Rabu, 14 Mei 2014

Ketika Rais Aam Domisioner



Ketika Rais Aam Domisioner

Muktamar NU ke-22 merupakan Muktamar yang cukup berat, bayangkan enam bulan sebelum Muktamar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan, akhirnya NU harus merespon soal proses kembali ke UUD 45, Demokrasi terpimpin dan sebagainya itu dengan serius. Hal itu setidaknya tercermin dalam Pidato Iftitah Rais Aam pada pembukaan Muktamar 13 Desember 1959 di Jakarta.

Menjelang akhir Muktamar 17 Desember 1959, tibalah saatnya pemilihan, tetapi sebelumnya pimpinan Sidang H Zainul Arifin mempersilahkan Rais Aam Kiai Wahab Chasbullah atas nama PBNU untuk menyatakan domisioner secara resmi.

Kiai Wahab yang berperawakan kecil cerdik itu melihat suasana sidang pleno itu kurang semarak, karena para muktamirin kelihatan loyo, padahal saat itu baru jam delapan pagi. Maklum semalaman baru membahas hal hal yang berat seperti demokrasi terpimpin, sosialisme Indonesia dan ekonomi terpimpin yang disampaikan oleh H Zainul Arifin.

Sampai di podium Kiai yang kharismatik itu menyampaikan salam, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh,” lalu dijawab ala kadarnya oleh para Muktamirin.”

Melihat suasana seperti itu Kiai Wahab segera berseloroh, “Salamnya satu kali saja ya…tidak usah tiga kali…..karena saudara masih lelah lagi pula waktu kita terbatas.” Pernyataan sepontan itu membuat muktamirin tertawa terbahak-bahak.

Merasa provokasinya untuk menyegarkan suasana telah berhasil, Kiai Wahab lalu menyampaikan pidatonya;

“Kami seluruh jajaran PBNU menyerahkan mandat yang saudara amanatkan 3 tahun yang lalu pada Muktamar di Medan. Walaupun pengurusan ini banyak kekurangan tetapi saudara telah menerima pertanggung jawaban kami secara aklamasi. Kalau masih kurang dan belum terima ya….. innal hasanata yudzhibna syayyiat (sesungguhnya kebaikan akan menghapus keburukan), yang penting kami sudah laksanakan amanat itu dengan sebaik-baiknya.”

“Ya… kalau kebaikannya banyak?“ kata Kiai Bisri Sansuri menyela. “Kalau kebaikannya kecil yang bisa dihapus juga kecil. Kalau kesalahan dan kebaikannya sama besar ya bisa sama saja, tak berarti apa apa.”

Mendengar sindiran Wakil Rois Aam itu hadirin tertawa serentak, lalau Kiai Bisri mencontohkan, “Kalau kebaikannya besar seperti mati syahid, maka kesalahan yang bisa dihapus juga besar.”

Kemudian Kiai Wahab melanjutkan pidatonya. “Soal iqolah (domisioner) ini sebenarnya telah menjadi sunnah Nabi dan para sahabat. Maka mulai jam ini pengurus PBNU saya nyatakan dominsioner, dan menyerahkan mandat kepada Muktamar. Supaya tidak ada fatrah atau vakum kekuasaan, maka perlu ditunjuk pemimpin sementara, untuk memimpin rapat. Tetapi harus ingat pemimpin sidang harus segera menyerahkan kekuasaan kalau nanti pengurus PBNU telah terbentuk.”

“Betul, setuju !” jawab Muktamirin serentak diiringi derai tawa.

Pemilihan dilakukan secara rileks, hasilnya secara aklamasi Kiai Wahab terpilih lagi sebagai Rais Aam PBNU, kemudian setelah itu Idham Cholid terpilih lagi sebagai ketua Tanfidziyah. Lalu kedua pemimpin itu bergiliran menyampaikan pidato singkat, kemudian sidang ditutup. Muktamar sukses. []

(Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar