Selasa, 04 Desember 2012

Cak Nun: Hinalah Daku, Kau Kusayang


Hinalah Daku, Kau Kusayang

Oleh: Emha Ainun Nadjib

 

Ciptaan Allah paling awal, Nur Muhammad (cahaya yang terpuji), yang kemudian membuat Allah berminat menciptakan jagat raya, salah satu episode tugasnya adalah berlaku menjadi Muhammad bin Abdullah. Di Mekah, selama 63 tahun, berpangkat Nabi dan menjabat sebagai Rasul terakhir; salah satu “profesi” utamanya adalah dihina.

 

Tak ada perdebatan kenapa hanya 63 tahun, sementara pendahulunya, misalnya Adam atau Nuh, ditugasi menjadi pelakon utama antara 900 sd 1300 tahun. Mungkin Allah ambil keputusan begini: Muhammad sebentar aja, tetapi saya bawain buku panduan lengkap, Al-Qur’an, tinggal disampaikan, terserah manusia memakainya atau tidak.

 

Para pendahulu dikasih ratusan tahun tapi ternyata tidak cukup untuk meneliti dan menemukan jatidiri. Maka yang terakhir ini 63 tahun saja, dengan “buku manual” yang terjaga kemurniannya secara absolut. “Inna nahnu nazzalnadz-dzikro wa inna lahu lahafidhun”, Allah kasih buku bimbingan, dan Ia berjanji menjaganya.

 

63 tahun dengan pencapaian sejarah yang membuat Michael Hart meletakkannya sebagai tokoh nomer satu yang paling berpengaruh dalam sejarah ini, terlalu revolusioner dan ekstra-fenomenal — sehingga sangat potensial untuk melahirkan rasa cemburu dan kedengkian di seluruh muka bumi. Mungkin karena itu “software” manusia Muhammad juga disiapkan oleh Allah untuk memiliki ekstra-resistensi terhadap berbagai jenis pelecehan yang amat merendahkannya.

 

Sejak Muhammad mensosialisasikan “tauhid” di komunitas sekitar Ka’bah Mekah, siang malam ia diejek, dihalangi, dirancang untuk dibunuh, atau dilempari batu seperti ketika ia berimigrasi ke Ethiopia.

 

Tak hanya teologinya yang ditolak dan dianggap anarkis. “Hak paten” Muhammad atas sumber air Zamzam karena ia adalah cucu penemunya, yakni Mbah Abdul Muthalib: merupakan ancaman terhadap dominasi konglomerat Abu Jahal atas perekonomian Mekah. Selama ini kita terlalu berpikir polos, menyangka bahwa yang diberangus hanya “tauhid”, bahwa yang dihancurkan adalah Islam –- padahal faktor air zamzam, juga tambang minyak, sebenarnya mungkin lebih primer.

 

Melihat wataknya, soal Agama tak penting-penting amat bagi Abu Jahal. Tapi para anak buahnya terperdaya; mereka pikir “Muhammad” dan “Islam” nya yang menjadi sasaran utama. Sehingga fokus mereka adalah memukuli Muhammad, membuat karikatur untuk memperolok-olokkannya, membikin film yang memperhinakannya, bikin macam-macam games di internet untuk menyebarkan virus kebencian kepada Muhammad.

 

Beberapa tahun yang lalu di banyak forum Maiyah di berbagai daerah, saya pasang layar untuk menunjukkan gambar-gambar dan video penghinaan itu. Dan saya bertanya kepada semua yang hadir; “Kira-kira kalau Rasulullah melihat tayangan-tayangan penghinaan ini, akan naik pitam atau tersenyum?”

100% hadirin di semua tempat menjawab: “Tersenyum”.

 

“Apa yang kira-kira diucapkan oleh beliau?”

 

Jamaah menjawab: “Berdoa, ya Allah ampunilah mereka, karena mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan”.

 

“Lha kita”, tanya saya lebih lanjut, “akan ikut tersenyum dan berdoa seperti itu ataukah mengamuk, demo, membikin tayangan penghinaan balasan, atau gimana?”

 

Mengamukpun bisa dipahami, tersenyum juga oke. Demo juga wajar, diam dalam kesabaran juga tidak aneh. Yang mungkin perlu disepakati adalah jangan melakukan apapun yang memang dikehendaki oleh mereka yang memasang ranjau melalui penghinaan itu. Jangan menjelma minyak, karena yang mendatangimu adalah api.

 

Para penghina Nabi Muhammad itu berjasa besar kepada Ummat Islam, karena repot-repot menciptakan momentum, konteks dan nuansa kekhusyukan agar kita semua lebih rajin menyatakan cinta dan kesetiaan kita kepada Allah dan Muhammad.

 

Bentuk pernyataan cinta itu bisa batiniah saja, bisa dengan pekikan-pekikan dalam demo, bisa counter-informasi, atau apapun. Yang penting tidak perlu “GR” seolah-olah Muhammad butuh pembelaan kita karena beliau kita anggap lemah dan kita yang kuat. Jadi, pembelaan kita atas Muhammad sasaran utamanya adalah integritas kita sendiri di hadapan beliau dan Allah. Apalagi semarah-marah kita terhadap penghinaan itu, masih jauh lebih murka Allah, sebab cinta kita kepada Muhammad tidak ada sebutir debu dibanding cinta Allah kepada kekasih-Nya itu.

 

Kaum Muslimin juga diam-diam berterima kasih kepada para penghina Muhammad karena kekejaman mereka adalah peluang sangat indah untuk memaafkan mereka, sehingga derajat kita meningkat di mata Allah. Penghinaan adalah rejeki kemuliaan bagi yang dihina. Ayo, hinalah daku, kau kusayang.

 

Tahun 2008 bersama musik Kiai Kanjeng saya pentas di distrik dekat rumah Geerd Wilders, Belanda, orang penting dalam kasus film penghinaan atas Islam yang membuat Theo van Gogh dibunuh oleh pemuda Muslim keturunan Maroko. Sebelum atau sesudah pentas kami berniat bertamu ke rumah beliau, tapi tak jadi karena beliau pergi tak jelas ke mana. Kami menyesal karena gagal menyampaikan ucapan terimakasih atas penghinaannya, demi mengurangi dosa-dosa kami. []

 

Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 51 XVIII 25 – 32 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar