Rabu, 14 Mei 2014

Kang Sobary: Politik dengan Segala Cara



Politik dengan Segala Cara
Oleh: Mohamad Sobary

Politik tak pernah punya perasaan. Ketika dia harus berjalan, dia berjalan. Ketika dia harus mendekati tujuan, dia mendekatinya. Mungkin merunduk-runduk dalam kegelapan. Mungkin dengan memasang jebakan-jebakan untuk mempersulit lawan yang menghalanginya.

Kalau perlu, dia menciptakan kegelapan demi kegelapan agar segenap langkahnya tak dibaca musuh agar keculasannya tak tampak sebagai keculasan. Tak jarang, orang lain yang dipojokkan ke dalam suatu situasi tanpa pilihan agar dia yang dianggap culas. Bisa juga musuh ditunggu di suatu tikungan tak terduga, untuk dikecoh, dicelakai, atau dibikin kalang kabut, agar dia sendiri bisa melenggang dengan mudah mendekati tujuan pokoknya. Demi kelancaran langkahnya mendekati tujuan, semua ranjau dan penghalang yang dipasang musuh, disapu bersih lebih dahulu.

Perhitungan politik harus jeli. Taktik harus jitu. Strategi harus matang sematang-matangnya. Semua harus tertutup ”kabut” tipu daya dan segenap samaran. Orang boleh menganggapnya bodoh. Lawan boleh mengira dia ceroboh, tidak cermat, tidak hati-hati. Dugaan seperti itu menjadi tanda bahwa akal dan kemampuannya menjebak lawan sungguh jitu. Jika politisi dikenal pula sebagai ahli strategi, mungkin seperti Pak Harto, niscaya semua langkahnya berjalan mulus, tanpa hambatan, tanpa penghalang. Langkah-langkah politiknya berjalan efisien.

Dalam politik yang efisien itu politik tak pernah terjadi hiruk-pikuk yang memang tak perlu, tapi tujuan bisa ”dipetik”, semudah kita memetik tomat, atau mangga dalam jangkauan tangan kita sendiri. Ahli strategi memang dengan jeli menerapkan strategi dan banyak taktik tak terlihat untuk membuat tujuan politiknya begitu mudah dicapai. Kalau perlu, dengan ”tenaga” dan ”biaya” lawanlawan politiknya. Dalam politik, tujuan akhir dianggap segalanya. Proses, sesekali, juga dianggap penting.

Tapi, apa gunanya proses kalau tujuan tak tercapai? Politisi di negeri-negeri demokratis pun kalau perlu harus mencederai proses demokratis demi mencapai tujuan. Dianggap tidak konsisten dengan prinsip demokrasi tak penting. Dituduh munafik, karena memang munafik, tak menjadi soal. Negara-negara besar, yang ”menjual” demokrasinya kepada kita, banyak memberi contoh kemunafikan politik dengan segenap politik luar negerinya yang mengatakan apa yang disebut tujuan akhir tadi. Mereka menganggap suci tujuan akhir dan tak jarang menampilkan kemunafikan yang memalukan.

Malu itu urusan perasaan. Perasaan tidak penting. Malu tak malu tak pernah diperhitungkan. Akal, taktik, strategi, dan semua cara— termasuk yang licik dan culas— diutamakan. Politik tak pernah punya perasaan. Politisi tak usah diimbau untuk bertindak dengan kebaikan hati dan menurut prinsip-prinsip etis di dalam hidup. Nilai-nilai, yang bicara perkara baikburuk, mulia-hina, tak penting sama sekali. Serahkan urusan itu kepada para filsuf, bukan pada para politisi. Politik itu robot atau makhluk setengah robot. Robot hanya mesin. Politik pun bergerak seperti mesin, yang berarti benda mati, meskipun bisa bersuara. Benda tak mengandung perasaan.

Di dalamnya tak terdapat rasa susah, atau senang, sedih, atau gembira. Dengan sendirinya, di dalam politik kita tak boleh bicara perasaan, karena yang disebut perasaan itu tidak ada. Politisi sejati tak boleh dan tak pernah marah karena langkahnya mentok di jalan yang langsung berhadapan dengan strategi musuh. Sebaliknya, dia mengakui kehebatan musuhnya dan menyadari kekurangan-kekurangannya sendiri. Politisi juga tak boleh menaruh dendam kepada lawanlawannya, termasuk apabila mereka memasang jerat untuk mencelakai, atau bahkan membunuhnya.

Politisi jagoan tulen bisa dengan mudah dan dingin mengatakan—tanpa mengutuk tanpa menyesali—bahwa usaha membunuhnya merupakan strategi politik paling logis yang mereka punyai. Politik itu akal dan bukan perasaan. Unsur-unsur perasaan, panggilan hati, kasih sayang, dan segenap kemurahan, biasanya omong kosong. Dalam politik yang tak punya perasaan, politisi dengan sendirinya juga hanya robot, hanya mesin, hanya benda bergerak yang hendak memenuhi keserakahannya sendiri.

”Kalau politisi, yang dulunya galak melampaui serigala, demi membela kekuasaan, dan kita punya catatan betapa ganasnya dia dulu kepada rakyat, tiba-tiba bicara ‘jangan lukai hati rakyat’, haruskah kita percaya pada pemihakannya, yang dimaksudkan untuk mengesankan bahwa dirinya penuh kasih sayang dan menjadi pelindung rakyat?” ”Tidak. Lebih-lebih bila dia juga tergolong politisi yang tak punya hati. Keganasan tak mungkin berubah secara mendasar dalam waktu pendek.

Peta kehidupan jiwanya menggambarkan kepada kita, mustahillah perubahan sikap dan cara hidup itu terjadi secara dadakan karena dia ingin berkuasa lagi. Hasratnya untuk berkuasa kembali berbohong kepadanya, dan berbohong juga kepada kita. Pernyataan itu bukan wujud komitmen kerakyatannya, tapi gambaran kehendaknya untuk berkuasa. Pernyataannya hanya alat yang diharapkan mendukung cita-cita politiknya. Dengan kata lain, ini hanya omong kosong tanpa makna.

Politik yang tak punya perasaan itu dalam dua minggu terakhir ini kita lihat dengan jelas telah dipamerkan oleh para politisi kita selama masa kampanye, disusul lagi sesudah suara perolehan dalam pemilihan legislatif dihitung. Ada yang kaget. Ada yang kecewa. Ada yang bersungut-sungut. Ada pula yang marah besar karena harapannya tak terpenuhi. Serangan pada pihak lain, yang lebih baik citranya di mata publik, dilancarkan dengan gencar, segencar-gencarnya melalui berbagai jenis media. Makin hari serangan itu bukan makin surut, melainkan makin gencar.

Di media, yang menjadi ”tontotan” mengasyikkan, hanya pertarungan politik tanpa ujung pangkal itu. Musuh politik dipojokkan untuk memperoleh efek komunikasi politik bahwa kita lebih baik dari semua musuh kita. Apakah langkah ini memetik hasil sebagaimana diharapkan? Mungkin tidak. Ingin tampil baik, dengan menjelekkan pihak lain bisa menjadi strategi yang fatal. Musuh yang dipojokkan tidak terpojok, kita yang menelan kepahitan. Politisi kita, yang tak punya hati tadi, tak menyadari bahwa taktiknya itu bisa berubah menjadi senjata makan tuan.

Politik memang bisa ditempuh dengan banyak cara: membukaaib, mengungkit kelemahan, dan membeberkan segenap kesalahannya. Lawan ditelanjangi di depan publik, seperti ketika Drupadi ditelanjangi di depan orang banyak di balairung negeri Astinapura. Politisi biasa, mungkin politisi kelas ”ecek-ecek”, merasa puas dengan langkahnya. Melihat lawannya tak berdaya dia merasa hebat karena kepuasan yang dikejar. Dia tak menyadari bahwa tindakannya bisa mengundang dendam kesumat pada masa depan. Jika lawannya juga tergolong masih kelas ”ecek-ecek”, suatu hari dia bakal digasak habis oleh api dendam.

Boleh jadi yang melakukan balas dendam itu pihak lain yang tak diduga sama sekali. Politik bisa ditempuh dengan banyak cara: mengungkit-ungkit kelemahan lawan, membeberkan kesalahannya, dan bahkan dengan fitnah-fitnah keji. Tak jarang, politik ditempuh dengan segala cara. Kita lupa publik menilai kita. Kita lupa, mayoritas yang diam sebenarnya tidak diam. Kita lupa, politik dengan segala cara itu vandalis dan kejam: fitnah balas fitnah, bunuh balas bunuh, ada di dalamnya. Kita juga lupa, politik dengan segala cara membunuh diri sendiri. []

KORAN SINDO, 21 April 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar