Selasa, 20 Mei 2014

Gus Sholah: Pilihan Politik Warga NU



Pilihan Politik Warga NU
Oleh: Salahuddin Wahid

MOHAMMAD Qodari dari Lembaga Survei Indo Barometer menyatakan bahwa dari sekitar 185 juta pemilih, 33 persen menyatakan diri sebagai warga NU dan 7-9 persen menyatakan diri sebagai warga Muhammadiyah. Ini berarti warga NU yang memilih PKB tidak sampai 30 persen.

Hal itu wajar karena pada Pemilu 2009, angka untuk warga NU hampir 40 persen dan pada sekitar 2002, menurut PPIM Ciputat, angka itu sekitar 42 persen. Berarti pada Pemilu 1999 jumlah warga NU sekitar 42 persen dan yang memilih PKB 12,61 persen, sehingga warga NU yang memilih PKB sekitar 30 persen. Pada Pemilu 1955 pemilih partai NU mencapai angka di atas 18 persen. Kalau warga NU sekitar 42 persen, warga NU yang memilih Partai NU pada 1955 sekitar 40 persen.

Pada Pemilu 1971 partai NU mencapai jumlah pemilih sekitar 18,68 persen dan (Parmusi) Partai Muslimin Indonesia mencapai jumlah suara 5,36 persen. Pada 1973 partai-partai Islam didorong untuk bergabung ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan), yang unsur utamanya adalah NU. Setelah Muktamar NU 1984 menyatakan bahwa NU tidak punya hubungan organisatoris dengan partai apa pun, banyak tokoh NU aktif dan menjadi caleg mewakili Golkar. Dengan sendirinya, warga NU banyak yang memilih Golkar dan juga memilih PPP.

Data di atas menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah umat Islam yang mengaku sebagai warga NU: sekitar 42 persen pada 2002, mendekati 40 persen pada 2009 dan sekitar 33 persen pada 2014. Jumlah warga NU yang memilih partai NU dan partai yang dianggap sebagai partainya NU juga mengalami pasang surut. Yang terburuk adalah capaian pada Pemilu 2009 (4,95 persen) saat Gus Dur baru saja keluar dari PKB dan ada istilah PKB Muhaimin dan PKB Gus Dur. Capaian 2014 adalah prestasi besar Muhaimin dkk ditambah dengan kembalinya warga PKNU, kembalinya warga PKB Gus Dur, peran Rhoma Irama, Mahfud M.D., dan KH Hasyim Muzadi, naik lebih dari 80 persen dibanding 2009.

Prestasi itu tentu harus dipertahankan, bahkan kalau bisa ditingkatkan karena sebagian besar warga NU sudah menerima kenyataan bahwa PKB adalah wadah penyaluran aspirasi politik NU. Tentu harus diakui bahwa banyak warga dan tokoh NU masih aktif dan memilih partai lain, seperti PPP, Partai Golkar, dan Partai Demokrat.

Prestasi puncak NU di bidang politik adalah saat menjadi partai NU dan menjadi pemenang ketiga Pemilu 1955. Prestasi kedua adalah Pemilu 1999. PKB sebagai partai yang didirikan tokoh-tokoh PB NU menjadi pemenang ketiga dan meraih 12,61 persen suara. Selain itu, PPP yang mempunyai banyak tokoh NU di berbagai daerah memperoleh 10,71 persen jumlah suara. Prestasi terbesar 1999 adalah terpilihnya Gus Dur menjadi presiden ke-4 RI.

Apakah prestasi NU di bidang politik akan bisa terus meningkat di masa depan? Kalau melihat capaian kini adalah separo dari prestasi pada 1955 dan juga masih di bawah capaian pada 1999, jelas potensinya cukup besar. Tetapi, bukan hal yang mudah untuk mewujudkannya. Partai politik itu rentan konflik. Contohnya banyak sekali. Terakhir adalah konflik PPP yang seharusnya tidak perlu terjadi kalau semua pihak mampu menahan diri. Konflik internal PKB pada 2005 dan 2008 belum selesai pemulihannya dan harus dicegah munculnya konflik baru.

Fakta mutakhir menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia membutuhkan tokoh untuk bisa berkembang. Partai Demokrat tidak akan menjadi pemenang pertama Pemilu 2009 tanpa SBY. Partai Gerindra tidak akan mencapai prestasi seperti saat ini kalau tidak ada Prabowo. PDI Perjuangan, walaupun mengusung nama besar Bung Karno, tidak akan bisa menjadi pemenang Pemilu 2014 tanpa keteguhan sikap Megawati. PKB mencapai puncaknya saat ada Gus Dur di dalamnya.

Ada dua partai politik di Indonesia yang mengandalkan organisasi bukan tokoh, yaitu Partai Golkar dan PKS. Walau tokoh-tokoh Partai Golkar mendirikan partai baru, partai tersebut tetap bagus hasilnya mulai Pemilu 1999 sampai Pemilu 2014. Kalau kedua partai itu punya tokoh yang hebat, prestasi partai akan lebih meningkat. PKB tidak punya pilihan lain kecuali mengandalkan sentimen ke-NU-an dan banyak calegnya menjual nama Gus Dur walau ada protes dari keluarga. Ideal sekali kalau Muhaimin bisa mendekati keluarga dan pengikut Gus Dur. Untuk itu diperlukan mediator.

Kalau ambang batas 3,5 persen jumlah suara pemilih sebagai syarat minimum keberadaan partai di DPR dinaikkan sampai angka yang cukup tinggi, katakan 7,5 persen, jumlah partai akan berkurang, termasuk partai (berbasis massa) Islam. Kalau memakai jumlah suara hasil quick-count Pemilu 2014, cukup banyak partai yang tidak bisa bertahan: Partai Hanura, PPP, Partai Nasdem, dan PKS. Tentu partai-partai tersebut tidak akan tinggal diam dan berjuang untuk bertahan.

Tidak banyak partai yang punya tokoh layak jual dalam pemilihan presiden. Karena itu, muncul tokoh-tokoh dari luar partai. Terjadi pergeseran dalam mencari calon presiden. Dalam Pilpres 1999, yang maju dalam pemilihan adalah ketua umum partai (PDIP) dan ketua umum ormas Islam (PB NU). Pada 2004, para calon yang tampil adalah ketua umum partai, jenderal purnawirawan, (mantan) tokoh ormas Islam, dan pengusaha. Pada 2009 yang muncul adalah jenderal purnawirawan, ketua umum partai, dan mantan menteri.

Tokoh ormas (NU) yang pada 1999 dan 2004 tampil sebagai capres/cawapres, mulai 2009 tidak lagi tampil. Artinya, posisi pimpinan ormas Islam hanya akan berarti dan punya nilai jual kalau tokohnya diterima oleh masyarakat. Bukan jabatan di dalam ormas terkenal yang dilihat masyarakat untuk bisa ditampilkan sebagai capres/cawapres, tetapi siapa orangnya. []

JAWA POS, 22 April 2014
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar