Selasa, 06 Mei 2014

Yudi Latif: Negara Kesejahteraan dengan “Soft Power”



Negara Kesejahteraan dengan “Soft Power”
Oleh: Yudi Latif

DENGAN perolehan suara sekitar 7 persen, menurut versi hitung cepat, Partai Nasional Demokrat meraih hasil fenomenal sebagai partai pendatang baru. Yang lebih menarik, di sela-sela kerumunan partai spanduk yang tidak menawarkan visi perubahan, partai ini tampil dengan politik gagasan seakan menggemakan kembali apa yang pernah diingatkan Bung Karno: ”Sebuah partai harus dipimpin oleh ide, menghikmati ide, memikul ide, dan membumikan ide”.

Politik gagasan yang dilambaikan di setiap kibaran bendera partai ini secara ikonik dirumuskan dengan slogan ”gerakan restorasi”. Visi restorasi ini berisi konsepsi tentang usaha memulihkan kembali kondisi bangsa agar bisa merasa lebih sehat, lebih kuat, dan lebih bersemangat setelah mengalami kelemahan, kemurungan, dan keputusasaan dengan cara menjangkarkan kembali pilihan kebijakan dan pembangunan pada nilai-nilai luhur bangsa.

Di bidang politik, implikasi dari visi restorasi menuntut usaha menghidupkan kembali hakikat demokrasi permusyawaratan. Cara termudah dengan melihat posisi sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan dalam Pancasila. Letaknya diapit sila Persatuan Indonesia dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ketiga sila itu saling mensyaratkan dan saling memperkuat. Pada satu sayap, demokrasi mensyaratkan persatuan (integrasi) nasional yang kuat karena tanpa adanya integrasi nasional, menjalankan pemerintahan demokratis ibarat membangun istana pasir yang mudah jatuh oleh konflik kebangsaan. Sebaliknya, demokrasi yang baik harus mampu memperkuat persatuan nasional. Pada sayap lain, demokrasi yang baik harus mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Sebaliknya, keadilan sosial akan memperkuat perkembangan demokrasi.

Dalam memperkuat persatuan nasional, demokrasi permusyawaratan dirancang untuk mewujudkan negara kekeluargaan (semua untuk semua) yang mampu mengatasi paham perseorangan dan golongan. Dalam mewujudkan keadilan sosial, demokrasi permusyawaratan dirancang untuk menghadirkan negara sosial (negara kesejahteraan), bukan negara liberal yang hanya bertindak sebagai ”penjaga malam”.

Usaha memperkuat ”negara kekeluargaan” pasca Pemilu 2014 membutuhkan usaha restorasi dalam sistem perwakilan, haluan kebijakan dasar pembangunan, dan otonomi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam demokrasi permusyawaratan yang diperhatikan bukan hanya aspek keterpilihan, melainkan juga aspek keterwakilan. Lembaga perwakilan kedaulatan rakyat harus mampu mewakili hak individu, hak golongan fungsional dan marjinal, serta keragaman-keluasan wilayah Nusantara yang terangkum dalam lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Kebijakan dasar pembangunan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dirumuskan bersama dalam MPR. Otonomi daerah dijalankan dalam kerangka semangat persatuan nasional. Sejauh ini, meski konstitusi hasil amandemen menyatakan bentuk NKRI tidak dapat diubah, secara de facto urat nadi NKRI sudah robek dengan menyisakan retakan dalam konektivitas antara pemerintahan pusat dan daerah, bahkan di antara daerah tingkat dua dalam satu provinsi, yang tak terbayangkan dalam negara federal.

Dalam merealisasikan keadilan sosial, demokrasi permusyawaratan menghendaki perwujudan negara kesejahteraan. Dalam pemikiran para pendiri bangsa, negara kesejahteraan dimaksud adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang menegaskan, negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak memperoleh jaminan sosial. Dalam negara kesejahteraan Indonesia, yang dituntut oleh etika politik bukan penghapusan hak milik pribadi, melainkan hak milik pribadi memiliki fungsi sosial dan negara bertanggung jawab atas kesejahteraan umum.

Meski demikian, cara negara mewujudkan kesejahteraan sosial itu tidak bisa disandarkan pada kekuatan perangkat keras (hard power) yang bersifat represif dan top-down. Usaha kesejahteraan yang dipertukarkan dengan pembungkaman hak-hak politik demokratis melahirkan piramida kurban manusia yang menistakan nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan.

Pilihan ke depan adalah usaha mewujudkan negara kesejahteraan dengan kekuatan perangkat lunak (soft power) melalui pelayan publik penuh welas asih seraya menyertakan partisipasi publik secara bottom-up.

Pelayan publik sebagai penentu kebahagiaan rakyat ditunjukkan oleh survei di 50 negara seperti dilaporkan Geoff Mulgan (2008). ”Pengaruh kualitas pelayanan pemerintah terhadap kebahagiaan hidup jauh melampaui efek yang ditimbulkan oleh pendidikan, pendapatan, dan kesehatan”.

Usaha demokrasi membawa kebahagiaan menuntut penjelmaan ”negara-pelayan”, yang mengandung empat jenis responsibilitas, yakni perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, dan keadilan-perdamaian. Semua itu secara visioner telah dirumuskan para pendiri bangsa dalam tugas negara seperti tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Jalan demokrasi Indonesia menuju kebahagiaan masih teramat panjang. Namun, seperti kata Lao Tzu, ”Perjalanan ribuan kilometer dimulai langkah pertama.” Langkah pertama itu adalah memilih pemimpin nasional yang mendekati prasyarat itu pada pemilihan presiden yang akan datang.

Pada dasarnya pemerintahan negara-negara anggota ASEAN bersifat elitis. ASEAN juga melihat ke dalam sebagai organisasi dengan identitas ganda, yaitu ketika berhadapan dengan dunia di luar ASEAN dan ketika saling berhadapan di antara sesama anggota ASEAN.

Saat berhadapan dengan negara-negara di luar ASEAN, organisasi ini ingin dilihat sebagai koheren. Namun, di antara negara ASEAN paling jauh yang ingin dilakukan adalah membangun komunitas, tetapi tidak pernah menyatakan akan terintegrasi seperti Uni Eropa.

Itu sebabnya prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing masih akan terus dipegang. Prinsip itu menimbulkan konsekuensi setiap negara bebas melakukan perjanjian ekonomi serta perdagangan bilateral dan multilateral di luar ASEAN. Saat ini terdapat 23 perjanjian bilateral antara negara-negara anggota dan negara di luar ASEAN. Perjanjian bilateral atau multilateral dengan kekuatan regional atau kawasan akan mengurangi upaya untuk mewujudkan inisiatif dalam kerangka ASEAN.

Indonesia dapat mengambil posisi sebagai pemimpin ASEAN jika memiliki rangka desain kebijakan luar negeri dan tak bersikap reaktif. Selain itu, harus ada dukungan dari partai politik di parlemen dan pucuk pemerintahan yang memiliki visi. Hal ini hanya dapat terwujud jika ada kepemimpinan puncak yang mampu menyatukan semua pemangku kepentingan. []

KOMPAS, 15 April 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar