Kamis, 22 Mei 2014

Shambazy: Koalisi Rakyat Vs Koalisi Partai



Koalisi Rakyat Vs Koalisi Partai
Oleh: Budiarto Shambazy

Kompetisi menuju Pemilu Presiden 2014 makin menarik dengan munculnya debat tentang koalisi rakyat versus koalisi partai. Tekad kita hendaknya Aburizal Bakrie, Joko Widodo, dan Prabowo Subianto mau memperjuangkan terwujudnya koalisi rakyat ini.

Tidak ada yang keliru dengan koalisi partai. Namun, untuk tahun ini, berdasarkan pengalaman 2009-2014, koalisi partai mengalah dululah.

Jangankan dalam sistem parlementer, koalisi partai juga dipraktikkan di negara-negara dengan sistem presidensial. Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Bill Clinton dan Barack Obama, menyisihkan kursi menteri pertahanan untuk orang dari Partai Republik.

Presiden Soeharto menyisihkan kursi menteri untuk politisi Partai Persatuan Pembangunan ataupun Partai Demokrasi Indonesia pada serial Kabinet Pembangunan. Sekali lagi, tak ada yang keliru dengan bagi-bagi kursi dalam jumlah terbatas.

Namun, koalisi partai dalam konteks kita tahun ini morally wrong dan politically incorrect. Maaf, rakyat sudah ”kenyang” disuguhi drama-drama tak bermutu oleh Sekretariat Gabungan Koalisi 2009-2014.

Padahal, duet SBY-Boediono dipilih lebih dari 60 persen rakyat, sebuah kemenangan mutlak. Namun, posisi kuat seperti itu dilemahkan sendiri dengan pembentukan setgab koalisi.

Kesan orang awam, setgab koalisi cuma bagi-bagi jatah dana politik partai/politisi. Pembagian jatah bukan cuma terjadi di eksekutif, tetapi juga menjalar ke cabang legislatif ataupun yudikatif.

Jadi, wajar jika kini muncul antitesis perlunya pembentukan ”koalisi rakyat. Siapa pun yang terpilih sebagai presiden tak perlu takut lagi disandera DPR karena akan mendapat dukungan rakyat.

Lagi pula mungkin sekitar 80 persen dari anggota DPR 2009-2014 akan terpilih lagi. Mereka sedang mengalami krisis legitimasi dan semoga saja sudah jera bermain-main menyandera presiden.

Koalisi partai makin tak relevan karena kita menganut sistem presidensial. Bukan cuma presidensial, melainkanjuga sistem presiden yang kuat yang pernah dipraktikkan Bung Karno dan Pak Harto.

Sejak merdeka, bapak-bapak bangsa sudah memutuskan kita meniru sistem presidensial yang kuat. Bahkan, dengan sadar mereka menyebut sistem terbaik yang ada kala itu adalah yang diterapkan di Amerika Serikat.

Apa lacur, kita sempat terjerembap ke dalam sistem parlementer akibat politics as usual. Hal itu mengakibatkan kabinet-kabinet lebih sering jatuh-bangun ketimbang bekerja demi kepentingan rakyat.

Itu sebabnya Bung Karno melangkah lebih jauh dengan memperkenalkan yang dinamakan ”kabinet kerja” pertama sampai keempat dalam periode 1959-1964. Dengan modal Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Bung Karno leluasa menentukan arah dan rencana pembangunan delapan tahunan.

Meski bertangan besi dengan slogan Demokrasi Terpimpin, pembangunan berjalan relatif tanpa gangguan. Jumlah menteri tidak sampai 40-an orang dan lebih banyak yang bersifat teknis.

Praktik kabinet kerja ditiru Pak Harto melalui serial Kabinet Pembangunan dengan Repelita. Jumlah menteri juga hanya secukupnya.

Jumlah menteri memang tidak perlu banyak Salah satu agenda Reformasi pemberian otonomi daerah seluas-luasnya sehingga fungsi kementerian tertentu otomatis berkurang.

Lagi pula menteri jabatan politis yang penentuannya diserahkan 100 persen kepada presiden terpilih. Jangan lupa pula, menteri berstatus pembantu seperti PRT di rumah kita.

Boleh saja menteri ditunjuk dari kalangan politisi. Ia tak akan mengalami kesukaran karena pasti dibantu penuh oleh para direktur jenderal.

Lebih ideal lagi jika kementerian dipimpin birokrat yang sudah puluhan tahun makan asam dan garam. Bukan hal yang baru pula kalangan akademisi mumpuni pula sebagai menteri.

Sekali lagi, itu hak penuh presiden. Itulah esensi sistem presidensial yang kuat dan profesional.

Namun, pertimbangan-pertimbangan profesionalitas itu dirusak oleh koalisi partai 2009-2014. Penunjukan lebih bersifat transaksional.

Terkesan ada perhitungan matematis bahwa partai A mendapat jatah 2 menteri, partai B 3 menteri, dan seterusnya. Partai tidak memberikan sosok-sosok yang profesional, tetapi malah menempatkan ketua umum-ketua umum sebagai menteri.

Itu sebabnya kekuasaan partai amat penuh di tiap kementerian tanpa kontrol dari presiden ataupun DPR. Tidak heran lama-kelamaan korupsi.

Sekali lagi, tahun ini menjadi kesempatan sejarah bagi capres-capres untuk memutus mata rantai dengan masa lalu (breaking with the past). Tirulah yang dikerjakan Bung Karno dan Pak Harto pada saat terjadinya krisis politik.

Bung Karno, yang sudah muak dengan ulah politisi setelah Pemilu 1955 dan mundurnya Wapres Mohamad Hatta tahun 1956, mengatakan, ”Saya akan mengubur hidup-hidup partai-partai politik”. Sayangnya ia berubah menjadi diktator.

Saat kelahiran Orba, sebagian jenderal Pak Harto bahkan sempat memperjuangkan pemberlakuan sistem dwipartai (dua partai) untuk mengerdilkan partai. Sayangnya Pak Harto terjebak KKN.

Mulai 2014 ini sistem presidensial yang kuat bisa diwujudkan presiden terpilih. Media, akademisi, dan LSM bisa mengawasi presiden terpilih tidak terjerembap seperti Bung Karno atau Pak Harto.

Sistem presidensial yang kuat membutuhkan, pertama, presiden yang memiliki karakter. Apakah ia memahami berbagai persoalan yang dihadapi rakyat dari hari ke hari?

Kedua, mempunyai rekam jejak yang memadai. Ini prasyarat yang lebih diserahkan kepada selera pribadi dan back of mind kita masing-masing.

Ketiga, memiliki kepemimpinan yang mencukupi. Tampaknya semua capres kita punya ini.

Keempat, menawarkan visi, misi, dan program mau dibawa ke mana bangsa dan negara ini. Inilah yang perlu kita tagih dan dengar dari para capres mulai hari ini sampai 9 Juli mendatang. []

KOMPAS, 26 April 2014
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar