secara parsial laiknya akad jual beli barang dagangan atau untuk pemenuhan hasrat seksual belaka.


Sejalan dengan itu, mengutip konsepsi Cak Nur—sapaan akrab alm. Nurcholish Madjid—bahwa perkawinan (pernikahan) yang baik adalah sebuah ikatan seumur hidup, yang disahkan oleh Tuhan. Perkawinan memerlukan sesuatu lebih banyak daripada sekedar “peduli”, “pemenuhan diri”, dan “komitmen”. Perkawinan memerlukan adanya kesadaran tentang kehadiran Tuhan dalam hidup manusia, kehadiran Sang Mahapencipta yang akan membimbing kita ke jalan yang lurus, jalan kebahagiaan sejati dan abadi. Perkawinan menuntut agar masing-masing kita jujur kepada diri sendiri, kepada jodoh kita masing-masing, dan kepada Tuhan.


Maka patut kiranya jika kita merenungkan bahwa pernikahan itu merupakan sebuah perjanjian yang berat karena banyak mengandung konsekuensi-konsekuensi yang berat pula, “Bagaimana kamu (laki-laki) akan mengambilnya (mahar) padahal kamu sekalian (suami-istri) telah saling bersandar, dan mereka (perempuan) itu telah mendapatkan dari kamu (laki-laki) perjanjian yang berat”. (QS. an-Nisa’ [4]: 21).


Ajaran mulia Islam soal pernikahan inilah yang akan saya hadapkan dengan persoalan yang dalam kurun waktu sepekan ke belakang, dimana publik sedang diramaikan dengan pemberitaan yang mengabarkan kontroversi nikah kilat (nikah sirri) yang menjerat Bupati Garut, Aceng HM Fikri. Meskipun nyatanya, kontroversi ini banyak pihak yang menganggapnya sebagai pengalihan isu, perdagangan perempuan, nikah kontrak, dan lain-lain. Dan saya sendiri ingin mengupas persoalan ini terbatas dalam sudut pandang dan konteks nikah sirri.


Penzaliman terhadap pernikahan


Ya, saya menganggap bahwa nikah sirri itu salah satu bentuk penzaliman terhadap hakikat mulia pernikahan itu sendiri. Sebab pernikahan itu kebahagiaan, bukan keburukan apalagi aib, sehingga itu dilarang untuk ditutup-tutupi atau dirahasiakan.


Karena di saat yang sama, Islam justru amat menganjurkan bahwa pernikahan itu mesti diumumkan. Maksudnya adalah bahwa pernikahan itu semata-mata timbul karena adanya sikap saling ikhlas dan terbuka. Pentingnya mengumumkan atau mengabarkan pernikahan ini kepada masyarakat sekurangnya paling tidak agar kemudian tidak timbul prasangka buruk (su’udhan) dan fitnah dari masyarakat. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Umumkan pernikahan dan jadikanlah akad nikah di masjid, serta pukullah rebana”. (HR. Tirmidzi melalui Aisyah ra). Razin bahkan menegaskan adanya riwayat tambahan atas sabda ini, “Karena pemisah antara yang halal dan haram adalah pengumuman”.


Juga selain itu, pernikahan yang dilangsungkan secara terbuka merupakan wujud rasa syukur atas anugerah Allah Swt kepada mempelai. Karena bertemu dengan jodoh atau pasangan adalah anugerah, karena itu patut disyukuri, agar kelak rumah tangganya berkah dan kelak ketika memiliki anak, lahir dengan selamat dan shalih-shalihah.


Nabi Muhammad Saw, dalam kesempatan lain juga pernah menyuruh sahabatnya, Abdurrahman bin Auf, ketika dia baru berakad nikah, “Semoga Allah memberkatimu! Berpestalah walau dengan menyembelih seekor kambing!”. (HR. Bukhari-Muslim). Demikian do’a dan anjuran Nabi tentang kesunahan merayakan pesta pernikahan (walimah al-‘ursy) kepada Abdurrahman bin Auf dan dengan demikian juga ini berlaku bagi umatnya.


Namun di pihak lain, tidak dipungkiri jika masih ada sebagian pihak terutama para ulama yang mendikotomikan antara legalitas hukum agama (fikih) dan legalitas hukum negara (undang-undang). Pandangan ini acap mengemuka dengan dalih bahwa nikah sirri adalah sah secara agama, tanpa harus dicatat oleh negara. Meskipun memang, pandangan ini secara kasat mendapat legitimasi sekurangnya dari Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Namun demikian, kita tidak boleh kehilangan daya kritis, yang bisa menjerumuskan pada taklid buta. Sebab kaidah fikih menyatakan, “La yunkaru taghayyur al-Ahkam bi taghayyur al-Azman”, (Tidak bisa diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan zaman).


Nah, berdasarkan kaidah fikih itu maka harus menganggap bahwa fikih adalah produk pemikiran yang relatif, yang pasti berpotensi adanya perubahan sesuai dengan konteks zaman. Dan begitu pun dengan persoalan nikah sirri, ia harus diletakkan sebagai produk pemikiran yang punya ruang dan waktu yang terbatas. Bahwa produk pemikiran (fikih) lampau itu tidak melulu relevan dengan konteks zaman yang terus berubah, termasuk dalam konteks Indonesia. Dan kalau saja kita merujuk kepada kepada Imam Malik, ia justru berpendapat bahwa nikah sirri itu dilarang.


Sementara berkaitan dengan legalitas pernikahan oleh hukum negara, yang diatur dalam UU No. 1/1974 dan UU No 7/1989, ini bisa kita analisis dengan perspektif kemaslahatan universal. Dan saya berpandangan bahwa ini bisa dijadikan penegasan sekaligus untuk meniadakan dikotomi legalitas atau dualisme hukum; agama dan negara. Bahwa dalam konteks Indonesia persepsi soal legalitas agama itu secara otomatis melebur ke dalam legalitas Negara. Kaidah hukum menyatakan bahwa “Keputusan Negara adalah mengikat dan mengakhiri kontroversi (hukm al-qadhi ilzam wa yarfa’ al-khilaf). Dr Yusuf al-Qardhawi, ahli fikih terkemuka asal Mesir mengatakan, “Keputusan pemerintah atau hakim dalam isu-isu kontroversial adalah menentukan dan rakyat wajib mengikutinya”. Dengan begitu, yang harus dijadikan tolak ukur adalah legalitas hukum negara, bukan lagi agama per agama tertentu. Maka dengan sendirinya juga, jika ada siapapun pihaknya yang tidak mengindahkan aturan perundang-undangan (pernikahan) maka harus dikenakan sanksi, sebagaimana yang telah ditentukan dan berlaku.


Penzaliman terhadap perempuan


Konstruksi budaya kita (Indonesia) sudah sejak berabad lama, dibangun atas perspektif dan budaya patriarkhi. Konstruksi budaya yang selalu memandang dan menempatkan perempuan sebagai pihak yang rendah dan di bawah. Sehingga realitasnya, mulut-mulut perempuan dibungkam dan tidak diperkenankan bicara secara bebas. Salah satu produk budaya patriarkhi yang paling akut dalam hal nikah, bisa terlihat dari definisi nikah sendiri dari ulama arus utama, itu tidak lebih transaksi yang melegalkan pemilikan atas tubuh perempuan oleh laki-laki, dan tidak sebaliknya. Konsekuensi dari pemahaman semacam ini, maka perempuan kehilangan kedaulatannya. Sampai kabar ini mencuatpun, tidak sedikit pihak yang justru mempersalahkan perempuan (Fani Oktora), ketimbang pihak laki-laki (Aceng HM Fikri). Maka kita bisa melihatnya dengan jelas betapa sedari hal yang paling mendasar saja, pratik penzaliman ada dan nyata.


Sebagaimana secara eksplisit saya kemukakan di atas dengan mengutip pandangan seorang ulama ahli tafsir Indonesia, Prof Dr M Quraish Shihab, bahwa salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan yang dapat menghilangkan hak-haknya adalah nikah sirri, yakni melaksanakan pernikahan rahasia.


Sementara lebih jauh soal nikah sirri sebagai bentuk penzaliman terhadap perempuan, kembali melanjutkan pendapatnya Quraish Shihab, bahwa nikah sirri inilah yang kemudian dapat melahirkan istilah lelaki dan perempuan piaraan. Sambil merujuk pada QS. An-Nisa’ [4]: 25, Quraish menegaskan bahwa larangan piaraan itu menyebutkan larangan berzina dan juga larangan kepada perempuan-perempuan untuk mengambil lelaki sebagai piaraannya; sedangkan, QS. al-Ma’idah [5]: 5 melarang lelaki mengambil perempuan-perempuan sebagai piaraan. Ini, lanjut Quraish, walaupun yang diambilnya itu seorang laki-laki tertentu atau perempuan tertentu karena “memelihara” seorang lelaki sebagai teman berkencan dan berzina—demikian juga sebaliknya—kendati kelihatannya serupa dengan pernikahan biasa, pada hakikatnya ia tidak sejalan dengan pernikahan yang sah, yang melarang kerahasiaan serta menuntun penyebarluasan beritanya.


Atas dasar analisis sederhana saya di atas, maka dalam menyikapi kasus nikah sirri, saya ingin mengajukan dua rekomendasi solusi. Pertama, menghilangkan dikotomi legalitas atau dualisme hukum. Dan yang harus dijadikan pijakan adalah legitimasi negara (UU No. 1/1974 dan UU No 7/1989). Maka dengan itu, siapapun pihaknya yang melanggar, harus dikenakan sanksi. Dan kedua, adalah mengintensifkan gerakan dan pemberdayaan perempuan berbasis gender. Bahwa perempuan berdaulat atas dirinya dan punya hak-hak untuk berbuat sesuai hati nurani. Demikian. Wallahu’alam bi al-Shawab.


*) Khadim al-Ma’had Pesantren Raudlatuth Tholibin Babakan-Ciwaringin-Cirebon dan Staff Pengajar di STID (Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah) al-Biruni Cirebon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar