Senin, 05 Mei 2014

Gus Sholah: Menimbang Partai Islam



Menimbang Partai Islam
Oleh: Salahuddin Wahid

SEPERTI dugaan banyak orang, partai (berbasis massa) Islam tidak ada yang menjadi pemuncak hasil Pemilu 2014, tetapi hasil perolehan suara mereka mengejutkan. Bertentangan dengan hasil survei yang menyatakan rendahnya perolehan suara mereka, yang terjadi justru pelonjakan suara tajam pada PKB. PPP dan PAN naik sedikit, PKS walau diterpa badai hanya turun sedikit. Hanya PBB yang suaranya di bawah ambang batas: 3,5%.

Pada Pemilu 1955, dua partai Islam menjadi pemenang kedua dan ketiga. Jumlah perolehan suara partai Islam sedikit di atas 43% dari jumlah pemilih. Angka ini menurun pada pemilu-pemilu era Orde Baru. Pada Pemilu 1999, angka itu menjadi 37,4%, Pemilu 2004 menjadi 38,4%, dan Pemilu 2009 angka ini menjadi 29,3%. Kini, meningkat menjadi sekitar 32% berdasarkan hasil hitung cepat.

Dari 12 partai peserta Pemilu 2014, yang dianggap sebagai partai Islam adalah PPP, PKS, dan PBB. Partai berbasis massa Islam ialah PKB dan PAN. PPP dan PKB dapat dianggap sebagai lanjutan dari Partai NU. PAN, PKS, dan PBB dapat dianggap sebagai lanjutan dari Partai Masyumi.

Dinamika Pancasila dan Islam

Pemilu 1955 membuat konfigurasi kelompok partai berdasarkan aliran: Islam, komunis, sosialis, Pancasila. Pasca 1965, partai beraliran komunis dan sosialis sudah tidak ada. Muncul kelompok politik baru, yaitu Golongan Karya, yang bekerja sama dengan ABRI. Partai lain ialah PDI (fusi PNI dengan Parkindo, Murba, Partai Katolik, dan IPKI) serta PPP (fusi NU dengan Parmusi, PSII, dan Perti). Saat itu PPP, termasuk NU, masih menginginkan Islam sebagai dasar negara, bukan Pancasila.

Pada 1973, diajukan RUU Perkawinan yang ditolak oleh PPP dan ormas-ormas Islam karena sejumlah ayat dalam RUU itu bertentangan dengan syariat Islam. Perdebatan di DPR menjadi ramai karena massa sejumlah ormas Islam menyerbu ruang Sidang Paripurna DPR. Pak Harto kemudian menyetujui keinginan ulama-ulama yang menghendaki Pasal 1 dari UU itu menentukan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan sesuai dengan hukum agama yang dipeluk. UU itu adalah UU pertama yang memberikan ruang bagi masuknya ketentuan syariat Islam yang partikular.

Pada akhir 1984, Muktamar NU di Situbondo menerima asas Pancasila dan menyatakan bahwa NKRI berdasarkan Pancasila adalah bentuk final dari negara yang diperjuangkannya. PPP dan ormas-ormas Islam lain (kecuali HMI MPO) mengikuti langkah NU: menerima asas Pancasila. Perubahan sikap ormas dan orpol Islam terhadap Pancasila itu memberikan dampak berupa perubahan sikap yang besar dalam memandang partai Islam dan partai Pancasila. Sikap politik warga NU dan ormas Islam lain mencair.

Dalam sistem politik Turki yang 97% penduduknya Muslim, pengertian sekuler lebih ketat dibandingkan di Indonesia. Di sana, dalam UUD mereka secara tegas dinyatakan bahwa Turki adalah negara sekuler. Di sana tidak diatur dalam UU bahwa perkawinan atau pernikahan hanya sah kalau dilakukan sesuai hukum Islam. Semestinya pernikahan bisa dilakukan di kantor catatan sipil, tetapi sebagian besar tetap menikah secara Islam. Pada 1997, Partai Kesejahteraan di bawah Erbakan dilarang oleh militer karena membawa simbol dan semboyan (jargon) Islam. Saat itu Muslimah tidak boleh ke kantor atau kuliah dengan memakai jilbab.

Erdogan, melalui Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), kemudian tidak lagi membawa simbol dan semboyan Islam. Tema yang mereka usung adalah tema- tema masyarakat luas, seperti keadilan, kesejahteraan, HAM, dan demokratisasi. Rekam jejak hasil perolehan suara AKP amat menakjubkan. Pada Pemilu 2002, AKP meraih 34,3% suara. Pada Pemilu 2007, meraih 46,6% suara.

Di kita, dalam kaitan kebijakan ekonomi yang ditawarkan partai-partai peserta pemilu, yang paling lengkap dan paling banyak diketahui masyarakat baru Partai Gerindra. Mereka memasang iklan satu halaman penuh di banyak koran, termasuk koran daerah, juga di televisi. Partai-partai lain, termasuk partai Islam dan yang berbasis massa Islam, tidak ada yang memasang iklan seperti itu.

Tidak ada partai Islam ataupun berbasis massa Islam yang coba mengetengahkan konsep ekonomi Islam yang menurut saya amat sesuai dengan konsep ekonomi konstitusi. Kalau partai-partai Islam menawarkan secara luas dan intensif konsep ekonomi Islam, yang intinya adalah pemenuhan hak-hak ekonomi-sosial-budaya, mewujudkan keadilan sosial, dan pemerataan kesejahteraan, niscaya mereka akan lebih banyak dipilih oleh masyarakat.

Perlu tokoh

Terkait fenomena PKB, tidak bisa lepas dari kehadiran sejumlah tokoh yang ikut mengampanyekan PKB. Selain karena masyarakat NU tahu bahwa PKB didirikan Gus Dur, juga karena sosok Rhoma Irama dan Mahfud MD yang aktif berkampanye serta gencarnya iklan shalawat. Selain itu, KH Hasyim Muzadi yang aktif turun ke berbagai basis umat NU untuk mengajak mereka memilih PKB dan kembalinya tokoh seperti Gus Yusuf Khudlory menjadi fungsionaris PKB menunjukkan perlunya tokoh dalam suatu partai, seperti PKB.

Beberapa partai juga berkembang dengan mengandalkan ketokohan seseorang, seperti Demokrat (SBY) dan Gerindra (Prabowo). PDI-P bisa tetap mencorong karena mengusung nama Bung Karno dan kepemimpinan Megawati. Partai Golkar punya jaringan kuat sehingga tidak bergantung kepada tokoh.

PKS adalah partai yang organisasinya berjalan dengan baik. Kaderisasinya juga. Namun, untuk bisa berkembang, PKS perlu lebih luwes dan mendekat ke tokoh dan ulama NU ataupun Muhammadiyah. PKS memang tak mengandalkan tokoh, tetapi kini punya ”presiden” yang masih muda dan cukup banyak pengalaman. Dialah yang mampu memulihkan rasa pede yang goyah saat pimpinan PKS sebelumnya terkena kasus.

Akan lebih baik jika jumlah partai, termasuk partai Islam, dikurangi pada pemilu mendatang. Itu dilakukan dengan menaikkan ambang batas minimal perolehan suara. Kalau ambang batas perolehan suara dinaikkan dari 3,5% ke 5%, partai-partai yang ada masih akan tetap bertahan. Kalau dinaikkan lagi menjadi 7,5%, mungkin tinggal dua partai (berbasis massa) Islam yang masih bertahan.

Karena itu, harus mulai dipikirkan kemungkinan penggabungan secara sukarela daripada hilang dari peredaran. Kalau pada pemilu mendatang partai-partai Islam dan yang berbasis massa Islam tidak melakukan kegiatan yang diusulkan di atas (menawarkan kebijakan ekonomi secara terbuka dan meluas), amat mungkin terjadi perolehan suara mereka akan mandek, bahkan menurun. Kecuali ada tokoh Islam yang punya pengaruh kuat menjadi pemimpin atau ikonnya. []

KOMPAS, 14 April 2014
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar