Jumat, 07 Desember 2012

(Ngaji of the Day) Bepergian di Hari Jum’at


Bepergian di Hari Jum’at

 

Sebagaimana telah ditetapkan oleh Islam bahwa hari Jum’at adalah hari yang paling istimewa (Sayyidul Ayam) dari pada hari-hari yang lain. Hari itu adalah hari berkumpulnya umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dalam masjid-masjid mereka untuk menjalankan shalat jum’at dan sebelumnya mendengarkan dua khutbah yang berisi wasiat taqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan nasehat-nasehat serta doa.

 

قال تعالى : [ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ]

 

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat dihari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.

 

Pada ayat ini Allah telah mengingatkan kita untuk menghormati hari Jum’at dengan meninggalkan jual beli ketika telah mendengar seruan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Barulah setelah selesai menjalankan shalat Jum’at kita kembali beraktivitas seperti biasanya.

 

Lalu bagaimanakah kejelasan tentang bepergian di hari Jum’at?

 

Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir menjelaskan empat ketentuan-ketentuan bepergian dihari Jum’at. Dua diantaranya memperbolehkan bepergian dihari Jum’at, satu diantaranya tidak diperbolehkannya berpergian dan yang terakhir terdapat perbedaan antara boleh dan tidaknya bepergian.

Bagi seseorang yang ingin bepergian dihari Jum’at dianjurkan bepergian sebelum terbitnya fajar, karena dianggap belum masuk hari Jum’at (masuk hari sebelumnya). Atau hendaknya bepergian setelah shalat Jum’at.

 

جَازَ السَّفَرُ قَبْلَ طُلُوْعِ الفَجْرِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنَ الْيَوْمِ. وبعد صلاة الجمعة ليقضى الفرض، فإذا بدأ بإنشاء السفر في هاتين الحالتين جاز.

 

Boleh bepergian sebelum terbitnya fajar, karena bukan termasuk hari Jum’at dan boleh bepergian setelah shalat Jum’at, maka dalam dua waktu ini Imam Al-Mawardi memperbolehkannya.

 

Selanjutnya adalah waktu yang tidak diperbolehkannya bepergian adalah mulai tergelincirnya matahari (sesudah tengah hari) dimana menunjukkan telah masuknya waktu shalat Jum’at sampai habisnya waktu shalat Jum’at. Sedangkan dia tahu bahwa shalat Jum’at adalah fardlu dan memungkinkan untuk mengerjakannya karena tidak ada udzur syar’i yang membuatnya boleh meninggalkan shalat Jum’at.

 

وأما الحال التي لا يجوز له إنشاء السفر فيها: فهي من وقت زوال الشمس إلى أن يفوت إدراك الجمعة، لتعين فرضها وإمكان فعلها.

 

Waktu yang tidak diperbolehkan bepergian adalah mulai tergelincirnya matahari sampai habisnya waktu shalat Jum’at, karena hukumnya wajib dan tidak berhalangan.

 

Sedangkan yang terakhir adalah ketentuan yang masih diperdebatkan oleh kalangan ulama’, maka cukuplah kita mengetahui waktu yang diperbolehkan dan waktu yang tidak diperbolehkan untuk bepergian.

 

Namun demikian perkembangan zaman dan teknologi seolah telah menghanyutkan sekat ruang dan waktu. Sekarang masjid dan shalat Jum’atan terlaksana di setiap desa bahkan di kota-kota besar masjid terletak saling berdekatan. Jika demikian apakah pelarangan bepergian di hari jum’at masih relevan? Jika yang dikhawatirkan adalah tertinggalnya shalat jum’at tentu tidak lagi, tetapi jika alasannya adalah untuk menghormati hari jum’at itu adalah dua hal yang berbeda. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar